Mengapa harta yang kita perolah justru menghilangkan kenikmatan hidup kita?
Di sebuah desa bernama Nisyabur, hiduplah sosok laki-laki yang dikenal luas dengan sebutan Ahmad Sang Saudagar. Julukan ini tak lepas dari kehidupan Ahmad yang—memang begitu beruntung dikarunia harta berlimpah.
Bahkan, saking berlimpahnya harta yang ia miliki, hidupnya pun tak pernah lepas dari kegiatan hitung-menghitung. Dari mulai menghitung keuntungan bisnisnya yang semakin bertambah, hingga segala aksesoris duniawi lainnya pun yang juga turut bertambah. Seperti rumah mewah, kendaraan, dan lainnya.
Ya, Ahmad Sang Saudagar begitu sibuk menghitung pundi-pundi harta yang telah ia kumpulkan dari hasil usahanya. Ia begitu amat terjerat cinta dunia.
Pada suatu hari, ia memerintahkan pelayannya untuk membawakannya makanan. Dengan segera, sang pelayan pun menuruti perintah majikannya itu. Dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama, makanan dan hidangan tersaji di depan Ahmad.
Namun, ia tetap saja asyik menghitung hasil bisnisnya, hingga larut malam. Ia pun tertidur lelap, tanpa sempat menyentuh hidangan.
Ketika terbangun, ia memanggil si pelayan, “Mengapa kau tak menyiapkan makanan yang aku pesan semalam?”
“Aku menyiapakannya, Tuan. Namun sepertinya Tuan sedang sibuk sampai tidak sempat menyantapnya,” kata si pelayan.
Si pelayan memasak makanan untuk yang kedua kalinya dan menghidangkannya ke hadapan tuannya. Namun, lagi-lagi Ahmad begitu sibuk dengan perhitungan bisnisnya, hingga ia tak punya waktu untuk menyantap makanan itu.
Kejadian itu terus terjadi berulang kali. Hingga pada suatu pagi, Ahmad terbangun dari tidurnya, dan segera memanggil si pelayan, “Tolong ambilkan baskom.”
Rupanya ia mengira sudah makan ketika melihat hidangan di hadapannya sudah berantakan. Padahal, ia tertidur di atas hidangan itu, dan lupa menyantapnya.
---------
Fariduddin Aththar, seorang pujangga terbesar Persia berkisah tentang sosok laki-laki yang begitu gemar menumpuk dunia, hingga lupa pada apa yang sesungguhnya harus dikejar. Yakni kebahagiaan, dunia dan akhirat.
Harta yang dikiranya mampu membawanya pada puncak kebahagiaan, ternyata telah membuatnya lupa, bahkan lupa pada kebutuhan pokok bagi tubuh (yang semestinya) dapat menikmati hasil jerih payah usahanya.
Lantas, untuk apa kita terus menumpuk harta, jika kita justru disiksa karenanya? Bukankah harta dicari sejatinya untuk dijadikan perantara agar hidup kita menjadi bahagia? Lantas, mengapa harta yang kita perolah justru menghilangkan kenikmatan hidup kita, sampai lupa memenuhi kebutuhan pokok bagi tubuh, makan misalnya? Atau bagaimana jika kita lupa pada kebutuhan spiritual kita--yang sejatinya merupakan tujuan akhir perjalanan hidup ini, atas nama sibuk mengejar dunia?