Tadinya aku tinggal di Tehran dan kerjaanku di bidang komputer. Suatu hari aku melihat shalatnya Ayatullah Behjat di tv dan aku menikmatinya.
Aku ingin pergi ke Qom dan shalat berjamaah bersama Ayatullah Behjat. Akhirnya aku pergi dan shalat berjamaah bersama beliau sebagaimana shalat yang pernah aku lihat di tv. Shalat berjamaah bersama Ayatullah Behjat bagiku sangat nikmat. Setiap hari aku pergi dari Tehran ke Qom hanya untuk shalat berjamaah subuh bersama Ayatullah Behjat dan kembali lagi ke Tehran.
Hal ini aku lakukan selama satu tahun. Setiap hari aku pergi ke Qom hanya untuk shalat subuh dan kembali lagi ke Tehran. Selama ini setan juga tidak berdiam diri. Setiap hari setan menggodaku mengapa kamu mengabaikan urusan duniamu dan pergi ke Qom? Lakukan saja shalatmu ini di Tehran dan sebaginya.
Sedikit demi sedikit aku merasa sensitif dengan jeritan Ayatullah Behjat di saat beliau mengucapkan salam di akhir shalat. Mengapa Ayatullah Behjat menjerit? Mengapa beliau menjerit? Mengapa beliau berteriak? Mengapa beliau mengucapkan salam seakan-akan sedang merasa kesakitan? Kesensitifanku begitu tinggi sehingga aku mengucapkan salam sebelum beliau mengucapkannya.
Bila aku tidak berhasil memahami kenapa Ayatullah Behjat menjerit ketika mengucapkan salam di akhir shalat, aku tidak akan datang lagi ke Qom untuk shalat berjamaah bersamanya. "Cukup aku lakukan shalat subuhku di Tehran dan pekan ini adalah pekan terakhir bagiku," gumamku.
"Suatu hari aku datang ke rumah Ayatullah Behjat dan mengetuk pintunya. Harus kutanyakan apa alasan dari jeritan-jeritan ini," kataku.
Aku masuk ke rumahnya dan aku lihat beliau sedang menemui tamunya. Aku duduk di sudut ruang tamu dan pikiranku berkecamuk. Dalam hatiku aku berbicara dengan Ayatullah Behjat:
"Pak, sudahlah aku akan pergi kalau kamu tidak mau mengatakannya! Sudahlah aku tidak akan shalat berjamaah bersamamu!"
Pada saat yang sama seakan-akan Ayatullah Behjat mendengar ucapanku ini dan seketika itu beliau menatap tajam mataku. Badanku langsung gemetar, yakni Ayatullah Behjat tahu apa yang aku katakan? Akukan hanya berkata dalam hatiku? Akukan tidak berbicara keras? Bagaimana beliau bisa mendengarnya?
Aku menunduk dan pelan-pelan keluar dari ruangan kemudian langsung kembali ke Tehran. Di jalan senantiasa aku bertanya-tanya kepada diriku sendiri, bagaimana mungkin Ayatullah Behjat bisa mendengar kata-kataku? Pikiranku dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut sampai akhirnya malam aku tidur. Saat tidur aku bermimpi shalat berjamaah tepat di belakang beliau di barisan pertama. Aku keheranan, di alam nyata aku tidak pernah berhasil mendapatkan beberapa barisan depan, apalagi barisan pertama!
Aku merasa gembira telah shalat tepat di belakang Ayatullah Behjat. Aku terheran-heran karena tiba-tiba di depan Ayatullah, yaitu di mihrab ada sebuah pintu terbuka menghadap sebuah taman yang indah dan subur. Kapan pintu ini dibuka? Padahal Qom tidak punya taman sebesar ini. Aku terheran-heran, taman itu rindang dan penuh dengan buah-buahan. Ya Allah di manakah taman ini sebelumnya? Aku bertanya-tanya sampai akhirnya pada salam di akhir shalat. Di ujung shalat dan ketika salam, pintu taman tertutup rapat. Seketika itu aku terbangun.
Yakni aku sedang bermimpi? Ayatullah Behjat telah menjawab pertanyaanku dalam mimpi. Berarti jeritan Ayatullah Behjat ketika mengucapkan salam karena kesakitan berpisah dari taman yang indah dan kembali ke bumi? Karena kesakitan ini Ayatullah Behjat menjerit. Aku telah mendapatkan jawaban dari pertanyaanku selama ini. Setelah kejadian itu dengan senang hati selama tiga tahun, setiap hari aku pergi ke Qom untuk shalat berjamaah subuh bersama Ayatullah Behjat dan kembali lagi ke Tehran sampai beliau wafat.
Tulisan ini adalah memori salah satu makmum Ayatullah Behjat yang disampaikan oleh putra marja taklid besar ini dalam dalam acara peringatan haul beliau di masjid Shahib Zaman af di Varamin.