Oleh: AF Machtum
Islam memberikan perhatian khusus terhadap keluarga dan upaya menjaganya. Caranya, Islam menetapkan hak-hak anggota-anggota keluarga yang harus dipenuhi mereka satu sama lain. Ini karena Islam menganggap terpeliharanya keluarga sebagai batu bata asasi dalam upaya mencapai bangunan masyarakat yang diidam-idamkan .
Karena orang tua adalah pondasi dalam bangunan keluarga dan upaya membangun generasi, maka al-Quran menegaskan posisi mereka yang sangat agung dan kewajiban berbuat baik kepada mereka.
Tulisan ini menjelaskan hak-hak orang tua seperti dijelaskan al-Quran dan Sunnah.
Hak-hak orang tua
Allah SWT menyandingkan kewajiban beribadah kepada-Nya dengan kewajiban berbakti kepada orang tua pada banyak ayat al-Quran. Di antaranya:
وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. (Al-Isra: 23)
Juga dalam firman-Nya:
وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَائِيلَ لاَ تَعْبُدُونَ إِلاَّ اللهَ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً
Dan (ingatlah), ketika kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapak.” (Al-Baqarah: 83)
Demikianlah kita dapati al-Quran menganggap berbuat baik kepada orang tua sebagai masalah yang sangat penting. Sedemikian pentingnya sampai-sampai di dalam level ungkapan al-Quran (al-Isra: 23) menggunakan kalimat, وَقَضَى رَبُّكَ, yang artinya, “Dan Tuhanmu telah menetapkan.” Dan di dalam level pelaksanaan al-Quran (al-Baqarah: 83) menjelaskan, وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَائِيلَ, “Ingatlah ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil.”
Al-Quran menganggap pelanggaran terhadap kehormatan orang tua sebagai tindakan yang diharamkan. Catatan penting, al-Quran, dalam banyak ayat menegaskan urgensi anak-anak berbuat baik pada orang tua, sedangkan orang tua tidak diberi penegasan untuk memperhatikan anak-anak kecuali jarang dan dalam kondisi yang tidak normal, misalnya, mereka tidak boleh membunuh anak-anak mereka karena takut imlaq. Al-Quran sekadar menegaskan bahwa anak adalah zinah dan mut’ah, lokus fitrah dan ighra bagi orang tua, dan tidak menyebut mereka kecuali disandingkan dengan harta dan dalam konteks berbangga-banggaan.
Lebih dalam lagi, berbuat baik kepada orang tua dijadikan sebagai manifestasi sosial dan ibadah yang benar dan semua bentuk perbuatan buruk terhadap orang tua secara khusus, walaupun hanya dengan kata “uh”, dianggap sebagai perusakan terhadap ibadah sebagaimana setitik cuka merusak madu. Karena nila setitik, rusak susu sebelanga.
Hak ibu lebih besar
Al-Quran memberikan ibu hak yang lebih besar dikarenakan pengorbanannya yang ia berikan lebih banyak. Hanya ibu yang menanggung beban mengandung, melahirkan, dan menyusui beserta pengorbanan dan derita yang menyertainya. Bayi tinggal di perutnya selama 9 bulan pada masa kehamilan yang normal, makan di perutnya dari apa yang ia makan, dan tinggal dengan tenang dengan mengorbankan ketenangan dan kesehatannya. Setelah itu tiba masa persalinan yang penderitaannya tidak dapat diketahui kecuali oleh ibu, bahkan nyawanya terkadang menjadi taruhan.
Al-Quran memberikan wasiat khusus berkaitan dengan ibu. Allah SWT berfirman,
وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ
Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya Telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun.” (Lukman: 14)
Dengan penjelasan ini al-Quran menggelorakan perasaan para anak agar mereka tidak lupa atau pura-pura lupa jerih payah orang tua, khususnya ibu, dan penderitaan yang ia tanggung, karena memberikan perhatian sepenuhnya pada istri dan anak-anak saja.
Hak orang tua menurut Sunnah
Masalah hak pada umumnya dan hak orang tua pada khususnya mengambil tempat yang luas dalam hadits dan wasiat Nabi saw. Beliau mengaitkan ridha Allah SWT dengan ridha kedua orang tua untuk memberikan dimensi ibadah bagi masalah ini. Beliau juga menegaskan bahwa durhaka kepada orang tua adalah salah satu dosa terbesar dan mengaitkan antara cinta dan ampunan Allah SWT dengan cinta dan kepatuhan kepada kedua orang tua.
Imam Ali Zainal Abidin meriwayatkan:
إنَّ رَجُلاً جاءَ إلى النبي ( صلى الله عليه وآله ) فقال : يا رسول الله ، ما مِن عَملٍ قبيح إلا قدْ عملتُه ، فهل لي من توبة ؟ فقال له رسول الله ( صلى الله عليه وآله ) : ( فهَلْ مِن وَالِدَيكَ أحَدٌ حَي ؟ ) ، قال : أبي .فقال ( صلى الله عليه وآله ) : ( فاذْهَبْ فَبِرَّه ) ، فلما ولَّى قال رسول الله ( صلى الله عليه وآله ) : ( لَوْ كَانَتْ أمُّه !! )
Seseorang datang kepada Nabi saw lalu berkata, “Wahai Rasulullah, tidak ada perbuatan yang buruk kecuali aku telah melakukannya. Apakah aku bisa bertobat?” Rasulullah saw bertanya kepadanya, “Adakah salah satu dari orang tuamu yang masih hidup?” Dia berkata, “Ayahku.” Beliau bersabda, “Pergilah kepadanya dan berbaktilah padanya.” Setelah orang itu pergi, beliau bersabda, “Jika yang masih hidup adalah ibunya, (aku akan mengatakan hal yang sama).”
Dalam salah satu arahan Nabi saw:
مِنْ حَقِّ الوالِدِ عَلَى الوَلَدِ أن يخشع له عند الغضب ، حِرصاً على كرامة الآباء منْ أن تُهدَر
“Salah satu hak orang tua atas anaknya adalah ditakuti ketika marah agar kemuliaan orang tua tidak jatuh.”
Lebih dari itu, Rasulullah saw menganggap menyebabkan orang tua dicela karena mencela orang tua orang lain termasuk dosa besar yang pantas dihukum dan disiksa di akhirat.
Berbakti kepada mereka tidak terbatas ketika mereka hidup. Anak yang patuh dapat berbakti kepada kedua orang tuanya dengan cara membayar hutang-hutang mereka, berdoa dan beristighfar bagi mereka, setelah perbuatan baik lainnya.
Nabi saw telah mewujudkan wasiat-wasiat ini di dalam kehidupan nyata. Ketika beliau menganjurkan kaum Muslimin untuk hijrah dan membentuk benih masyarakat tauhid yang baru di Madinah, ketika kaum Muslimin berjumlah sedikit, buku-buku sejarah meriwayatkan bahwa seseorang datang kepada Nabi saw dan berkata, “Aku datang untuk membaiatmu untuk berhijrah dan aku meninggalkan kedua orang tuaku sedang menangis.” Maka, Nabi saw bersabda, “Kembalilah kepada keduanya. Buat mereka tertawa sebagaimana engkau telah membuat mereka menangis.”
Para ulama yang suci keturunan Nabi saw memberikan ruh baru bagi arahan-arahan al-Quran dan sabda-sabda Nabi saw yang dapat kita lihat lewat poin-poin berikut ini.
Pertama, menafsirkan ayat-ayat al-Quran
Pertama, perlu disinggung di sini bahwa Ahlul Bait adalah orang-orang yang di rumahnya al-Quran diturunkan, Rasulullah saw mengaitkan mereka dengan al-Quran, dan menyebut mereka sebagai al-Quran nathiq, al-Quran yang berbicara. Mereka berbicara dengan kebenaran dan menegaskan penunaian hak-hak.
Imam Jafar ash-Shadiq menjelaskan pengertian ihsan yang terdapat di dalam firman Allah SWT:
وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. (Al-Isra: 23)
Dengan mengatakan:
الإحسان : أن تُحسِن صُحْبَتَهُما ، وأن لا تكلِّفهما أن يسألاك شيئاً مما يحتاجان إليه ، وإن كانا مُسْتَغْنِيَيْن
“Ihsan adalah engkau menemani mereka dengan baik, tidak membuat mereka meminta apa yang mereka butuhkan, meskipun mereka dapat memenuhinya sendiri.”
Tentang firman Allah SWT:
إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُل لَّهُمَآ أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا
“Jika salah seorang di antara mereka atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepadanya “ah” dan janganlah kamu membentak keduanya.” (al-Isra: 23)
Beliau mengatakan:
إنْ أضْجَرَاكَ فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ ، ولا تَنْهرهُمَا إِنْ ضَرَبَاكَ
“Jika kedua orang tuamu membuatmu kesal, janganlah kamu mengatakan “ah”, dan jika mereka memukulmu, janganlah kamu membentak mereka.”
Tentang firman Allah SWT:
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُل رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah, ‘Wahai Tuhanku, kasihilah mereka sebagaimana mereka telah mendidik aku waktu kecil.” (al-Isra: 24)
Beliau mengatakan:
لا تَمْلأ عَيْنَيكَ مِنَ النَّظَرِ إِلَيْهِمَا إِلاَّ بِرَحمَةٍ وَرِقَّة ، وَلا تَرْفَعْ صَوتَكَ فَوقَ أصْوَاتِهِمَا ، وَلا يَدَكَ فَوقَ أيْدِيهِمَا ، وَلا تقدم قُدَّامَهمَا
“Janganlah engkau memandang mereka kecuali dengan pandangan kasih sayang dan kelembutan, janganlah engkau mengangkat suaramu lebih keras daripada suara mereka dan mengangkat tanganmu lebih tinggi dari tangan mereka. Dan jangan maju ke depan mereka (?)”
Tentang firman Allah SWT:
أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
“Dan berterimakasihlah kepada-Ku dan kedua orang tuamu dan kepada-Kulah kembalimu.” (Luqman: 14)
Beliau mengatakan:
إنَّ الله عزَّ وجَلَّ أمَر بالشكرِ لَهُ وللوالدين ، فمَن لَمْ يشكر وَالِدَيه لمْ يشكر الله
“Sesungguhnya Allah SWT memerintahkan bersyukur kepada-Nya dan berterima kasih kepada orang tua. Maka, orang yang tidak berterima kasih kepada orang tuanya, dia tidak bersyukur kepada Allah SWT.”
Kedua, membangkitkan motivator akhlak.
Para imam menginginkan sistem moralitas tetap hidup dan efektif di dalam masyarakat dengan pijakan keinginan mereka yang sangat kuat akan keselamatan masyarakat Islam agar anggota-anggotanya tidak terjatuh ke jurang kegelisahan dan kesia-siaan. Karena itu, mereka menganjurkan berpegang teguh pada nilai-nilai akhlak dalam memperlakukan orang tua sampai hal ini menjadi tabiat yang mewarnai perilaku anak-anak. Mengenai hal ini, Imam Ali berkata:
بِرُّ الوَالِدَينِ مِنْ أكْرَمِ الطِّبَاعِ
“Berbakti kepada orang tua adalah watak yang paling mulia.”
Cucu beliau, Imam al-Hadi, berkata:
العقُوق ثكْلُ مَنْ لَم يُثكَل
“Durhaka adalah …
Ketiga, menetapkan hukum syariat.
Ahlul Bait tidak membiarkan masalah hak orang tua di dalam level arahan-arahan al-Quran atau sekadar membangkitkan motivator akhlak, tapi mereka juga menetapkan hukum syariat bagi masalah vital ini.
Imam Ali memandang bahwa berbakti kepada orang tua adalah kewajiban yang paling utama.
Imam Baqir mengatakan:
ثَلاث لَمْ يَجْعَل الله عَزَّ وَجَلَّ لأحدٍ فيهِنَّ رُخصة : أدَاء الأمَانة إلى البرِّ والفَاجِر ، والوفَاءِ بالعَهْد للبرِّ والفَاجِر ، وبِرّ الوَالِدَين بِريْنَ كَانَا أو فَاجِرَين
“Tiga hal yang wajib dilakukan dan tidak ada rukhsoh di dalamnya bagi siapa pun: menunaikan amanah baik kepada orang yang baik maupun orang yang jahat, memenuhi janji baik kepada orang yang baik maupun orang yang jahat, dan berbakti kepada orang tua baik mereka orang yang baik maupun orang yang jahat.”
Perlu disebutkan di sini bahwa Islam tidak mengaiktkan hak orang tua dengan status agama mereka dan keharusan mereka beridentitas muslim, melainkan mewajibkan penunaian hak mereka tanpa memandang hal tersebut. Imam Ridha mengatakan:
بِرّ الوالِدَين وَاجِبٌ وإن كَانَا مُشرِكَين ، ولا طَاعَة لهما في معصية الخالق
“Berbakti kepada orang tua adalah kewajiban meskipun mereka musyrik, tapi tidak boleh taat kepada mereka dalam bermaksiat kepada Pencipta.”
Imam Ridha tidak cukup dengan menjelaskan hukum syariat, tapi mengungkap hikmah diharamkannya durhaka kepada orang tua. Beliau berkata:
حَرَّم الله عُقوق الوَالِدين لمَا فِيه مِنَ الخُروجِ مِن التَّوفِيقِ لِطَاعَةِ الله عَزَّ وجَلَّ ، والتوقيرِ للوَالِدَينِ ، وتَجَنُّب كُفر النِّعمَة ، وإبْطَال الشُّكْرِ ، ومَا يَدعُو مِن ذلكَ إلى قِلَّة النَّسل وانقِطَاعِه ، لِمَا فِي العقُوقِ من قِلَّة توقير الوالدين ، والعرفان بحقهما ، وقطع الأرحام ، والزُّهد من الوالدين في الولد ، وتَرك التربية بِعِلَّة ترك الولد برهُمَا
“Allah SWT mengharamkan durhaka kepada orang tua karena itu sama dengan keluar dari bimbingan untuk taat kepada Allah SWT, penghormatan terhadap orang tua, bersanding dengan kufur nikmat, menafikan terima kasih, dan efek-efek yang ditimbulkannya seperti sedikit dan terputusnya keturunan karena durhaka itu sama dengan tidak menghormati orang tua dan tidak mengakui hak mereka, memutus silaturahim, orang tua tidak membutuhkan anak dan tidak mendidik mereka dengan dalih anak tidak berbakti kepada mereka.”
Menetapkan hak-hak orang tua
Lensa perspektif hak orang tua lebih luas pada madrasah Ahlul Bait dibandingkan dengan madrasah dan aliran hukum dan sosial lain. Madrasah ini memfokuskan arahan-arahannya pada hak-hak maknawi (mental) dan menempatkannya pada skala prioritas tertinggi tanpa mengabaikan hak-hak material. Dengan pijakan ini kita baca di dalam Nahj al-Balaghah:
إنَّ للوَلَدِ على الوالِدِ حق أن يطيعَه في كل شيء ، إلا في مَعصِية الله سبحانه
“Sesungguhnya bagi anak atas orang tuanya ada hak yaitu mematuhinya dalam apa saja kecuali dalam maksiat kepada Allah SWT.”
Di dalam Risalah al-Huquq Imam Ali Zainal Abidin mengatakan:
أمَّا حَقّ أبيكَ فَأن تعلم أنه أصلك ، وأنه لولاه لم تَكُن ، فمَهْمَا رأيت في نفسِكَ مِمَّا يُعجبك ، فاعلَم أنَّ أبَاكَ أصْلُ النِّعمَةِ عَليكَ فِيه ، فاحمدِ الله واشكره على قدر ذلك ، ولا قوة إلا بالله
“Adapun hak ayahmu adalah engkau mengetahui bahwa dia adalah asal muasalmu. Jika bukan karena dia, engkau tidak ada. Bagaimanapun engkau melihat pada dirimu hal-hal yang menakjubkanmu, ketahuilah, ayahmu adalah asal muasal nikmat itu. Karena itu, pujilah Allah dan berterimakasihlah kepada ayahmu sebanding dengan hal tersebut, dan tiada daya kecuali karena Allah.”
Sedangkan tentang hak ibu, Imam Ali Zainal Abidin mengatakan:
أمَّا أمُّكَ فأن تَعلَمَ أنَّهَا حَمَلَتْكَ حَيثُ لا يَحتَمِلُ أحَدٌ أحَداً ، وأعطَتْكَ مِن ثَمَرة قلبها مَا لا يُعطِي أحدٌ أحَداً ، وَوَقَتْكَ بِجَمِيعِ جَوَارِحِها ، ولَمْ تُبَالِ أنْ تَجُوعَ وتُطعِمكَ ، وتَعطشَ وتُسقِيكَ ، وتعرى وتَكسُوكَ ، وتضحي وتظلُّك ، وتهْجر النَّوم لأجْلِكَ ، وَوَقَتْكَ الحَرَّ والبرد يكون لها ، فإنَّك لا تُطيق شُكرَها ، إلاَّ بعونِ الله وتوفيقه
Dengan bahasa hati yang lembut ini Imam Zainal Abidin menyusun pasal-pasal hak iktibari bagi orang tua.
Imam Musa al-Kazhim meriwayatkan dari Nabi saw:
( أنَّ رجلاً سألَ الرسولَ ( صَلَّى اللهُ عَليهِ وآلِه ) : مَا حَقّ الوَلَدِ على وَالِدِه ؟ قال ( صلى الله عليه وآله ) : ( لا يُسَمِّيهِ باسْمِه ، وَلا يَمْش بَينَ يَدَيه ، وَلا يَجْلِسُ قَبْلَه ، وَلا يَسْتَسِبُّ لَه )
Seseorang bertanya kepada Rasulullah saw, “Apa hak orang tua dari anaknya?” Beliau menjawab, “Tidak dipanggil dengan namanya langsung, anak tidak berjalan di depannya, anak tidak duduk sebelum dia duduk, dan anak tidak mengundang celaan baginya.”
Durhaka kepada orang tua dan efek negatifnya di dunia
Pada penjelasan terdahulu kami telah menerangkan efek-efek durhaka kepada orang tua di akhirat, yang utamanya adalah mengundang murka Allah SWT, tidak diterimanya amal shalih, dll. Orang yang menelaah hadits-hadits Ahlul Bait dalam masalah ini, akan mendapati banyak sekali hadits. Sekarang kami akan menerangkan efek-efek negatif durhaka kepada orang tua di dunia. Hal ini dapat kami klasifikasi dalam poin-poin berikut ini:
Pertama, mengundang kemiskinan.
Tentang hal ini, Imam Jafar ash-Shadiq mengatakan:
أيُّمَا رَجُلٍ دَعَا عَلَى وَالِدِهِ أوْرَثَهُ الفَقر
Kedua, mendapat balasan yang setimpal.
Anak-anak yang berperilaku buruk terhadap orang tua mereka akan mendapatkan perlakuan yang setimpal dari anak-anak mereka. Anak-anak mereka tidak akan menghargai mereka ketika mereka telah tua. Hal ini ditegaskan oleh Imam Jafar ash-Shadiq:
برُّوا آبَاءكُم يَبرُّكم أبناؤكم
Pengalaman sehari-hari telah membuktikan hakikat ini dan menjadi aksioma dari generasi ke generasi. Orang yang durhaka kepada orang tuanya, akan mendapati nasib yang sama dari anak-anaknya.
Ketiga, mengundang kehinaan dan kerendahan.
Tidak diragukan bahwa orang yang durhaka kepada orang tuanya akan dipandang masyarakat dengan pandangan benci dan rendah. Dia akan terasing dan dicela masyarakat, tidak disebut kecuali dengan celaan dan hujatan apa pun dalih yang ia lontarkan. Imam al-Hadi mengatakan:
العقوقُ يعقب القلة ، ويؤدِّي إلى الذِّلَّة
“Durhaka akan melahirkan kemiskinan dan menyebabkan kehinaan.”
Kata kemiskinan di dalam riwayat ini dapat diartikan secara umum, sehingga mencakup kemiskinan harta dan kemiskinan mental serta sosial yang mewujud dalam sedikitnya teman serta kenalan. Orang-orang tidak akan menaruh kepercayaan kepada orang yang durhaka kepada orang tuanya. Bagaimana mungkin dia dapat dipercaya, sementara dia telah memutus tali kasih sayang dengan orang tuanya, orang yang paling dekat dengan dirinya?