Sejarah menjadi saksi bahwa sejak dahulu kala, Muslimin di dunia senantiasa merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad Saw, dan para khatib menyampaikan keutamaan beliau. Tidak diketahui secara pasti kapan acara ini dimulai, tapi yang jelas ratusan tahun yang lalu perayaan ini sudah populer di Dunia Islam
Ahmad bin Muhammad Qasthalani (w. 92 H.), salah satu ulama terkenal abad ke-IX H., berkata tentang perayaan yang berlangsung pada bulan kelahiran Nabi Muhammad Saw, ‘Muslimin senantiasa merayakan bulan kelahiran Nabi Muhammad Saw. Pada bulan itu mereka memberi makanan kepada orang lain. Malam harinya mereka menyebarkan segala macam sedekah. Mereka tunjukkan kegembiraan dan mereka gandakan amal baik. Mereka juga melantunkan puisi-puisi yang mengucapkan selamat atas kelahiran Nabi Muhammad Saw. Setiap tahun, keberkahan beliau Saw pasti tampak jelas. Semoga rahmat Allah Swt senantiasa tercurahkan bagi setiap orang yang merayakan malam-malam bulan kelahiran beliau Saw dan melipatgandakan penyakit orang-orang yang hati mereka sakit (bermasalah dengan Islam).’[1]
Husain bin Muhammad bin Hasan, salah seorang hakim atau jaksa kota Mekah yang dikenal dengan julukan Diyar Bakri (w. 960 H), menuliskan di dalam buku sejarahnya, ‘Muslimin senantiasa merayakan bulan kelahiran Nabi Muhammad Saw, mereka memberi makanan kepada orang lain, dan malam harinya mereka menyebarkan sedekah. Mereka mengungkapkan kegembiraan dan bersikeras untuk beramal baik kepada orang-orang fakir miskin. Mereka membacakan puisi-puisi ulang tahun kelahiran Nabi Saw dan menyampaikan keutamaankeutamaan beliau di setiap saat dari bulan itu.’[2]
Dua pernyataan historis dari abad ke-X H. ini membuktikan bahwa peringatan hari kelahiran para wali Allah Swt mempunyai latar belakang yang jauh sekali dalam sejarah Islam, para ulama pun menyatakan kebenaran perbuatan ini, dan pada hakikatnya perayaan ini tiada lain adalah sebuah bentuk ungkapan cinta kepada junjungan Nabi Besar Muhammad Saw.
Atas dasar itu, di sini kami juga akan menyinggung dalil syar’i atas peringatan-peringatan semacam ini:
Ungkapan cinta dan penghormatan terhadap Nabi Muhammad Saw adalah salah satu prinsip agama Islam dan perintah Al-Qur’an, tidak ada seorang pun yang dapat mengingkari hal ini. Dan perayaan hari lahir beliau Saw adalah pengejewantahan prinsip itu. Untuk itu, kami cukup menyebutkan dua ayat tentang hal ini:
Yang pertama, Allah Swt berfirman:
Katakanlah, ‘Jika bapak-bapak kalian, anak-anak kalian, saudara-saudara kalian, istri-istri kalian, sanak keluarga kelian, harta kekayaan yang kalian peroleh, perniagaan yang kalian khawatir merugi dan tempat tinggal yang kalian sukai, lebih kalian cintai dari Allah dan Rasul-Nya serta jihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak menghidayahi kaum yang fasik:[3]
Terang sekali ayat ini menunjukkan bahwa kecintaan terhadap Nabi Muhammad Saw merupakan kewajiban Ilahi di sisi kecintaan terhadap Allah Swt. Meskipun kecintaan ini merupakan pengantar untuk mengamalkan syariat dan hukumhukumnya, namun pada saat yang sama pengamalan syariat melintas di jalan cinta kepada Nabi Muhammad Saw.
Ayat yang kedua, Allah Swt berfirman:
Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memulia kannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang diturunkan besertanya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.[4]
Ayat ini memerintahkan empat hal kepada orang-orang muslim:
‘Beriman kepadanya': beriman kepada Nabi Muhammad Saw.
‘Memuliakannya': memuliakan Nabi Muhammad Saw.
‘Menolongnya': menolong Nabi Muhammad Saw dalam kesusahan.
‘Mengikuti cahaya yang diturunkan bersamanya:’ mengikuti Al-Qur’an yang diutus bersama Nabi Muhammad Saw.
Berdasarkan dua ayat di atas yang mewajibkan kecintaan dan penghormatan terhadap Nabi Muhammad Saw, maka kita kembali menanyakan, bukankah perkumpulan Muslimin di hari kelahiran Nabi Muhammad Saw adalah pelaksanaan nyata atas dua ayat tersebut? Tentu saja jawabannya iya, dan siapa pun yang memperhatikan majelis-majelis itu pasti mengakuinya sebagai bentuk ungkapan cinta, penghormatan clan pemuliaan terhaclap Nabi Muhammad Saw. Karena itu, perbuatan Muslimin ini mempunyai clasar Al-Qur’an dan merupakan prinsip samawi. Dan dengan demikian, tidak mungkin dikategorikan sebagai bid’ah. Bid’ah adalah perbuatan baru yang tidak mempunyai dasar Al-Qur’an sekaligus sunnah.
Di surat Al-Insyirah, Allah Swt berfirman:
Dan Kami tinggikan namamu.[5]
Ayat ini menunjukkan bahwa peninggian nama Rasulullah Saw termasuk nikmat Allah Swt kepada beliau. Salah satu cara meninggikan nama beliau aclalah memperingati hari lahir beliau dengan hal-hal menggembirakan yang bukan tergolong dosa atau sia-sia.
Nabi Isa as menyebut hari turunnya Hidangan Samawi sebagai hari raya dan berkata:
Ya Allah Tuhan kami, turunkanlah kepada kami hidangan dari langit yang akan jadi hari raya bagi kami dan bagi orang-orang yang bersama kami serta yang datang sesudah kami, dan sebagai tanda dari-Mu. Dan berilah kami rezeki, dan Engkaulah sebaik-baik pemberi rezeki.[6]
Kalau saja hari turunnya Hidangan Samawi, yang tidak lebih dari sebuah kenikmatan terbatas dan cepat lintas, patut dirayakan setiap tahun, kenapa hari kelahiran Nabi Muhammad Saw atau hari pengutusan beliau sebagai nabi (Bi’tsah) yang merupakan nikmat besar Ilahi dan abadi tidak patut dirayakan?!
Maka dari itu, kapan saja, di hari atau malam apa saja, di bulan atau tahun berapa pun Muslimin mengadakan sebuah majelis yang mengingatkan keutamaan Nabi Muhammad Saw, membacakan ayat-ayat Al-Qur’an tentang beliau, atau melantunkan puisi-puisi pujian untuk beliau maka pada hakikatnya mereka sedang melakukan firman Allah Swt untuk mencintai dan memuliakan beliau. Jadi, mereka memandang spesial hari kelahiran beliau karena keberadaan dan kelahiran beliau itu sendiri merupakan nikmat yang besar, mereka tidak merayakan hari itu bukan karena hari itu ditentukan langsung oleh syariat, tapi mereka merayakannya demi mensyukuri nikmat Allah Swt yang sangat besar dan melaksanakan perintah-Nya untuk meninggikan nama Nabi Muhammad Saw.
Catatan :
[1] Al-Mawahib Al-Laduniyah, jld. 1, hal. 27.
[2] Tarikh AI-Khomis,jld. 1, hal. 323.
[3] QS. Al-Taubah [9]: 24
[4] QS. Al-A’raf [7]: 157
[5] QS. Al-Insyirah [94] : 4
[6] QS. Al-Ma’idah [5] : 114