ingkat cerita, pernah hidup seorang ‘abid. Hari demi hari dihabiskannya untuk beribadah dan bermunajat. Berselang beberapa lama, terbesit dalam benaknya bahwa ia telah mengumpulkan sangat banyak pahala dan telah meraih beragam maqam.
Hanya saja, ia merasa terganggu lantaran belum berhasil mendapat pahala jihad dan maqam syahid. Untuk itu, ia menunggu sampai tiba saatnya berperang melawan kafir.
Tak lama berlalu, terjadi peperangan antara muslimin dan kafir. Sang ‘abid pun memutuskan untuk ikut terjun ke medan peperangan.
Ketika mereka (umat muslim) sedang beristirahat di sanggar pertahanan, tiba-tiba musuh melancarkan serangan. Sontak, semua terbangun dan langsung bersiaga dalam waktu yang amat singkat.
Sayangnya, sang ‘abid yang tidak terbiasa dengan suasana tersebut, bergerak amat lamban. Bahkan, ia masih menyempatkan diri untuk bermunjat dan mendirikan shalat panjang di keadaan genting tersebut.
Setelah selesai melakukan ritusnya, sang ‘abid pun bergegas ke medan. Tak disangka olehnya, semua telah usai. Banyak mayat bergeletakan di tanah. Banyak dari teman sanggarnya yang tertawan di tangan kafir dan ada pula kafir yang tertawan di tangan muslimin.
Salah seorang teman sanggar menghampiri sang ‘abid dan menyerahkan seorang tawanan mereka padanya. Dikatakan bahwa tawanan tersebut sangatlah bengis dan satu-satunya hukuman yang sesuai bagi kebengisannya adalah qishash mati.
Sebilah pedang diberikan pada sang ‘abid dan ia membawanya ke sudut yang sepi. Ketika ia hendak mengeksekusi penjahat tersebut, tiba-tiba penjahat yang tangannya terikat berteriak keras hingga membuat sang ‘abid takut lalu jatuh pingsan.
Setelah agak lama berselang, beberapa teman sanggar yang mempertanyakan kabar sang ‘abid lekas memeriksa keadaanya. Mereka terkaget, bahwa tawanan kafir yang justru sedang berupaya membunuh sang ‘abid dengan menggerogoti urat lehernya. Akhirnya, ‘abid tersebut berhasil diselamatkan dan tawanan bengis mendapatkan hukuman qishash-nya.
Setelah siuman, teman sanggarnya menanyakan apa yang terjadi. Sang ‘Abid pun tidak ingat apa-apa selain ketakutan dahsyat yang dirasakannya karena mendengar suara penjahat bengis tersebut.
____________
Pelajaran:
Tidak semua keutamaan akhlak bisa diperoleh dengan (hanya) menyudutkan diri dan bermunajat. Setiap keutamaan akhlak memiliki koridor tersendiri. Seperti contoh di atas, Apakah mereka yang seumur hidupnya hanya menghabiskan waktu di atas sajadah bisa memeroleh akhlak berani ketika berada di medan perang? Tentu tidak.
Begitu juga, misalnya menikah, sebagian ulama bahkan di kristen meyakini bahwa untuk mencapai maqam spiritual yang tinggi seseorang harus hidup tanpa pasangan. Hanya saja, dalam maktab Islam sebaliknya, menikah justru diperkenalkan sebagai koridor tersendiri; dengan pernikahan seseorang dapat memunculkan akhlak mulia yang tidak dapat diperoleh kecuali melewati penempaan madrasah keluarga.
Oleh karena itu, semua keutamaan akhlak memiliki koridornya tersendiri.
*disadur dari kitab Syahid Muthahhari yang berjudul Ta’lim wa Tarbiyat, hlm. 212-214.