Manakah yang Dahulu: Eksistensi atau Esensi?
Dari pengalaman sehari-hari, kita memang tak bisa menyangsikan realitas luar dan realitas dalam pikiran kita. Kedua-duanya ada, kedua-duanya dapat dijadikan subyek alias pokok kalimat berupa kata benda. Semua yang ada dapat dijadikan pokok kalimat. Inilah yang disebut oleh Aristoteles sebagi substansi. Bagi Aristoteles, substansi atau dzat itulah yang mempunyai eksistensi. Yang lainnya, yaitu kata kerja, kata sifat dan lain sebagainya merupakan keterangan alias aksiden yang ditambahkan atau esensi yang melekat pada substansi. Pengetahuan kita tentang substansi itu termasuk aksiden. Tetapi pengetahuan kita tentang diri kita termasuk esensi, begitu juga pengetahuan Tuhan tentang diriNya. Begitu pula Sifat–sifat Tuhan lainnya. Lalu manakah lebih fundamental antara keduanya?
Jawaban Mu’tazilah
Bagi kaum Mu’tazilah sebagian dari sifat-sifat Tuhan bersifat esensial, termasuk wujud, esa, ‘ilm dan lain sebagainya. Sekarang timbul pertanyaan, apakah sifat-sifat itu abadi atau tidak. Jawab yang umum, tentulah: ya, sifat-sifat itu abadi. Nah, kalau sifat-sifat itu abadi, apakah sifat-sifat itu ada atau tidak. Tentu saja jawabnya: sifat-sifat itu ada. Jika tidak ada, bagaimana pula sifat-sifat itu akan disebut dalam firman-firman-Nya. Disinilah kaum Mu’tazilah berkeberatan. Kalau sifat-sifat itu ada dan abadi, maka dengan sendirinya Tuhan mempunyai sekutu alias syir’k. Tentu saja ini bertentangan dengan sifat Tuhan yang paling pokok yaitu keesaan-Nya. Untuk menyelesaikan persoalan pelik ini, mereka mengatakan sifat-sifat itu tidak ada, yang ada hanyalah nama-nama yang diberikan oleh Tuhan untuk menjelaskan pada manusia. Metode penelitian kaum Mu’tazilah adalah penggunaan Manthiq (Logika) untuk menafsirkan ayat-ayat al Qur’an yang suci. Dari penalaran seperti itu mereka hanya mengenal dua realitas, yang Mutlak dan yang nisbi, dengan jurang tak terseberangi antara keduanya, kecuali dengan iman yang rasional.
Jawaban Hikmatul Masya’iyyah (Peripatetik)
Kaum filosof Masya’iyyah, seperti Ibn Sina, punya pendapat lain, walaupun sama-sama menganggap tinggi logika Yunani. Tuhan itu ada dan Sifat-Sifat-Nya juga ada. Hanya saja keberadaan Dzat Tuhan berbeda dengan keberadaan Sifat-Sifat Tuhan. Dzat atau substansi, Keberadaan atau eksistensi Tuhan bersifat primer, sedangkan yang keberadaan Sifat-Sifat Tuhan, termasuk esensi-Nya bersifat sekunder. Tak terbayangkan yang kedua tanpa yang pertama. Sebaliknya tidak demikian. Jadi, Eksistensi Ilahi mendahului Esensi-Nya. Dalam bahasa ilmu Kalam, Dzat mendahului Sifat. Dzat dan Sifat, sama-sama merupakan realitas yang nyata. Begitulah pandangan mazhab Peripatetisme Islam atau Hikmatul Masya’iyyah yang ditegakkan para pendirinya dengan menggunakan nalar rasional terhadap konsep-konsep intelektual. Berbeda dengan ontologi Kalam yang hanya memahami dua realitas, Yang Mutlak dan yang Nisbi, para filosof mengakui adanya perjenjangan diskrit antara keduanya seperti kaum Neo-Platonis.
Jawaban Hikmatul Wahdatiyah
Akan tetapi para ahli sufi aliran wujudiyah, misalnya Ibn Arabi, yang berlawanan dengan pandangan para filosof. Katanya, wujud itu hanya satu, yaitu Tuhan. Benda-benda lain tak punya wujud apa lagi sifat-sifatnya. Sedangkan Sifat-Sifat Tuhan yang mereka sebut a’yan tsabitah (realitas-realitas tetap) itu adalah bentuk-bentuk dalam pengetahuan-Nya. Sebenarnya, a’yan tsabitah itu juga dikenal oleh para pemikir lainnya di kalangan muslim dan non-muslim. Kaum mutakalimun menyebutnya ma’lumat (yang diketahui) dan kaum falasifah menyebutnya sebagai mahiyyat (quidditas, ke-apa-an atau esensi). Aristoteles menyebutnya morphe (bentuk-bentuk) dan gurunya, Plato, menyebutnya eidos (ide-ide). Bagi Ibn Arabi, apa yang kita hadapi sebagai benda-benda fisik itu tak lain dari bayangan realitas-realitas tetap itu. Inilah pandangan irfan Wahdatul Wujud alias kesatuan Realitas. Dalam pandangan ini Wujud atau eksistensi mendahului mahiyyat atau esensi. Para arifin ini mencurigai penggunakan rasio atau aql, sebagai gantinya mereka menggunakan intuisi atau pengalaman batin mengenai realitas sebagai sumber utama pengetahuannya. Di samping dari pengalaman mistik mereka, mereka meyimpulkan adanya jenjang realitas dan kesadaran yang bersifat diskrit.
Jawaban Hikamatul Isyraqiyah
Seorang sufi lainnya dari Persia, Syihabuddin Suhrawardi yang juga seorang kritikus tajam filsafat Ibn Sina, berusaha mengekspresikan pengalaman kesatuan mistiknya dalam pandangan yang sama sekali lain. Katanya, wujud, alias eksistensi, hanya ada dalam pikiran manusia. Yang benar-benar ada hanyalah esensi-esensi itu yang tak lain dari pada bentuk-bentuk cahaya dari Maha Cahaya yang tak lain dari pada Tuhan. Cahaya itu Satu dan benda-benda yang banyak lagi berbeda-beda itu hanyalah gradasi intensitasnya atau kebenderangannya. Dalam pandangan metafisika cahaya Persia ini, wujud bersifat sekunder, dan sifat-sifat atau esensi bersifat primer. Dalam bahasa filosofis, ini berarti esensi lebih fundamental atau mendahului, secara logis, eksistensi. Inilah pandangan filsafat iluminasionisme alias Hikmatul Isyraqi. Suhrawardi, pendiri mazhab Isyraqiyah, mengambil kesimpulannya melalui suatu penelitian filosofis yang menggabungkan metode intuitif mistikus dengan metode rasional filosofis sebagai pelengkapnya.
Jawaban Sintesa: Hikmatul Muta’aliyah
Pandangan Suhrawardi itu menjadi dominan di kalangan filsuf Persia di masa kejayaan Daulah Shafawiyah di Iran yang kemudian dikenal sebagai mazhab Isfahan. Begitulah Mula Sadra diajarkan oleh gurunya: Mir Damad. Akan tetapi dia juga sangat mengagumi pandangan Ibn Arabi yang menakjubkan itu. Oleh karena itu dia membalik ajaran Isyraqiyah dengan mengambil pandangan Ibnu Arabi tentang prioritas eksistensi atau wujud terhadap esensi atau mahiyah, namun dia menolak pandangan Ibn Arabi tentang ketunggalan wujud. Bagi Mulla Sadra benda-benda sekitar kita di alam bukanlah tanpa eksistensi atau ilusi, namun juga ada seperti adanya Tuhan. Sedangkan sifat-sifat atau esensi yang tidak mempunyai eksistensi sama sekali. Esensi adalah kebalikan dari eksistensi. Jika Tuhan adalah Ada dan benda-benda juga ada, maka tak dapat secara logika dihindarkanlah kesimpulan bahwa segala benda-benda adalah Tuhan atau pantheisme seperti yang dituduhkan secara salah oleh para ulama terhadap pandangan wihdatul wujud. Solusi Mulla Sadra dalam hal ini adalah gagasan Tasykikul Wujud atau gradasi wujud yang mengatakan bahwa Eksistensi alias wujud mempunyai gradasi yang kontinu seperti halnya cahaya yang diidentifikasi sebagai Esensi oleh Suhrawardi.
Jadi, menurut Mulla Shadra, dari Ada Mutlak hingga Tiada terdapat gradasi “ada-ada nisbi” yang tak terhingga banyaknya. Dengan perkataan lain, realitas alam semesta merentang dari kutub Tiada ke kutub ADA mutlak. Inilah pandangan kesatuan realitas versi Mulla Shadra yang disebutnya sebagai Hikmatul Muta’aliyyah. Pandangan ini merupakan sintesa besar yang meliputi pandangan teologis kalam, pandangan filosofis hikmat dan pandangan mistis irfan.
Secara tabular kita dapat melukiskan pokok-pokok pikiran tradisional Islam sebagai berikut: Kalam, Mu’tazilah Hikmat, Masya’iyah Hikmat, Isyraqiyah Irfan, Wujudiyah Hikmat, Muta’aliyah, Eksistensi (wujud) riil riil mental riil riil, Esensi (Mahiyyah) riil riil riil mental mental, Hubungan, Eksistensi, Esensi eksistensi, mendahului, esensi eksistensi, mendahului esensi esensi, mendahului, eksistensi eksistensi, mendahului, esensi eksistensi, mendahului esensi, Struktur, Realitas Polaritas, mutlak/nisbi jenjang, eksistensi gradasi, esensi jenjang, esensi gradasi, eksistensi, Metode, keilmuan Rasio, Wahyu Rasio, Intuisi, Wahyu Intuisi, Wahyu Rasio, Intuisi, Wahyu.
Sadrianisme dan Wawasan Ontologis Kontemporer
Satu hal yang menarik pada pandangan Mulla Sadra adalah pandangannya tentang gerak substantif atau harakatul jawhariyah yang berbicara tentang terjadinya perubahan tingkat wujud pada benda-benda di alam semesta. Berbeda dengan pemikiran filosofis sebelumnya, yang menganggap spesies sebagai suatu yang tetap, dalam pandangan Mulla Sadra batu dimungkinkan menjadi tanaman, tanaman menjadi hewan dan seterusnya yang sekarang dikenal sebagai pandangan evolusionisme. Namun, berbeda dengan evolusionisme materialistik biologi modern, gerak evolusioner Mulla Sadra bukanlah perubahan-perubahan material bersifat acak yang diseleksi alam seperti pandangan Darwinisme, namun merupakan perubahan substantif menuju tingkat wujud yang lebih tinggi karena tarikan Wujud Tertinggi atau Tuhan Pencipta Semesta. Dalam bahasa filosofis kontemporer, dapat dikatakan bahwa pandangan evolusionis Sadra sebagai pandangan teleologis yang mengikuti asas finalisme. Dalam hal ini, Mulla Sadra telah memberikan landasan filosofis yang kokoh bagi evolusionisme spiritualistik Jalaluddin Rumi. Pertanyaannya kini: Apakah pandangan evolusionisme spiritualistik ini konsisten dengan pandangan keilmuan sekarang. Untuk menjawab pertanyaan ini, hendaknya diingat bahwa evolusionisme spiritualistik adalah suatu pandangan falsafi yang bersifat umum yang meliputi seluruh semesta sedangkan pandangan evolusionisme materialistik hanya mencakup dunia kehidupan atau dunia biologis.
Pandangan evolusionisme yang bersifat universal di dunia modern dipelopori oleh aliran vitalisme [5] buah pikiran Henry Bergson, filosof Prancis yang hidup di awal abad 20. Berbeda dengan darwinisme, evolusionisme Bergson melihat dinamika kehidupan pada elan vital atau ruh kehidupan yang kreatif tersimpan dalam esensi setiap materi. Pandangan filosofis ini sangat populer di kalangan seniman dan agamawan di awal abad 20, sebelum esensi digusur oleh kaum eksitensialis di pertengahan abad dan digusur keluar wacana filosofis oleh para pemikir pos-strukturalis. Sedangkan darwinisme ilmiah atau neo-darwinisme tetap mendominasi intelektualitas para ilmuwan, bahkan akhir-akhir ini diperluas untuk ranah sosial dan kultural oleh Richard Dawkins [6] dengan konsep meme sebagai padanan bagi gene dalam ranah biologi.
Akan tetapi, akhir-akhir ini pandangan evolusionisme neo-darwinisme materialistik telah dikembangkan menjadi pandangan yang lebih holistik meliputi seluruh sejarah seluruh jagat-raya. Salah seorang pemikir Inggris wanita, Donah Zohar [7] yang juga seorang murid fisikawan filsuf holisme terkemuka David Bohm, punya wawasan yang disebutnya holisme relasional. Dalam holisme kuantum versi Donah Zohar, evolusi biologis hanyalah merupakan satu fase saja dalam evolusi semesta raya yang bermula pada riak kecil pada kehampaan kuantum dan berakhir pada kehampaan kuantum yang sama. Karena itu dia mengidentifikasi kehampaan kuantum itu dengan Sunyata di agama Budha dan Tuhan pada agama-agama monotheistik. Metafisika kuantum Zohar ini sebenarnya lebih mirip dengan mistisisme panteistik, karena vakum atau kehampaan kuantum itu ada di mana-mana meliputi seluruh alam semesta. Pandangan yang lebih monotheistik adalah Omega Point Theory [8] buah pikiran pakar kosmologi matematis Frank Tippler tentang adanya titik singularitas kosmologis di masa depan yang disebut titik Omega yang tak pernah dicapai oleh alam. Titik omega yang ada di masa depan yang tak terhingga ini merupakan limit penciutan alam semesta setelah pada suatu saat nanti, di masa depan yang jauh, akan berbalik dari pengembangannya yang sekarang.
Uniknya, Titik Omega ini diidentifikasi Frank Tipler sebagai Tuhan Maha-Pencipta alam semesta, karena dia mempunyai sejumlah karakteristik-Nya yang fundamental. Titik Omega itu “tunggal”, “transenden”, “pencipta” alam semesta, “menguasai” semua dan “mengetahui” segalanya. Lalu, alam yang di”cipta” oleh Titik Omega itu mengikuti prinsip antropik kosmologi. Prinsip antropik mengatakan bahwa konstanta-konstanta fisika fundamental di awal kejadian alam terpilih sedemikian rupa sehingga akan timbul kehidupan yang cerdas di salah satu planet, yaitu bumi. Tipler berspekulasi bahwa kehidupan cerdas itu kemudian akan terus menyebar ke seluruh penjuru alam. Penyebaran kehidupan dan kecerdasan ini pun berlangsung terus, bahkan pada masa kontraksi sehingga pada akhirnya alam dapat dikatakan menjadi semacam komputer biologis yang sangat-teramat kecil, akan tetapi teramat-sangat canggih. Yang menarik adalah pernyataan Frank Tippler bahwa alam akhirat itu identik dengan realitas virtual dalam super-komputer biokosmik tersebut. Lebih menarik lagi adalah kenyataan bahwa Mulla Sadra juga mengatakan bahwa hakekat alam akhirat adalah ‘alamul mitsal.
Sementara itu fungsi gelombang kuantum jagat-raya, yang dapat dianggap meta-program bagi super-komputer biokosmos tersebut di atas, diidentifikasikan oleh Tipler sebagai Ruh Kudus di kalangan Kristen atau ‘Aqlul Awwal di kalangan filsuf muslim tradisional. Bagi kalangan tasawuf Akal Pertama itu disebut Nur Muhammad atau Haqiqat Muhammadiyah, sedangkan bagi Mulla Sadra, Akal Pertama itu tak lain dari Ilmu Tuhan tentang Diri-Nya sendiri. Eidos Plato atau morphe Aristoteles tak lain dari kandungan dalam Ilmu Tuhan sebagai salah satu SifatNya. Yang menarik pula ialah kenyataan bahwa dalam metafisika kuantum kontemporer, benda-benda terkecil yaitu partikel-partikel fundamental dan gaya-gaya fundamental yang bekerja antara mereka juga mempunyai sifat gelombang yang dapat dianggap sebagai riak-riak kecil di lautan kehampaan kuantum yang terus membesar menjadi ombak dan gelombang yang kita kenal sebagai alam semesta tempat kita semua berada.
Bagi sebagian dari metafisikawan itu, riak-riak terkecil kuantum itu pada dasarnya tak lain dari bit-bit informasi dalam komputer semesta yang terus berkembang menjadi cerdas melalui proses yang disebutkan Tipler di atas. Bit-bit itu, serupa dengan esensi-esensi dalam metafisika Shadrianisme, tidaklah mempunyai eksistensi. Sedangkan konsep vakum kuantum mereka, mirip dengan prima materia yang diyakini kaum perennialis. Dalam bahasa metafisika Sadra, prima materia adalah bayang-bayang Ketunggalan Wujud Murni pada Ketiadaan Mutlak. Satu hal yang perlu diperhatikan ialah kenyataan bahwa Mulla Sadra dan pemikir-pemikir klasik lainnya bertolak dari refleksi murni logis terhadap pengalaman-pengalaman langsung indrawi dan intuisi intelektual. Sedangkan apa yang dilakukan filsuf evolusionisme modern adalah spekulasi filosofis terhadap pengamatan empiris operasional ilmiah. Para shadrianis meyakini pandangan mereka sebagai puncak kebenaran filosofis, sedangkan para filsuf evolusionisme kontemporer menganggap pandangannya masih terbuka untuk disempurnakan dengan ditemukannya penemuan-penemuan ilmiah yang lebih mutakhir.
Kesimpulan
Tampaknya, pandangan Mulla Sadra sebagai varian dari filsafat perennial dapat digunakan sebagai penangkal nihilisme posmodern yang bukan saja meniadakan esensi tetapi juga meniadakan eksistensi melalui proses dekonstruksi destruktifnya. Pandangan Mulla Sadra justru serasi dengan pandangan holisme, kutub lain dari intelektualisme posmodern. Akan tetapi identifikasi Realitas dengan Kesadaran, dalam wacana holitik posmodern, lebih cocok dengan perennialisme dengan varian Suhrawardianisme di kalangan Islam dan Vedanta di kalangan Hinduisme. Varian Shadrianisme dengan pasangan Ada/Tiada ini lebih mirip dengan varian Taoisme Cina yang dipandang orientalis Jepang Isutzu sebagai padanan bagi Wihdatul Wujudnya Ibn Arabi.
Seorang mistikus tentunya akan melihat varian-varian intelektual perennialisme sebagai pandangan-pandangan tentang gajah yang dilihat oleh si melek (observator yang buta) dari sudut yang berbeda-beda. Bagaimanapun berbedanya, pandangan-pandangan ini lebih utuh dari bayangan gajah oleh empat orang buta seperti yang dikisahkan Jalaluddin Rumi dalam Matsnawi-nya yang terkenal itu. Yang perlu digaris-bawahi ialah kenyataan bahwa orang-orang buta dalam kisah Rumi itu sebenarnya tak lain dari ilmuwan-ilmuwan yang melihat segala sesuatu secara empiris positivistik. Dan orang melek itu tak lain dari simbolisme filsuf yang melihat realitas lebih logis komprehensif. Namun, tak ada yang mengetahui gajah kecuali gajah itu sendiri dan ini tak lain dari simbolisasi Realitas Mutlak yang identik dengan Kesadaran Semesta dalam wacana agama-agama pasca-modernis Zaman Baru.
Mudah-mudahan, pengantar ini menjadi jembatan antara pikiran pasca-modernis yang pluralistik masyarakat kontemporer dengan pikiran tradisionalis yang monistik seperti yang direpresentasikan oleh pikiran filsuf Islam terbesar di kalangan Syi’ah yang dipaparkan oleh Fazlur Rahman secara kritis. Walaupun kritik-kritiknya terasa agak asing, karena kecenderungan modernistik almarhum Fazlur Rahman, beliau berhasil menunjukkan dengan adil keluasan dan kedalaman wawasan Sadrianisme, yang merupakan filsafat tinggi akademisi Iran Syi’ah, kepada kalangan Sunni tanpa memberikan sikap a priori yang bersumber pada perbedaan keyakinan teologis yang fundamental. Semoga ini menjadi jembatan menuju upaya pemahaman kembali khazanah wawasan monistik tradisional Islam yang lebih menyeluruh terutama sumbangan pemikiran ulama-ulama Nusantara di masa silam. Amin ya Rabbal ‘alamin.
Catatan
[1] Stephen Hawking, dalam bukunya A Brief History of Time (Bantam, London & New York 1988), menuliskan kalimat terakhirnya “If we find the anwer to that, it would be the ultimate triumph of human reason --- for then we would truly know the mind of God”
[2] Alfred North Witehead, matematikawan Inggris penulis buku Process and Reality, berbicara eternal objects yaitu universal essences yang terus menerus menyelusup dan keluar apa yang disebutnya masyarakat organisme yang terdiri dari kejadian-kejadian aktual alias particular existents. Dia adalah penerus evolusionisme Bergson dengan cara menyempurnakannya dengan memasukkan penemuan-penemuan fisika baru : teori relativitas dan teori kuantum.
[3] Henry Bergson, Creative Evolution.
[4] Fritjof Capra, The Tao of Physics (Bantam Books, NewYork 1980).
[5] Henry Bergson, penulis Creative Evolution, mengajukan wawasan evolusionisme anti-darwinian yang bersifat vitalistik bukan mekanistik. Rekan senegaranya Pierre Teilhard deChardin juga mengembangkan wawasan evolusionisme antidarwinian yang finalistik, bukan mekanistik maupun vitalistik.
[6] Richard Dawkins, Selfless Gene.
[7] Danah Zohar menulis tiga buku berkaitan dengan metafisika kuantum ini yaitu Quantum Self (Flamingo, London1991 ), Quantum Society (bersama suaminya Ian Marshall diterbitkan oleh Flamingo, London 1994 ) dan Connecting with our Spiritual Intelligence (bersama suaminya diterbitkan Bloomsbury, NewYork 2000).
[8] Frank Tipler, penulis Physics of Immortality (Doubleday, New York 1994), adalah salah seorang pencetus Prinsip Antropik dalam kosmologi untuk menerangkan besaran-besaran fisika di awal jagat-raya melalui eksistensi kehidupan manusia di bumi masa kini.