1.Seseorang yang melakukan perjalanan pada bulan Ramadhan, pada setiap perjalanan yang menyebabkan shalat menjadi qashr, maka tidak ada kebolehan baginya untuk berpuasa, dan pada tempat dimana dia melakukan shalatnya secara sempurna, seperti musafir yang berniat untuk tinggal di suatu tempat selamasepuluh hari, atau perjalanan merupakan pekerjaannya, maka wajib baginya untuk berpuasa (kecuali pada kasus-kasus yang terkecualikan).
2.Apabila pelaku puasa melakukan perjalanan setelah Dhuhur, maka dia harus menyelesaikan puasanya, akan tetapi apabila dia melakukannya sebelum Dhuhur maka puasanya akan menjadi batal, namun sebelum sampai pada batas tarakhkhush dia tidak boleh berbuka, dan jika dia telah berbuka sebelum mencapai batas tarakhkhush maka berdasarkan ihtiyath dia harus membayar kaffarah (karena berbuka puasa secara sengaja pada bulan Ramadhan).
3.Jika sebelum Dhuhur seorang musafir telah sampai di wathan-nya atau di tempat yang dia berniat tinggal selama sepuluh hari, sementara hingga saat itu belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa, maka dia harus berpuasa, dan jika dia telah melakukannya berarti dia wajib untuk meng-qadha-nya setelah itu, akan tetapi apabila dia sampai di tempat tujuannya setelah Dhuhur, maka tidak ada kebolehan untuk berpuasa.
4.Melakukan perjalanan pada bulan Ramadhan adalah diperbolehkan, meskipun dengan niat untuk melarikan diri dari puasa Ramadhan. Tentunya akan lebih baik apabila tidak melakukan perjalanan, kecuali jika perjalanan ini baik atau sangat penting.
Perhatian:
Seorang musafir yang memutuskan melakukan I’tikaf di Masjidil Haram, apabila dia berniat untuk tinggal selama sepuluh hari di Mekkah Mukarramah atau ber-nadzar akan berpuasa pada saat safar, maka wajib atasnya setelah berpuasa selama dua hari untuk melengkapi puasa I’tikaf-nya menjadi tiga hari. Akan tetapi apabila tidak berniat tinggal atau tidak memiliki nadzar untuk berpuasa di perjalanan, maka puasanya di perjalanan, tidak sah, dan karena puasa tidak sah, berarti keabsahan I’tikaf pun akan terganggu.