Orangtua mana yang tidak menghendaki anaknya berakhlak baik? Istri mana yang tidak ingin suaminya berakhlak baik? Atau penduduk mana yang tidak suka jika masyarakatnya berakhlak baik? Manusia yang sehat akalnya, tentu menghendaki orang-orang sekitar kita berakhlak baik.
Akan tetapi kenyataannya banyak orang berperilaku buruk. Jauh dari akhlak baik. Entah karena pengaruh lingkungan, atau pendidikan dalam keluarga.
Lalu, jika perilaku buruk seseorang dilakukan sejak kecil, sudah mendarah daging, atau sebagian orang menyebut “sudah wataknya,” apakah hal demikian bisa diubah?
Ayyatullah Makarim menulis dalam bukunya bahwa ada dua kelompok yang berbeda pandangan tentang hal ini. Pertama, mereka yang percaya bahwa akhlak itu tidak bisa diubah dan kelompok kedua percaya bahwa akhlak itu bisa diubah. Tentunya mereka mempunyai dalil-dalil tersendiri untuk menguatkan pendapatnya.
Kelompok pertama mengatakan bahwa akhlak itu tidak bisa diubah walaupun seandainya ia berubah maka lambat laun ia akan kembali pada keadaan awalnya. Mereka bersandar pada dalil bahwa perubahan akhlak itu disebabkan oleh sebab-sebab eksternal seperti pendidikan moral, nasihat, dan peringatan. Ketika sebab-sebab eksternal ini menghilang maka ia akan kembali pada keadaan semula. Lebih lanjut, seperti air menjadi panas dikarenakan panas dari faktor yang lain, ketika terpisah dengan zat tersebut maka air akan kembali pada keadaan semula.
Bagaimana dengan pandangan kelompok kedua?
Kelompok kedua mengatakan bahwa seandainya akhlak kita tidak bisa diubah maka adanya ilmu akhlak menjadi sia-sia. Dan yang lebih buruk dari itu ketika akhlak tidak bisa kita ubah maka seluruh aktivitas mendidik para Nabi Allah swt dan kitab-kitab suci langit pun menjadi percuma dan kandas.
Maka dari itu Ayyatullah Makarim mengatakan bahwa “Aku heran terhadap para filsuf dan ulama akhlak yang membahas apakah akhlak itu bisa diubah atau tidak (padahal tujuan pengutusan para Nabi as adalah mendidik manusia)?”.
Lalu bagaimana pendapat al-Quran tentang hal ini?
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولاً مِنْهُمْ يَتْلُوا عَلَيْهِمْ آياتِهِ وَ يُزَكِّيهِمْ وَ يُعَلِّمُهُمُ الْكِتابَ وَ الْحِكْمَةَ وَ إِنْ كانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ
“Dialah yang mengutus seorang rasul kepada kaum yang buta huruf dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah, meskipun sebelumnya mereka berada dalam kesesatan yang nyata.” (Surah Jumuah, ayat 2)
Ayat di atas secara jelas mengatakan bahwa tujuan dari pengutusan para Nabi adalah untuk mendidik, mengajar, dan menyucikan mereka yang berada dalam kesesatan. Ketika akhlak tidak bisa diubah maka pengutusan para Nabi akan sia-sia, dan melakukan sesuatu yang sia-sia merupakan hal mustahil bagi Allah swt.
Dalam sebuah riwayat yang termahsyur juga ditegaskan bahwa Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya aku diutus ke bumi untuk menyempurnakan akhlak”.
Akhir kata, penulis lebih cenderung memilih pandangan kedua yaitu bahwa akhlak bisa kita ubah. Sebab jika akhlak tak bisa diubah maka tujuan pengutusan para Nabi Allah swt akan sia-sia, dan itu sesuatu yang mustahil dilakukan Allah swt.