Oleh: Euis Daryati
Sayyidah Zainab al-Kubro tumbuh dan berkembang di rumah tempat para malaikat berlalu lalang. Di rumah tempat nama-nama suci Allah selalu dikumandangkan, yang para penghuninya merupakan pengejawantahan segala kesempurnaan; kezuhudan, keberanian, kedermawanan, ahklak mulia, penghambaan, keadilan dan segala sifat sempurna lainnya. Kakeknya Rasulullah saw. yang merupakan manusia tersempurna di alam semesta dan penghulu para nabi cukup memberikan pengaruh positif pada pertumbuhan kepribadian beliau. Nabi Muhammad saw. senantiasa memperhatikan para putra dan putri Sayyidah Fathimah Zahro as dengan sepenuhnya serta mengasihi mereka.
Dialah Zainab putri Nabi al-Amin
Dialah simbol ketegaran dan keberanian
Dialah putri Fathimah dan Ali al-Haidar washi Nabi
Dialah saudari al-Hasan dan al-Husein cucu Nabi
Kehadiran seorang figur dan teladan dalam kehidupan manusia adalah suatu hal yang aksiomatis karena merupakan kebutuhan fitri manusia. Hal ini dapat kita saksikan dalam kehidupan manusia dari berbagai tingkat umur mulai masa kanak-kanak sampai manula sekalipun. Manusia akan senantiasa mencari figur yang akan diteladaninya dan menjadikan segala prilaku teladan sebagai cermin dalam kehidupannya. Pada usia muda, manusia mengalami masa transisi dan pencarian jati diri dan ia sangat membutuhkan kehadiran seorang figur di fase ini dibanding fase kehidupannya yang lain. Oleh karena itu, salah satu cara yang ditempuh oleh musuh Islam dalam rangka merusak kepribadian generasi muda dan menjauhkan mereka dari agama Islam adalah dengan memperkenalkan idola dan figur yang tidak islami kepada mereka. Sebagai contoh, kita bisa melihat kondisi sedang terjadi saat ini di bumi pertiwi kita. Generasi muda muslim mempunyai pengetahuan yang sangat minim tentang tokoh-tokoh Islam. Coba anda tanyakan kepada mereka berapa banyak tokoh dan figur muslim yang mereka kenal? Dan coba tanyakan kepada mereka tentang tokoh-tokoh non muslim khususnya bintang film, maka mereka akan dengan tangkas menyebut tokoh-tokoh seperti, Madonna, Demi Moore, dan lain sebagainya. Ini sebagai salah satu bukti kemenangan musuh dalam perusakan budaya dengan menjauhkan para generasi muda dari tokoh-tokoh muslim mereka.
Salah satu figur agung yang tak banyak dikenal ialah Sayyidah Zainab al-Kubro. Beliau merupakan salah satu cucu Nabi Muhammad saw. Berapa banyak generasi muda yang mengenal kepribadian dan kehidupan beliau? Oleh karena itu, penulis menilai bahwa adalah suatu hal yang penting memperkenalkan Sayyidah Zainab al-Kubro kepada khalayak khususnya generasi muda. Kendati kita tidak dapat mengenal beliau secara utuh sebagaimana adanya karena perbedaan kedudukan beliau dengan kita, namun tak ada salahnya kita mencoba untuk mengenal kepribadian dan keutamaannya. Sebagaimana kaidah mengatakan: “Ma la yudraku kulluh la yutraku julluh.” “Tidak dapat dikenal semuanya bukan berarti harus ditinggalkan semuanya”.
Kelahiran dan Nama
Sayyidah Zainab as adalah putri dan anak ketiga dari pasangan manusia suci lagi agung Imam Ali as dan Sayyidah Fathimah Zahro as. Ibunya Sayyidah Fathimah Zahro as adalah putri tercinta Rasulullah saw. dan wanita yang sangat mirip dengan Rasulullah saw. dalam hal kesempurnaan, keutamaan dan akhlak. Sayyidah Fathimah Zahro as memiliki segala kesempurnaan dan keutamaan yang tidak dimiliki oleh ketiga saudari lainnya Zainab, Ruqayyah dan Ummu Kultsum. Ayahnya Imam Ali as adalah washi Rasulullah saww, orang yang pertama kali beriman kepada Rasulullah saw. dan pahlawan dalam berbagai peperangan melawan orang-orang kafir. Kakeknya Nabi Muhammad saw. adalah manusia tersuci dan tersempurna di seluruh alam semesta. Sedang neneknya adalah Sayyidah Khadijah, perempuan pertama yang beriman kepada Nabi Muhammad saw. Dalam pangkuan para manusia suci inilah Sayyidah Zainab as dididik dan dibesarkan. Beliau besar di bawah naungan pancaran wahyu Ilahi.[1]
Berdasarkan pendapat termasyhur terdapat pendapat lain tentang hal ini beliau lahir pada tanggal lima 5 Jumadil Awal tahun 6 Hijrah Qomari di Madinah. Dalam sejarah disebutkan bahwa ketika berita kelahiran Sayyidah Zainab as sampai kepada Nabi Muhammad saww, beliau langsung menuju rumah Sayyidah Fathimah Zahro as. Sesampainya di rumah beliau berkata: “Wahai putriku, bawalah kemari cucuku”. Ketika bayi mungil tersebut berada di pangkuannya, beliau memeluk dan meletakkan pipi mulianya di pipi bayi tersebut. Kemudian beliau menangis dengan sangat keras hingga air matanya bercucuran. Menyaksikan hal itu kemudian Sayyidah Fathimah Zahro as bertanya: “Wahai ayahku, semoga Allah swt tidak membuat matamu menangis, kenapa engkau menangis?” “Wahai putriku, wahai Fathimah, ketahuilah. Bayi ini akan ditimpa berbagai musibah dan menghadapi berbagai cobaan. Wahai putriku, wahai belahan jiwaku dan cahaya mataku, ketahuilah. Barang siapa yang menangis untuknya karena segala musibah yang menimpanya maka ia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang menangis untuk kedua saudaranya,” jawab Rasulullah saw. Setelah itu kemudian Nabi Muhammad saw. memberi nama bayi tersebut Zainab.[2]
Dalam kitab Nasikh at-Tawarikh terdapat versi yang cukup berbeda tentang kisah penamaan Sayyidah Zainab as. Disebutkan bahwa setelah kelahiran Sayyidah Zainab as Imam Ali as tidak langsung memberikan nama kepadanya. Ini membuat Sayyidah Fathimah Zahro as menanyakan sebabnya kepada Imam Ali. Imam Ali as menjawab: “Kita tnggu saja sampai Rasulullah saw. sendiri yang memberikan nama kepadanya”. Setelah mendengar hal itu, Sayyidah Fathimah Zahro as menggendong bayinya dan menuju rumah Rasulullah saw. untuk mengemukakan perkara tersebut. Pada saat itu turunlah Malaikat Jibril as dan berkata kepada Rasulullah saww: “Wahai utusan Allah, Allah swt telah mengirim salam untukmu dan Dia berfirman: “Namakan ia Zainab”. Namun setelah itu Malaikat Jibril as menangis. Menyaksikan hal itu, Rasulullah saw. menanyakan sebab tangisan Jibril. Malaikat Jibril as menjawab: “Sejak awal sampai akhir, kehidupan bayi ini akan dipenuhi berbagai musibah dan cobaan”.[3]
Berkaitan dengan akar kata nama Sayyidah Zainab as terdapat beberapa pendapat. Sebagian mengatakan nama beliau hanya terdiri dari satu suku kata yang berarti nama salah satu pohon yang cantik dan harum baunya, sebagaimana yang disebutkan dalam kamus Lisanul Arab karya Ibnu Manzur. Kelompok lain berpendapat nama beliau terdiri dari dua suku kata yaitu Zain dan Abun yang berarti ‘perhiasan ayah’. Sebagaimana ibunya, Sayyidah Fathimah Zahro, memiliki gelar Ummu Abiiha (ibu ayahnya) yang mengisyaratkan hubungan yang amat dekat antara seorang anak perempuan dengan ayahnya, Sayyidah Zainab as juga memiliki gelar Zain Abiiha (hiasan ayahnya). Untuk mempersingkat nama atau karena telah sering digunakan maka alifnya dibuang dan menjadi ‘Zainab’.[4] Yang pasti, baik nama Sayyidah Zainab hanya terdiri dari satu suku kata ataupun dua suku kata, kedua-duanya mengisyaratkan arti dan makna yang sangat tinggi dan indah.
Masa Kanak-Kanak
Sayyidah Zainab al-Kubro tumbuh dan berkembang di rumah tempat para malaikat berlalu lalang. Di rumah tempat nama-nama suci Allah selalu dikumandangkan, yang para penghuninya merupakan pengejawantahan segala kesempurnaan; kezuhudan, keberanian, kedermawanan, ahklak mulia, penghambaan, keadilan dan segala sifat sempurna lainnya. Kakeknya Rasulullah saw. yang merupakan manusia tersempurna di alam semesta dan penghulu para nabi cukup memberikan pengaruh positif pada pertumbuhan kepribadian beliau. Nabi Muhammad saw. senantiasa memperhatikan para putra dan putri Sayyidah Fathimah Zahro as dengan sepenuhnya serta mengasihi mereka. Tidak ada seorang kakek pun yang memberikan perhatian dan kasih sayang kepada cucunya lebih dari yang dilakukan Rasulullah saw. terhadap cucu-cucunya.
Ketika beliau melihat para putra dan putri Sayyidah Fathimah Zahro as., beliau selalu mencium, memeluk, menempelkan pipinya yang suci ke pipi cucu-cucunya bahkan beliau bermain kuda-kudaan dengan mereka. Tentu saja perbuatan Rasulullah tersebut tidak hanya berdasarkan hubungan alamiah antara seorang kakek dan cucu saja. Perbuatan beliau sebagai seorang nabi tidak dilakukan berdasarkan hawa nafsu sebagaimana dapat kita simak dari firman Allah saw. berikut ini: “Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Nabi Muhammad saww) menurut kemauan hawa nafsunya, ucapannya itu tiada lain hanyalah berdasarkan wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”.[5] Selain itu, segala prilaku beliau merupakan contoh dan teladan bagi umatnya dalam memperlakukan anak-anak.
Hanya sebentar Sayyidah Zainab al-Kubro dapat merasakan kasih sayang kakeknya. Rasulullah saw. wafat di saat beliau berusia lima tahun. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ketika Sayyidah Zainab al-Kubro masih kanak-kanak, beliau bermimpi buruk. Lantas beliau menceritakan mimpi tersebut kepada kakeknya seraya berkata: “Wahai kakekku, semalam aku bermimpi buruk. Aku melihat angin topan sangat kencang dan langit menjadi gelap. Angin kencang telah membawaku ke sana dan ke mari. Tiba-tiba aku melihat sebuah pohon besar, lalu aku memegang pohon itu. Namun angin kencang telah membuat pohon besar tersebut tumbang dan jatuh ke atas tanah. Kemudian aku memegang salah satu dahannya yang besar, namun angin kencang juga membuatnya patah. Setelah itu akupun memegang dahan lainnya, namun sama seperti sebelumnya, angin kencang mematahkan dahan tersebut. Lalu aku memegang dahan ketiga dan keempat, sampai akhirnya aku terbangun”. Rasulullah saw. menangis setelah mendengarkan cerita beliau dan berkata: “Ketahuilah wahai cucuku, pohon besar itu adalah kakekmu. Sedangkan kedua dahan pohon besar tersebut ialah ayah dan ibumu. Sementara kedua dahan lainnya adalah kedua saudaramu Hasan dan Husain. Dengan ketiadaan mereka, dunia akan menjadi gelap gulita dan engkau akan memakai pakaian hitam sebagai lambang duka cita atas musibah yang menimpa mereka”.[6] Dari riwayat ini kita dapat memahami bahwa jauh hari, Sayyidah Zainab al-Kubro telah dipersiapkan secara mental dan spritual untuk menghadapi berbagai peristiwa pedih sehingga beliau dapat melaksanakan tugas yang dipikulnya dengan baik. Dan salah satu peristiwa pedih itu adalah peristiwa Asyuro.
Setelah kakeknya wafat, beliau menyaksikan berbagai penindasan yang menimpa ayah dan ibunya. Beliau menyaksikan bagaimana hak kekhalifahan ayahnya dirampas. Beliau menyaksikan bagaimana ibunya mendatangi satu persatu rumah para Muhajirin dan Anshar untuk mengingatkan baiat mereka kepada Imam Ali as di Ghadir Khum. Beliau menemani ibunya ketika menyampaikan khutbah di masjid. Beliau juga menyaksikan pembakaran dan pendobrakan rumahnya yang akhirnya menyebabkan ibu tercintanya sakit.[7] Musibah demi musibah telah menimpa putri mungil tersebut. Ibunnya syahid padahal kesedihan karena ketiadaan kakeknya belum seluruhnya sirna. Bersama para saudaranya, beliau juga ikut menemani sang ayah menguburkan jenazah ibunya di kesunyian malam.
Pernikahan dan Keluarga Sayyidah Zainab as.
Sejarah tidak menjelaskan secara terperinci masa remaja Sayyidah Zainab as. Namun Thabari menukil ucapan beberapa orang yang melihat beliau: “Seakan-akan aku melihat seorang perempuan bagaikan mentari yang dengan cepat telah keluar dari dalam kemah”. Bahkan sewaktu Sayyidah Zainab as hendak berangkat ke Mesir pasca tragedi Karbala, Abdullah bin Ayub Anshori berkata: “ Sumpah demi Allah swt., aku tidak pernah melihat wajah sepertinya yang bagaikan rembulan”. Padahal waktu itu beliau sudah berumur sekitar lima puluh tahun dan telah mengalami tragedi Karbala yang sangat menyedihkan. Sedikit banyaknya, peristiwa itu pasti mempengaruhi kondisi jasmani dan psikologis beliau. Tentu di masa remajanya, beliau lebih dari ungkapan-ungkapan yang diucapkan oleh orang-orang yang pernah melihat beliau.
Ketika beliau telah mencapai usia pernikahan, banyak sekali orang yang datang menemui Imam Ali as untuk menyuntingnya. Namun Abdullah bin Jakfarlah yang beruntung dan paling cocok dari yang lainnya.[8] Abdullah bin Jakfar adalah putra dari Jakfar bin Abdul Muthalib yang syahid dalam perang Mu’tah dan mendapat gelar ‘dzul jinahain’ yang berarti memiliki dua sayap. Gelar ini diberikan kepada beliau karena kedua tangan beliau putus disabet pedang musuh dalam peperangan untuk mempertahankan bendera yang ada di tangannya. Mengenai putra-putra Jakfar bin Abdul Muthalib terdapat perbedaan pendapat. Syeikh Thabarsi dalam kitabnya A’lamur-Waraa menyebutkan bahwa putra-putri beliau adalah Ali, Jakfar, Aun Akbar dan Ummu Kultsum. Sementara dalam kitab Tadzkiratul Khawash karya Sibthi ibnu Jauzi disebutkan bahwa putra-putri beliau ialah Ali, Aun al-Akbar, Muhammad, Abbas dan Ummu Kultsum. Muhammad dan Aun juga syahid di Karbala.[9]
Kesempurnaan dan Keutamaan
Sayyidah Zainab as merupakan manusia sempurna. Beliau memiliki berbagai keutamaan sebagaimana yang telah dijelaskan dalam berbagai riwayat. Pada kesempatan ini kita hanya akan menjelaskan beberapa keutamaan saja melalui beberapa gelar beliau:
1. Aqiilah Bani Hasyim
Salah satu gelar termasyhur beliau ialah ‘Aqiilah’. Abul Faraj Ishfahani dalam karyanya ‘Muqotil at-Tholibin’, ketika menjelaskan biografi Aun bin Abdullah bin Jakfar berkata: “Ibunya adalah Zainab al-Aqiilah. Ibnu Abbas meriwayatkan khutbah Fadak Fathimah Zahro darinya seraya berkata; “Aqiilah kami Zainab binti Ali telah meriwayatkan kepada kami...”. Berkaitan dengan kata ‘aqiilah’ terdapat beberapa pendapat. Ibnu Duraid dalam karyanya ‘Jamharotul Loghah’ berkata: “Fulanah Aqiilatul qaum berarti perempuan itu ialah perempuan paling mulia dari kaumnya. Begitu juga pendapat Ibnu Zakaria dalam ‘Mujmal Lughoh’ dan Jauhari dalam ‘Shuhahul Luhgoh’. Pendapat ini merupakan pandangan beberapa sarjana bahasa. Namun sebenarnya dapat kita katakan bahwa ‘Aqiilah’ adalah shighoh mubalaghah (bentuk kata dalam tata bahasa arab yang menunjukkan amat atau sangat) dan memiliki akar kata ‘aqal’, yang artinya sangat berakal atau dengan kata lain kapasitas dan kesempurnaan akalnya amat besar.[10]
Gelar terhormat yang dimiliki pribadi agung seperti sayyidah Zainab as ini dapat lebih kita pahami jika kita menyimak dan menelaah secara seksama isi khutbah Fadak Sayyidah Fathimah Zahro as. Bagaimana tidak, khutbah beliau yang amat panjang, sangat fasih dan sarat dengan pembahasan yang sangat tinggi telah diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dari Sayyidah Zainab as. Khutbah Fadak berisi pembahasan tentang kenabian dan risalah Nabi saww, falsafah dan hikmah hukum-hukum Islam, penuntutan hak-haknya yang telah dirampas, penghakiman atas Abu Qohafah (Abu Bakar) dan kondisi umat setelah wafatnya Nabi saw. dan lain sebagainya.[11] Padahal, ketika Sayyidah Fathimah Zahro as menyampaikan khutbahnya, Sayyidah Zainab as kala itu baru berusia lima tahun.
Terdapat kisah tentang Sayyidah Zainab as dalam berbagai sumber yang mengisyaratkan tentang kesempurnaan akal beliau. Dalam sejarah disebutkan bahwa pada suatu hari Sayyidah Zainab as yang masih kecil bertanya kepada ayahnya, “Ayahku sayang, apakah engkau mencintaiku?” Kemudian Imam Ali as menjawab: “Bagaimana mungkin aku tidak mncintaimu, kau adalah buah hatiku”. Lantas beliau berkata lagi: “Ayahku sayang, kecintaan hanyalah untuk Allah swt sementara kasih sayang untuk kita”. Dalam riwayat lain pula dijelaskan bahwa suatu hari Imam Ali as mendudukkan putrinya Zainab al-Kubro dipangkuannya lalu beliau mengelus-ngelus kepalanya seraya berkata: “Putriku sayang, katakan satu.” “Satu,” timpal beliau. Kemudian Imam Ali as melanjutkan ucapannya: “Putriku sayang, katakan dua”. Namun Sayyidah Zainab as diam tidak menjawabnya. Lalu Imam Ali as mengulangi ucapannya seraya berkata: “Berkatalah wahai cahaya mataku”. Sayyidah Zainab as menjawab: “Ayahku sayang, aku tidak dapat mengatakan dua dengan lidahku yang dengannya aku katakan satu.” Mendengar hal itu lantas Imam Ali as memeluknya dan menciumnya dengan penuh rasa haru. Kisah di atas menunjukkan kematangan dan kemampuan daya pikir lebih yang dimiliki oleh Sayyidah Zainab as. Padahal beliau kala itu masih kanak-kanak. Dalam usia dini beliau dapat memahami bahwa ketika beliau telah mengatakan Tuhan itu Esa maka beliau tidak dapat mengatakan Tuhan itu dua.[12] Dengan kata lain beliau telah memahami kontradiksi antara konsep monoteisme dengan dualisme. Inilah salah satu perwujudan gelar ‘aqiilah (sangat berakal)’ yang disandang Sayyidah Zainab al-Kubro berupa kematangan dan kecerdasan akal tinggi.
2. Berilmu tanpa ada yang Mengajari (Aalimah Ghair Muta’allimah)
Keutamaan lain yang dimiliki Sayyidah Zainab as ialah beliau memiliki ilmu tanpa ada yang mengajari. Gelar kehormatan ini dianugrahkan oleh Imam Ali Zainal Abidin as kepada beliau. Jelas penganugrahan gelar tersebut bukan atas dasar nepotisme karena beliau adalah bibinya akan tetapi atas dasar kedudukan tinggi yang memang dimiliki oleh Sayyidah Zainab as. Imam Ali Zainal Abidin as mengetahui keutamaan, kedudukan dan kemuliaan yang dimiliki bibinya. Imam Ali Zainal Abidin as berkata: “Wahai bibiku...dan engkau, alhamdulillah, berilmu tanpa ada yang mengajarimu dan memahami (sesuatu permasalahan, pent.) tanpa ada yang memahamkannya (menerangkannya, pent).”
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam beberapa sumber hukum Islam—Al- Qur’an dan hadis), salah satu bentuk kesempurnaan manusia adalah derajat keilmuan yang dimilikinya. Ilmu merupakan salah satu sumber kesempurnaan manusia dan merupakan santapan ruh. Ilmu merupakan salah satu sumber kemulian dan keagungan manusia. Al-Qur’an dengan jelas menerangkan tentang perbedaan kedudukan orang yang berilmu dan tidak berilmu: “Adakah sama kedudukan orang-orang yang mengetahui (berilmu) dan orang-orang yang tidak mengetahui (berilmu)”.[13] Ayat ini bukan berarti Allah bertanya kepada manusia apakah sama orang yang mengetahui dan tidak mengetahui. Akan tetapi pertanyaan merupakan sebuah pernyataan yang menjelaskan bahwa kedudukan orang yang berilmu dan tidak berilmu tidaklah sama (istifham taqriri).[14] Sebagian riwayat juga menjelaskan tentang kewajiban mencari ilmu, sebagaimana sabda Rasulullah saww: ”Mencari ilmu adalah kewajiban seorang muslim dan muslimah.” Masih banyak riwayat lain yang menjelaskan tentang keutamaan ilmu.[15]
Ilmu merupakan salah satu sumber kesempurnaan, kemuliaan, derajat tinggi bagi manusia sehingga Islam selalu memerintahkan kepada umatnya untuk menuntut ilmu. Dan Sayyidah Zainab al-Kubro memiliki kesempurnaan tersebut tanpa ada yang mengajarinya sebagaimana yang telah dinyatakan oleh Imam Ali Zainal Abidin as. Beliau berilmu tanpa belajar, apa itu bukan merupakan suatu kedudukan yang sangat agung? Karena tidak semua orang dapat mencapai maqam dan kedudukan tersebut. Beliau merupakan salah satu perwujudan hadis Rasulullah saw. yang berbunyi: “Ilmu adalah cahaya yang disematkan Allah swt pada hati orang-orang yang dikehendaki-Nya”.[16] Dalam sejarah disebutkan bahwa ketika Sayyidah Zainab as bersama keluarganya tinggal di Kufah di masa pemerintahan Imam Ali as., para lelaki penduduk Kufah mendatangi Imam Ali as dan memohon kepada beliau supaya putrinya, Sayyidah Zainab as., mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri dan anak-anak perempuan mereka. Imam Ali as menerima permohonan tersebut dan Sayyidah Zainab as pun mengajari mereka. Sejarah membuktikan dalam tempo empat tahun atau lebih, banyak para perempuan yang berguru dan belajar kepada beliau. Pada suatu hari Imam Ali as mendengar Sayyidah Zainab as mengajarkan tafsir huruf-huruf muqatta’ah (yang terpotong-potong) dari al-Qur’an. Khususnya tentang huruf permulaan surat Maryam, yaitu huruf “Kaaf, Haa, Yaa, Ain Shaad”. Seusai mengajar, Imam Ali as mendatangi beliau dan berkata kepadanya: “Wahai cahaya mataku, tahukah bahwa huruf-huruf ini (Kaaf, Haa, Yaa, Ain, Shaad) merupakan kunci rahasia peristiwa yang akan menimpa engkau dan saudaramu Husain di padang Karbala?” Setelah itu lantas Imam Ali as menjelaskan secara terperinci kepada beliau tentang tragedi Asyuro yang akan menimpanya.[17]
Derajat keilmuan beliau pun telah terbukti ketika beliau berdebat dan berdialog dengan Ibnu Ziyad di Kufah. Beliau menjawab dengan tangkas segala pernyataan Ibnu Ziyad. Sampai akhirnya Ibnu Ziyad marah kepadanya, karena setiap ia berkata Sayyidah Zainab as dengan tangkas akan mematahkan segala argumennya. Sampai akhirnya Ibnu Ziyad tidak mampu lagi berdialog dengannya dan berkata; “Sumpah demi Tuhan, perempuan ini penyair dan pandai berbicara seperti ayahnya”. Begitu pula khutbah-khutbah beliau lainnya yang disampaikan di Kufah maupun di Syam.
3. Kekasih Allah (Waliyatullah)
Sayyidah Zainab as adalah wanita mulia yang lahir dan dibesarkan dalam keluarga mulia, Ahlul Bayt Nabi para kekasih Ilahi. Beliau besar dalam lingkungan para urafa’ utama yang menjadi kiblat semua urafa’ yang ada. Maka bukanlah suatu hal yang mengherankan jika beliau pun akhirnya menjadi seorang arifah tangguh yang memiliki makrifat yang begitu tinggi.
Sebagaimana yang telah diketahui, tujuan utama irfan adalah menyatu (fana’) dengan Sang Kekasih Sejati, pencipta alam semesta. Itulah puncak irfan yang didamba oleh setiap manusia sempurna kekasih Ilahi. Salah satu bukti tingkatan makrifat agung yang dimiliki oleh Sayyidah Zainab as adalah beliau selalu pasrah terhadap apapun yang dikehendaki oleh Kekasih Sejatinya. Pecinta sejati adalah pribadi yang selalu ‘sehati’ dan ‘serasa’ dengan kekasihnya, meskipun apa yang dikehendaki oleh Sang Kekasih sekilas begitu pahit, namun seorang pecinta akan rela menerima kepahitan tersebut sebagai bukti cinta kasihnya terhadap Sang Kekasih Sejati. Inilah yang dilakukan Sayyidah Zainab as terhadap Kekasih Sejatinya dalam tragedi Karbala. Kendati beliau harus kehilangan imam yang dicintainya, anggota keluarga, sanak famili dan sahabat-sahabat setianya namun pada tragedi Karbala yang sangat memilukan hati itu, Sayyidah Zainab as berkata: “Ya Allah, hamba bersabar atas segala ketentuan-Mu”.
Berbekal makrifat yang begitu tinggi, Sayyidah Zainab as yakin bahwa Sang Kekasih adalah Dzat yang maha benar, bijak, indah dan memiliki sifat-sifat kesempurnaan lainnya. Segala sesuatu yang dirasa dan dilihat oleh beliau di alam semesta merupakan perwujudan dari sifat-sifat dan nama-nama Sang Kekasih. Semua tidak akan lepas dari Sang Kekasih karena Ia adalah maha pencipta. Keteraturan alam yang kadang diwarnai dengan pahit dan getir kehidupan merupakan konsekuensi alam materi yang telah disifati dengan alam yang penuh gesekan (alam tazahum). Namun semua gesekan tadi meniscayakan keteraturan yang indah dan sesuai dengan hikmah Ilahi, Sang Kekasih Sejati. Oleh karena itu, ketika menyaksikan tragedi Karbala yang menyayat hati itu Sayyidah Zainab as masih sempat berkata: “Tidaklah aku lihat (semua musibah ini ) melainkan sesuatu yang indah”.[18] Kesyahidan Imam Husein as dengan cara yang sangat tragis itu adalah kehendak Ilahi yang selalu sesuai dengan hikmah Ilahi dan keteraturan alam semesta. Inilah perwujudan dari iman terhadap takdir Ilahi. Tentu keyakinan ini tidak akan menjerumuskan manusia kepada keyakinan determinisme (Jabriyah), sebagaimana yang telah banyak disinggung dalam kajian teology (kalam) Syiah Imamiyah.
Makrifat Ilahi telah mampu menghantarkan beliau pada tingkatan manusia sempurna (insan kamil). Cinta Ilahi telah menggelora di dalam hati Sayyidah Zainab as. Cinta murni yang suci dan tulus itu mampu membakar segala cinta kasih terhadap selain-Nya. Kecintaan itu telah ditukar dengan berbagai kecintaan-kecintaan lainnya. Sayyidah Zainab as rela kehilangan saudara tercintanya (Abul Fadh Abbas), keponakan kesayangannya (Ali Akbar), sanak famili, kerabat dan sahabat lainnya demi keridhoaan Ilahi, Sang Kekasih Sejati. Bukan hanya itu, beliaupun rela mengorbankan imam yang merupakan al-Quran berbicara (al-Quran an-Nathiq) dan sekutu al-Quran yang diam (al-Quran as-Shamith) yang keduanya sangat dicintai dan ditaati beliau sebagai penerus tongkat estafet kepemimpinan Ilahi di muka bumi. Itu semua direlakan oleh Sayyidah Zainab as demi keridhoan Sang Kekasih Ilahi. Oleh karena itu, setelah kesyahidan Imam Husein as beserta pasukannya yang berjumlah sangat sedikit itu dan rombongan tawanan akan diarak ke Kufah, beliau sempat berkata kepada Sang Kekasih sejatinya dengan ungkapan: “Ya Allah, terimalah persembahan ini dari kami”.[19] Ungkapan ini menunjukkan betapa tingginya makrifat Sayyidah Zainab as dan makrifat ini telah menghantarkan beliau kepada cinta Ilahi yang mampu menghilangkan ketergantungan kepada kecintaan manapun. Dengan bekal kecintaan sejati inilah akhirnya beliau sampai pada derajat fana’ (menyatu) dengan Allah. Menyatu dalam ridho dan cinta-Nya, sehingga akhirnya beliau mendapat gelar kekasih sejati Allah (waliyullah).
4. Banyak Beribadah (‘Abiidah)
Maqam penghambaan merupakan salah satu kedudukan tertinggi seorang mukmin sejati. Al-Quran sendiri telah menjelaskan bahwa salah satu falsafah penciptaan manusia dan jin adalah agar manusia dan jin mencapai maqam ubudiyah. “Dan tidaklah Aku ciptakan manusia dan jin melainkan untuk menyembah-Ku”.[20] Perwujudan penghambaan dan penyembahan Allah swt ialah melalui ibadah, baik ibadah dalam makna khusus atau dalam makna umum. Ibadah dalam makna umum adalah melakukan segala perbuatan dengan niat karena Allah swt. Sementara ibadah dalam arti khusus adalah melakukan ritual-ritual agama tertentu baik yang bersifat wajib maupun mustahab. Sejarah telah mencatat ibadah beliau lakukan, baik ibadah wajib maupun nafilah yang tidak pernah beliau tinggalkan meskipun dalam kondisi sulit. Bahkan pada malam Asyuro beliau menghabiskan waktunya dengan shalat malam dan bermunajat kepada kekasih sejatinya, Allah swt.
Ketika menggambarkan maqam ubudiyyah Sayyidah Zainab as., Imam Ali Zainal Abidin as berkata: “Sesungguhnya bibiku Zainab telah mendirikan shalat wajib dan nafilahnya dalam keadaan berdiri. Namun kadang-kadang di sebagian rumah beliau lakukan dalam keadaan duduk. Ketika aku menanyakan sebabnya beliau menjawab: Aku melaksanakan shalat sambil duduk karena rasa lapar dan lemah yang amat sangat. Sebab selama tiga malam aku telah memberikan bagian makananku kepada anak-anak. Dalam sehari semalam, mereka hanya memakan sepotong roti”.[21] Peristiwa ini terjadi ketika Sayyidah Zainab as berada dalam kondisi tertawan dan diarak dari Kufah menuju menuju Syam. Teriknya matahari dan dinginnya malam telah menyiksa beliau dan rombongan tetapi beliau tidak meninggalkan shalat malamnya dalam kondisi sesulit itu.
5. Orator Ulung (kata-katanya sangat indah dan sesuai dengan kondisi audiens)
Hal ini dapat kita lihat dalam khutbah beliau baik yang disampaikan di Kufah maupun di hadapan Yazid bin Muawiyah di Syam. Ketika beliau menyampaikan khutbahnya di hadapan penduduk Kufah, khutbah beliau mengingatkan orang-orang akan ayahnya, Imam Ali as. Mereka melihat seakan-akan Imam Ali as sendiri yang sedang berkhutbah. Kata-katanya yang indah dan isinya yang begitu mengena sehingga para pendengar menangis dan hanyut dalam kesedihan setelah mendengarnya. Begitupula khutbah beliau di hadapan Yazid bin Muawiyah di Syam yang mampu mengubah opini umum tentang Ahlul-Bayt. Para audiens terpesona dengan khutbah-khutbah yang disampaikan Sayyidah Zainab as., baik dari sisi isi khutbah maupun ungkapannya (kalimat seperti ini dalam istilah bahasa Arab disebut fashih dan baligh). Jika orang yang ahli dalam bahasa Arab menelaah khutbah-khutbah Sayyidah Zainab as., ia akan memahami dan menikmati keindahan bahasa beliau. Kelebihan beliau dalam kefasihan dan kebalighan ini diwarisi dari kedua orang tua beliau, Imam Ali as dan Sayyidah Zahro as.Wallahua’lam.[www.al-hadj.com/ind]
Rujukan:
[1] DR. Aisyah Binti Syathii, Bathalatu Karbala, edisi Persia, hal: 29-30.
[2] Sayyid Nuruddin Jazairi, Khashaishu Zainab, edisi Persia hal: 52-53.
[3] Muhammad Kazim Qazwini, Zainab al-Kubro minal Mahdi ilal Lahdi, edisi Persia, hal: 31.
[4] Sayyid Nuruddin Jazairi, Khashaishu Zainab, edisi Persia, hal:56.
[5] QS an-Najm:3-4.
[6] Muhammad Kazim Qazwini, Zainab al-Kubro minal Mahdi ilal Lahdi, edisi Persia, hal:40-41.
[7] Penindasan yang telah menimpa Imam Ali as dan Sayyidah Zahro as pasca wafatnya Rasulullah saw dapat dilihat dalam berbagai sumber sejarah, baik di kalangan Suni maupun Syi’ah.
[8] DR. Aisyah Binti Syathii, Bathlatu Karbala, edisi Persia, hal: 53, 58.
[9] Muhammad Kazim Qazwini, Zainab al-Kubro minal Mahdi ilal Lahdi, edisi Persia, hal: 85.
[10] Ibid, hal:33-34.
[11] Muhammad Kazim Qazwini, Fathimah az-Zahro minal Mahdi ilal lahdi, edisi Persia, hal; 427.
[12] Muhammad Kazim Qazwini, Zainab al-Kubro minal Mahdi ilal Lahdi, edisi Persia, hal: 39.
[13] QS az-Zumar: 9.
[14] Sayyid Nuruddin Jazairi, Khashaishu Zainab, edisi Persia, hal:78-80.
[15] Muhammad Rey Syahri, Muntakhab Mizan al-Hikmah, bab ilmu, hal: 396.
[16] Ibid, hal: 404.
[17] Muhammad Kazim Qazwini , Zainab al-Kubro minal Mahdi ilal Lahdi, edisi Persia, hal: 47.
[18] Ibid, hal: 306.
[19]Ali Nadzari Munfarid, Qisheye Karbalo, hal: 410.
[20] QS, adz-Dzariyat: 56.
[21] Muhammad Kazim Qazwini, Zainab al-Kubro minal Mahdi ilal Lahdi, edisi Persia, hal:189, 318-319.