"Hikmah adalah harta karun yang dimiliki seorang Muslim"
(Sayyidina Ali)
Dengan segala kenikmatannya, Islam masih menambahkan seorang Muslim satu harta karun yang sangat berharga. Sayyidina Ali yang mengemukakan itu. Harta karun itu berupa: "hikmah".
Seorang Muslim haruslah pandai memungut hikmah. Bahkan, kata Sayyidina Ali, walau itu datang dari mulutnya seorang yang munafik sekali 'pun. Atau, kata pepatah Arab, walau ia datang dari (maaf-maaf) pantat seekor anjing. Sebegitu pentingnya hikmah bagi kita, sehingga permisalannya 'pun diambil dari yang paling buruk sekali 'pun.
Bagaimana mendapatkan harta karun seorang Muslim itu? Syarat pertamanya adalah bahwa kita tak boleh melihat sesuatu hanya pada apa yang tampak atau dari satu sudut pandang saja. Tapi, diharuskan menggali aspek-aspek lain yang mendalam, dari sudut pandang yang berbeda dari sudut pandang umumnya. Misalnya, ketika kita kehilangan uang atau barang berharga, sudut pandang pada umumnya akan melihat itu sebagai musibah dan menyesalinya. Bahkan, tak jarang kita yang kemudian mencari-cari kambing hitam atas musibah itu dengan menyalahkan orang lain atas kehilangan itu atau bahakan menyalahkan diri sendiri: "Kenapa juga saya harus bawa dompet?!" atau penyesalan-penyelasan lainnya yang tak bermanfaat bagi kita dan bahkan berdampak negatif karena membuat kita menyesal berlarut-larut atau menyalah-nyalahkan diri sendiri atau malah orang lain.
Maka, pola pandang yang berbasis hikmah, atas kasus itu, kita akan melihat dari sudut pandang lain yang positif. Misalnya, alih-alih kita menganggap itu musibah, justru sebaliknya: menganggap kehilangan itu sebagai tolak bala' (musibah). Itulah yang diajarkan nenek moyang kita, bahwa kehilangan akan uang atau barang yang kita cintai sebenarnya adalah cara Allah untuk menolakkan bala' yang akan datang pada kita. Sehingga dengan begitu kita jadi berpikir malah untung terjadi kehilangan itu, karena jika tidak kita akan terkena bala' yang tentu efek dan penderitaannya akan jauh lebih berat dari sekadar kehilangan uang atau barang yang kita cintai.
Atau, Muslim pemburu hikmah bisa juga menggeser sudut pandangnya tentang insiden kehilangan itu dengan mengelola hatinya dari yang awalnya mengaggap itu kehilangan, tapi digeser dengan menghitungnya sedekah, sembari berdoa agar yang menemukannya adalah orang yang benar-benar membutukannya. Sehingga, alih-alih kita akan dapat dosa karena menyesal berlarut-larut dan menyalahkan orang lain atau diri sendiri, peristiwa kehilangan itu justru menjadi ladang pahala bagi kita untuk beramal.