Oleh: AF Machtum
Secara ringkas, hak anak atas orang tua adalah sebagai berikut:
1. Diberi nama yang baik.
Ada orang yang memiliki nama yang bagus, mengandung makna yang dalam, dan mengenakan sehingga orang-orang tertarik kepara pemiliknya seperti lebah tertarik kepada wangi bunga.
Ada orang yang namanya yang jelek, tidak bermakna, serta menyesakan dan menjijikan orang yang mendengarnya. Jadi, nama seseorang memiliki pengaruh psikologis dan sosiologis yang sangat besar.
Banyak anak yang gelisah dan tidak dapat tidur karena namanya jelek dan membuatnya diejek dan dihina orang-orang di sekitarnya. Anak itu dibuat sengsara dan nelangsa oleh nama yang melekat pada dirinya dengan erat, seperti tato yang sulit dihilangkan dari kulit.
Tentu saja ada orang-orang yang memiliki kepribadian yang kuat, yang hidupnya tidak terpengaruh oleh namanya yang jelek. Orang ini mengubah namanya yang jelek dan membuangnya seperti dokter bedah yang mahir membuang sel-sel kanker.
Islam, sebagai agama yang mempelopori proses perubahan budaya yang besar, tidak mengabaikan masalah nama. Nabi saw melakukan pengubahan nama-nama yang jelek atau bertentangan dengan akidah tauhid. Beliau menyatakan bahwa salah satu hak anak atas orang tuanya adalah dipilihkan nama yang bagus.
Rasulullah saw bersabda:
( إنَّ أوَّل مَا ينحلُ أحَدكُم وَلده الاسْم الحَسَن فَلْيحْسِن أحدكُم اسْم ولدِهِ ) .
“Sesungguhnya warisan pertama dari salah seorang di antara kalian kepada anaknya adalah nama yang baik. Karena itu, hendaklah ia memberi anaknya nama yang baik.”
Di dalam hadits lain, Nabi saw menjelaskan dimensi ukharawi yang menjadi konsekuensi suatu nama. Beliau bersabda:
( اسْتَحسِنُوا أسْمَاءكُم ، فإنَّكم تُدْعَونَ بِهَا يَومَ القِيَامَة : قُم يا فُلان ابن فُلان إلى نُورِك ، وقُم يا فلان ابن فلان لا نُورَ لَك ) .
“Perbaikilah nama-nama kalian, karena kalian akan dipanggil dengannya pada hari Kiamat. Wahai Fulan bin Fulan, berdirilah menuju cahayamu. Wahai Fulan bin Fulan, tidak ada cahaya bagimu.”
Ilmu Psikologi belakangan ini telah mengungkap relasi yang erat antara seseorang dengan nama dan panggilannya. Mereka memberi contoh dengan seseorang yang namanya “Susah”. Terus menerus mengalirnya penamaan ini ke telinga dan kesadarannya akan mencetak akal batinnya dengan pengertian tersebut dan membuat akhlak dan perilakunya menjadi susah.
Tidak diragukan lagi, ini adalah rahasia mengapa Rasulullah saw mengganti beberapa nama orang yang namanya seperti contoh tersebut. Beliau mengganti nama Harb (Perang) dengan Samah (Lembut). Jadi, ada bisikan terus menerus yang diberikan oleh nama kita dan sangat mewarnai watak kita.
Nama bukan sekadar lafal yang ditulis dengan tinta di atas akte kelahiran. Nama adalah hak alami bagi bayi yang menentukan identitasnya, dan jiwanya yang segar akan menyambut kandungan namanya yang baik sebagaimana kelopak-kelopak bunga merekah di musim semi.
2. Diajari dan dididik.
Tidak diragukan lagi, tahun-tahun pertama dari umur seorang anak adalah fase terpenting dalam hidupnya. Dengan dasar ini para ahli pendidikan menegaskan urgensi perhatian yang lebih terhadap anak-anak dan pendidikan budi pekerti yang baik baginya.
Imam Ali, ketika menjelaskan pentingnya budi pekerti dan keunggulannya daripada yang lain, mengatakan:
( خَيْرُ مَا وَرَّثَ الآبَاءُ الأبْنَاءَ الأدَبَ ) .
“Warisan yang terbaik dari orang tua bagi anak-anaknya adalah budi pekerti.”
Imam Jafar ash-Shadiq memberikan penegasan tentang penyebab diutamakannya budi pekerti daripada harta. Dia mengatakan:
( إنَّ خَيرَ مَا وَرَّث الآبَاءُ لأبنائِهِم الأدَبَ لا المَال ، فإنَّ المالَ يَذهَبُ والأدَبُ يَبْقَى ) .
“Warisan terbaik orang tua kepada anak-anak mereka adalah budi pekerti, dan bukannya harta, karena harta akan habis sedangkan budi pekerti tidak.”
Tema pendidikan budi pekerti bagi anak-anak telah mengambil tempat yang cukup luas dalam keterangan-keterangan dari Ahlul Bait. Kita mendapati penegasan tentang kesegeraan untuk mendidik anak sebelum hati mereka mengeras, karena anak seperti kertas putih yang menerima segala garis dan gambaran yang dituliskan di atasnya.
Imam Ali mengatakan kepada anaknya, Imam Hasan:
( إنَّمَا قَلْبُ الحَدَث كالأرْضِ الخَالِيَة ، ما أُلقِيَ فِيهَا مِنْ شَيءٍ قَبلتْهُ ، فَبَادَرْتُكَ بالأدَبِ قَبلَ أن يَقسُو قَلبُكَ ، ويَشْتَغلُ لُبُّكَ ) .
“Sesungguhnya hati anak seperti tanah kosong. Apa pun yang dilemparkan kepadanya, ia terima. Maka, aku bersegera mendidikmu sebelum hatimu mengeras dan nuranimu sibuk.”
Prinsip utama madrasah Ahlul Bait dalam mendidik dan mengajar anak-anak adalah sebagai berikut:
Pertama, pendidikan anak tidak terbatas oleh kedua orang tua saja, melainkan tanggung jawab sosial yang dipikul oleh seluruh anggota masyarakat. Tentang prinsip ini, Imam Jafar Shadiq mengatakan:
( أيُّما ناشئ نشأ في قوم ثمَّ لم يؤدَّب على مَعْصِيَة ، فإنَّ الله عَزَّ وجَلَّ أول ما يعاقِبُهُم فيهِ أنْ يُنقِصَ مِنْ أرْزَاقِهِم ) .
“Anak kecil mana saja yang tumbuh di suatu kaum lalu dia tidak dididik untuk meninggalkan maksiat, maka azab pertama yang akan diberikan Allah kepada mereka adalah Dia akan mengurangi rezeki mereka.”
Dalam pandangan Ahlul Bait, individu-individu masyarakat, terutama anak-anak, harus dididik dalam ketaatan, dan cenderung menetapkan bahwa tanggung jawab dalam hal ini tidak dipikul oleh kedua orang tua saja, meskipun peran mereka adalah yang utama, melainkan meluas hingga dipikul oleh semua orang, karena hukum sosial pada gilirannya berlaku pada semua orang tanpa kecuali.
Kedua, memperhatikan umur anak adalah faktor yang sangat penting. Ada kebijakan pendidikan khusus bagi setiap umum. Madrasah Ahlul Bait mendahului aliran-aliran pendidikan modern dalam menetapkan konsep “penahapan” yang faidah dan gunanya dibuktikan oleh eksperimen-eksperimen ilmiah.
Perlu diungkapkan di sini bahwa para imam secara umum mengadopsi konsep penahapan hidup anak-anak menjadi tiga tahap. Pada setiap periode, anak membutuhkan perhatian, budi pekerti, dan pengajaran khusus dari orang tua.
Hal ini kita simpulkan dari hadits-hadits yang ada tentang masalah ini. Sebagai bukti bahwa mereka membuat tiga tahapan tersebut, berikut ini beberapa riwayat dari mereka.
Imam Jafar Shadiq mengatakan:
( دَع ابْنَكَ يَلعَبُ سَبْع سِنين ، ويُؤدَّبُ سَبع سِنين ، وألزِمْه نفسَكَ سَبْع سِنين ، فأن أفلح ، وإلاَّ فإنَّه لا خَيرَ فِيه ) .
“Biarkan anakmu bermain selama 7 tahun, dididik selama 7 tahun, dan ikutkan dia pada dirimu selam 7 tahun. Jika berhasil, maka demikian. Jika tidak, maka sesungguhnya tidak ada kebaikan pada dirinya.”
Periode pertama adalah periode bermain, periode kedua adalah periode pendidikan, dan periode ketiga adalah periode tabbanni mubasyir pada anak, dan mengawasinya seperti bayangannya.
Ketiga, tidak boleh berlebih-lebihan dalam memanjakan anak, menggunakan metode pendidikan yang bersandar pada prinsip reward and punishment, dan tidak mendidik ketika marah.
Imam Ali mengatakan:
( لا أدَبَ مَع غَضَبٍ ) .
“Jangan mendidik ketika marah.”
Sebab, kemarahan adalah kondisi yang menggerakkan emosi dan tidak mencerahkan akal. Proses pendidikan pada kondisi ini tidak akan memberi hasil yang diinginkan, bahkan proses ini membutuhkan terapi kesabaran, keuletan, dan kecanggihan seperti yang dibutuhkan oleh penyakit-penyakit yang parah.
Anak-anak membutuhkan bimbingan rasional yang berkelanjutan agar ia mengetahui akibat dari perbuatan-perbuatannya. Hal ini biasanya tidak terjadi ketika marah yang berasal dari mendidih dan membaranya emosi. Tanpa bimbingan rasional yang berkelanjutan, proses pendidikan tidak akan mewujudkan tujuan yang diharapkannya, tak ubahnya memukul besi yang dingin.
Ada hak anak yang lain sebagai penyempurna haknya untuk mendapatkan budi pekerti, yaitu hak pengajaran. Seperti budi pekerti, pengajaran juga merupakan pusaka yang agung. Ahlul Bait memotivasi para orang tua untuk mewariskan ilmu kepada anak-anak mereka. Ilmu adalah gudang harta berharga yang tidak akan habis, sedangkan harta dapat hilang atau dicuri. Karena itu, Imam Ali mengatakan:
( لا كَنْزَ أنْفَع مِن العِلْمِ ) .
“Tidak ada harta yang lebih berharga daripada ilmu.”
Karena mempelajari ilmu pada masa kecil seperti memahat di batu, maka masa kecil harus dimanfaatkan untuk memperoleh ilmu sebaik-baiknya berdasarkan program ilmiah yang mengikuti prinsip prioritas, yaitu mendahulukan yang paling penting daripada yang penting, apalagi kita hidup di masa revolusi ilmiah dan pengetahuan dan di era kecepatan dan spesialisasi.
Ahlul Bait telah memberikan prioritas khusus pada pengajaran al-Quran, juga pengajaran masalah-masalah halal dan haram, karena pengajaran ini memungkinkan anak menjadi muslim yang melaksanakan kewajiban-kewajiban yang ditetapkan Allah SWT kepadanya.
Sebagai dalilnya, kita dapati salah satu wasiat Amirul Mukminin kepada anaknya, Imam al-Hasan:
( اِبتدأتُك بِتَعليمِ كِتَاب اللهِ عزَّ وَجَلَّ وتأويلِه ، وشَرائِعِ الإسلامِ وأحْكَامِه ، وحَلالِهِ وحَرامِه ، لا أجَاوزُ ذَلكَ بِكَ إلى غَيره ) .
“Aku memulai dengan mengajarkan Kitabullah dan takwilnya kepadamu, lalu syariat-syariat Islam, hukum-hukumnya, halal dan haramnya, dan aku tidak akan melewati hal itu pada selainnya.”
Selain pentingnya mengajarkan anak-anak ilmu-ilmu agama seperti al-Quran dan fiqih, sunnah Nabi saw menekankan juga urgensi mengajarkan anak-anak keterampilan praktis tertentu, seperti menulis, renang, dan memanah.
Nabi saw bersabda:
( حَقُّ الوَلَدِ عَلَى وَالِدِهِ أن يُعلِّمَه الكِتَابة ، والسِّبَاحَة ، والرِّمَايَة ، وأنْ لا يَرزُقَه إلاَّ طَيِّباً ) .
“Hak anak atas ayahnya adalah diajarkan menulis, berenang, memanah, dan tidak diberi nafkah kecuali yang baik.”
Ada poin substansial yang menjadi poros perhatian para imam, yaitu krusialnya melindungi akal anak-anak dari aliran dan sekte pemikiran menyimpang dengan cara mengajarkan mereka ilmu-ilmu dan menunjukkan hadits-hadits Ahlul Bait kepada mereka yang berisi lautan ilmu pengetahuan yang dalam.
Tentang poin ini, Imam Ali berkata:
( عَلِّمُوا صِبْيَانَكم من عِلْمِنَا ما يَنفَعُهم الله بِه لا تغلبُ عَلَيهم المرجِئة برأيها ) .
“Ajari anak-anakmu ilmu kami yang manfaat darinya pasti diberikan Allah kepada mereka agar Murjiah tidak mengalahkan mereka dengan pandangan-pandangannya.”
3. Diperlakukan dengan adil dan sama.
Membeda-bedakan anak, terutama antara anak laki-laki dengan perempuan, tak ubahnya menabur benih-benih perselisihan antara saudara dan menggali jurang yang dalam di jalur relasi persaudaraan di antara mereka.
Anak-anak sangat peka dan sensitif. Ketika ia merasakan ayahnya lebih memperhatikan saudaranya, maka dadanya akan menggelembung oleh perasaan benci kepada saudarannya tersebut.
Terkadang salah satu dari orang tua, atau kedua-duanya, mencintai atau mengasihi salah satu anaknya lebih daripada anak-anak yang lain. Ini alamiah dan naluriah. Tapi, menampakkan hal ini di hadapan anak-anak yang lain, mengutamakan anak tercinta dengan perhatian dan hadiah yang melebihi yang lain, akan memperdalam rasa sedih dan nestapa pada anak yang lain dan mengundang masa depan yang boleh jadi sangat suram.
Karena itu, komitmen pada keadilan dan persamaan antar anak tak ubahnya penangkal petir, karena hal ini mencegah terjadinya celah sekecil apa pun dalam relasi antar anggota keluarga. Jika tidak, maka akan mendorong munculnya perasaan cemburu dan dendam di antara mereka.
Ada bukti-bukti yang menguatkan hal ini dari wasiat-wasiat Nabi saw, yang mengungkap hak dan kewajiban antara orang tua dengan anak, yakni orang tua menanggung hak-hak anak selama anak menanggung hak-hak orang tua.
Nabi saw bersabda:
( إنَّ لَهُم عليك مِنَ الحَقِّ أن تعدِلَ بينَهُم ، كما أنَّ لكَ عَليهِم مِنَ الحَقِّ أنْ يبرُّوكَ ) .
“Mereka memiliki hak atasmu, yaitu diperlakukan secara adil, sebagaimana engkau memiliki hak atas mereka, yaitu berbakti kepadamu.”
Beliau juga bersabda:
( اعدِلُوا بَين أولادِكُم في النِّحَل – أي : العطاء – كما تحبون أن يعدلوا بينكم في البِرِّ واللُّطف ) .
“Adillah di antara anak-anakmu dalam memberi sebagaimana engkau ingin mereka berlaku adil dalam berbakti dan mengasihi.”
Di dalam hadits ini kita temukan perspektif terhadap kebenaran yang lebih luas dan dalam. Yaitu, orang tua berhak menerima bakti dari anak-anaknya. Sebagai gantinya, mereka wajib berlaku adil. Masing-masing harus memenuhi komitmennya.
Kita dapat membuktikan dalamnya pandangan Nabi saw lewat sabdanya:
( إنَّ اللهَ تَعالى يُحِبُّ أن تَعدِلوا بَينَ أولادِكُم حَتَّى في القُبَلِ ) .
“Sesungguhnya Allah SWT mencintai keadilanmu pada anak-anakmu bahkan dalam mencium.”
Benar, prinsip umum bagi orang tua dalam memperlakukan anak menurut Islam adalah prinsip ihsan (kebaikan), bukan prinsip keadilan. Karena itu, anak tidak dapat mengatakan, “Ayahku tidak memberiku, maka aku tidak memberinya.” Atau, “Ayahku tidak menghormatiku, maka aku tidak menghormatinya.” Sebab, ayah adalah sebab diberikannya kehidupan bagi anak. Ayah adalah asal muasalnya.
Tapi, benar juga bahwa orang tua harus menerapkan prinsip keadilan dan persamaan dalam perlakuan mereka terhadap anak-anak, bukan saja dalam masalah maknawiah seperti kasih sayang dan ciuman, tapi juga dalam masalah material seperti pemberian.
Nabi saw berwasiat kepada para orang tua:
( سَاوُوا بَين أولادِكُم فِي العَطِيَّة ، فَلو كُنْتُ مُفضِّلاً أحَداً لَفَضَّلتُ النِّسَاء ) .
“Samakan pemberian kepada anak-anakmu. Jika aku mau mengutamakan salah seorang dari mereka, aku pasti akan mengutamakan anak perempuan.”