Indonesian
Saturday 27th of April 2024
0
نفر 0

Wewangian Imam Zaman as

Wewangian Imam Zaman as


Bismillahirrahmanirrahim
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Ali Muhammad
Ali ali Mawla, Ali ali Mawla, Ali ali Mawla…Ali
Ya Yusufaz Zahra!
 
Alkisah seorang perempuan penulis Kanada menggegerkan Islam di Barat. Namanya Irshad Manji. Ayahnya keturunan India. Ia sendiri dilahirkan di Uganda. Ketika Jenderal Idi Amin mengusir kelompok non kulit hitam, ia sekeluarga memilih pindah ke Kanada. Ia menulis beberapa buku. Isinya kontroversial. Buku pertama, The Trouble with Islam Today. Buku kedua, Allah, Liberty and Love. Saya belum pernah membaca keduanya. Saya hanya menyaksikan beberapa diskusinya di internet. Ia pernah datang ke Jakarta dan sempat diusir oleh sekelompok yang mengatasnamakan ormas Islam tertentu. Usiran yang makin menguatkan pendapatnya tentang masalah dalam Islam: yaitu orang Islamnya.
 
Bukunya yang pertama telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan hampir semua bahasa populer dunia. Kita bahkan bisa mengunduhnya gratis dari laman webnya. Belakangan, ia kembali membuat heboh. Akun twitternya (sepertinya asli karena tak ada bantahan) menampilkan foto-foto dan berita ia menikahi pasangan sesama jenisnya. Dan toh, ia tetap mengatakan ia seorang muslimah. Agamanya adalah hubungannya dengan Allah Swt, Tuhan Yang Maha Esa.
 
Saya berusaha mencermati pemikirannya. Ragam diskusi di youtube itu membawa saya pada beberapa temuan. Ia benar ketika ia mengkritik perilaku sebagian umat yang gampang bertindak kekerasan. Karena, katanya, dalil dan contohnya bisa ditemukan dalam kitab suci dan narasi hadits. Ia juga benar ketika mengatakan agar umat membedakan mana yang Islami dan mana yang ‘Arabi. Baginya, tidak semua yang Arabi itu Islami. Ia mengkritik keras perempuan yang tertindas dalam Islam, warga negara nomor dua, tak punya hak ini dan itu, tak bisa bahkan mengendarai kendaraan, tak bisa keluar tanpa muhrim, tak bisa bersuara…dan lain sebagainya. Ia mungkin akan tambah bersorak kecewa di satu sisi, dan memperkuat pendapatnya di sisi lain, bila mendengar (dan saya kira ia mengetahuinya) bahwa seorang dokter terapis di Saudi mengajarkan para suami cara memukul istri mereka, di televisi nasional. Perempuan seolah tak berarti.
 
Apa yang saya lihat? Kebingungan seorang muslim dan seorang perempuan terhadap dunia dan agamanya. Ia bimbang. Ia kecewa. Ia marah. Ia putuskan para ‘manajer’ agama. Baginya, agama adalah hubungan personal dengan sang penciptanya. Ia ajarkan siapa saja agar bersikap kritis, terbuka, dan tak menerima begitu saja dogma yang diajarkan agama.
 
Sampai di sini, sebagian kita mungkin sependapat. Tetapi kemudian, ada perbedaan kecil yang mendasar, antara saya dan dia. Apa itu? Keteladanan. Bagi orang seperti Irshad Manji, yang paling utama adalah kebebasan berkehendak. Manusia boleh melakukan apa saja yang membahagiakannya selama tidak mendatangkan gangguan bagi sesama. Manusia adalah pikirannya, pendapatnya, pilihannya. Manusia adalah apa yang ia rasa baik bagi dirinya. Bahkan bila menikah sesama jenis membahagiakannya, lakukan saja. Tiada salahnya. Manusia harus menjadi tuan bagi dirinya. Untuk itu, tak perlu agama. Ikuti saja norma kebaikan universal. Mungkin itu pendapatnya.
 
Di sinilah saya berbeda. Bagi saya, agama justru berfungsi sebaliknya. Ia hadir untuk menjadikan kita hamba. Agama menghapuskan opsi sebagai tuan dalam diri kita. Bukan berarti kita tak punya pilihan, tak bisa berkehendak. Tetapi bagaimana kita berjuang untuk mendahulukan kehendak Tuan di atas kehendak kita. Kehendak Mawla di atas kehendak diri. Itulah artinya menghamba. Agama mengajarkan kita menyerahkan diri sepenuhnya pada junjungan kita. Pertanyaannya: kepada siapa kita menghamba? Siapa yang menjadi tuan dan mawla kita? Kepada siapa kita memasrahkan jiwa?
 
Antara Abid dan Hamba
 
 Menurut firman, manusia diciptakan untuk beribadah. Dari akar kata yang sama, muncul dua kata: abid, dan abdi. Abid adalah ahli ibadah, sedangkan abdi adalah ahli menghamba. Tuhan tidak meminta kita menjadi abid. Tuhan meminta kita menjadi abdi. Ketika Baginda Nabi Saw diperjalankan di malam hari, Allah Ta’ala menggelarinya abdi. Ketika Nabi Musa as diminta untuk menemui Nabi Khidir as, ia diminta menemui seorang abdi. Ketika Nabi Sulaiman as memindahkan singgasana ratu Balqisy, ia ditemani seorang abdi. Apa artinya abdi? Hamba sahaya. Budak. Ia yang kehendaknya berada pada mawlanya. Ia yang kebahagiaannya adalah bahagia junjungannya. Ia yang deritanya adalah kesedihan kekasihnya.
 
Pertanyaan saya untuk Irshad Manji adalah bagaimana ia memahami teladan hidup Baginda Nabi Saw. Al-Qur’an adalah kitab suci yang dipahami dengan meneladani Baginda Nabi Saw. Hanya kalbu Baginda Nabi Saw satu-satunya yang dapat menerima seluruh keagungan dan kemuliaan Al-Qur’an itu. Memuliakan Baginda Saw adalah memuliakan Al-Qur’an. Memahami Baginda Saw adalah memahami Al-Qur’an. Begitu pula sebaliknya. Bila kita ingin memahami Al-Qur’an, belajarlah teladan Rasulullah Saw.
 
Itulah mengapa, dalam mazhab para pengikut Ahlul Bait Nabi Saw, posisi para imam menjadi sangat sentral. Merekalah pelanjut Rasulullah Saw. Merekalah penjelas mutlak terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Merekalah yang diajari turun temurun rahasia kitab suci. Irshad Manji takkan menerjemahkan kata _fadhribuhunna_ dengan pukullah mereka, bila ia membaca riwayat dari para teladan suci bahwa di antara makna _dharaba_ adalah mengabaikan bukan memukul. Karenanya tahapan suami mengingatkan istrinya adalah dengan menasihati, memisahkannya dari tempat tidur, dan mendiamkannya. Begitu berpaling pada riwayat dari teladan suci, satu demi satu tirai disingkapkan.
 
Sekadar beberapa contoh saja. Ada dua ayat Al-Qur’an yang berkisah tentang poligami. Satu, kebolehan menikah lebih dari satu istri asal adil (QS. Al-Nisaa [4]:3) dan yang kedua, kenyataan bahwa lelaki takkan pernah bisa adil (QS. Al-Nisaa [4]: 129). Adakah kedua ayat ini bertentangan? Maka temukan jawabannya pada riwayat Imam Ja’far Shadiq as. Ayat yang pertama tentang keharusan adil pada sesuatu yang lahiriah, yang dapat diukur, yang dapat ditimbang. Adapun yang kedua adalah sesuatu yang batiniah. Perkara hati, perkara cinta. Yang pertama dapat ditakar, yang kedua teramat sukar.
 
Bagaimana mungkin kita tidak merujuk pada Ahlul Bait Nabi Saw sedang mereka padanan Al-Qur’an. Mereka adalah afshahul ‘arab, yang paling mengerti Bahasa Arab. Yang paling memahami kitab suci. Yang tumbuh dalam lingkungan wahyu nabawi.
 
Kata Imam Ali as, Baginda Nabi Saw mengajarinya 1000 pintu ilmu, dan dari setiap pintu terbuka 1000 pintu lainnya. Masih menurut Baginda Saw, Al-Quran terdiri dari tujuh hal: perintah, larangan, anjuran, peringatan, hujjah, kisah, dan perumpamaan. Dan Imam Ali as memerinci tujuh hal yang disampaikan Baginda dalam rincian teramat dalam maknanya. Antara lain, kata Imam Ali as, terkadang Al-Quran menggunakan bentuk jamak padahal yang dimaksud tunggal. Terkadang tunggal dan yang dimaksud banyak. Terkadang berbicara tentang satu kaum padahal yang dimaksud kaum yang lain. Terkadang berbicara tentang masa lampau untuk mengabarkan apa yang terjadi di masa datang. Di antara contohnya adalah penafsiran tentang Surat Yusuf as dalam khazanah mazhab para pecinta keluarga Nabi ‘alaihimus shalatu was salam.
 
Imam Zaman afs dan Surat  Yusuf as
 
 Surat Yusuf adalah surat keduabelas, pada juz keduabelas. Al-Quran dengan indah mengawali bahwa Allah Ta’ala telah mengisahkan kisah-kisah terindah pada Baginda Nabi Saw. Pertanyaannya, sebatas apa kita mengambil hikmah dan teladan dari kisah itu? Khusus untuk kisah Yusuf as, Al-Quran bahkan berkata: Sungguh, pada kisah Yusuf dan saudara-saudaranya ada tanda-tanda kebesaran Allah Swt bagi orang-orang yang bertanya. (QS. Yusuf [12]:7). Apa yang dimaksud dengan ‘orang-orang yang bertanya’? Pertanyaan apa? Al-Saa’ilin yang diterjemahkan dengan orang-orang yang bertanya juga bisa berarti mereka yang meminta (QS. Al-Ma’aarij [70]:25). Orang yang berkekurangan, yang menderita, yang kesulitan.
 
 Banyak orang mengira Surat Yusuf as adalah surat yang berisi kisah cinta Nabi  Yusuf as dan Siti Zulaikha. Bahkan, konon, kalau ingin mendapat pasangan yang baik, perbanyaklah membaca surat Yusuf. Saya percaya keberkahan Al-Quran, hanya saja, ada sudut pandang yang berbeda. Bagi saya, surat Yusuf tidak mengisahkan kisah cinta Nabi Yusuf as dan Siti Zulaikha. Tak ada ayat yang merujuk tentang itu. Yang ada, cinta salah Zulaikha yang bertepuk sebelah tangan. Memang benar ia mengisahkan tentang cinta: cinta teramat besar seorang ayah pada anaknya, cinta seorang nabi pada umatnya, cinta seorang pemimpin pada para penantinya. Cinta seorang kekasih pada kerinduannya.
 
 Bagaimana Surat Yusuf bisa mengisahkan Imam Zaman afs? Dalam Mazhab Ahlul Bait as, Imam Mahdi afs dilahirkan pada pertengahan bulan Sya’ban. Inilah di antara sebab keberkahan riyadhah malam Nishfu Sya’ban. Ketika Nabi Yusuf as menceritakan rahasianya, ayahnya berpesan agar Nabi Yusuf tidak menceritakan apa yang diketahuinya itu pada saudara-saudaranya, karena nanti mereka akan membuat makar kepadanya. Mereka yang tidak mengetahui kisah penantian dapat berbuat makar pada mereka yang mempercayainya. Meski demikian, Al-Quran menyebut mereka sebagai saudara-saudara Yusuf as. Seperti itu pula ketika Baginda Nabi Saw diperintahkan untuk menyampaikan ayat penyempurna risalah (QS. Al-Maa`idah [5]:67), Allah Ta’ala memperkuat Rasulullah Saw dengan kalimat, “…dan Allah menjagamu dari (gangguan, makar, dan tipudaya) manusia.”
 
 Teramat indah Al-Quran mengisahkannya. Saya akan membuat poin-poin pengingat untuk perumpamaan kisah-kisah itu. Adalah hutang buku tersendiri untuk menuliskan tafsir Surat Yusuf as dan kemiripannya dengan kisah Ahlul Bait as, secara khusus tanda-tanda kehadiran Imam Zaman afs.
 
 1. Kecemburuan saudara-saudara Yusuf as adalah karena Nabi Ya’qub as dianggap lebih mencintai Yusuf as dibandingkan yang lainnya. Padahal mereka mayoritas.  (QS. Yusuf [12]:8). Untuk mayoritas itu Al-Quran menggunakan kata ‘ushbah. Ia satu akar kata dengan ta’ashhub, fanatisme. Abu Sufyan, misalnya dari Bani Umayyah pernah diriwayatkan cemburu karena Bani Hasyim memiliki kunci Ka’bah, berkhidmat pada peziarah dan memegang akses pada sumur Zamzam. Ia sampai berkata, “Semuanya sudah dipegang Bani Hasyim, sekarang seorang nabi bahkan dihadirkan dari mereka?” Ini ta’asshub. Adakah hal yang sama terjadi bila Baginda Nabi Saw dianggap terlalu mengistimewakan dan menampakkan kecintaan pada Imam Ali as? Lalu orang berkata, sungguh ayah kami berada dalam kesesatan yang nyata (QS. Yusuf [12]:8)
 
 2. Kecemburuan, iri hati dan dengki itu akan membawa mereka pada sikap memerangi Yusuf as. Bunuhlah Yusuf atau buanglah ia ke tempat yang jauh… (QS. Yusuf [12]:9) maka sejak wafat Baginda Nabi Saw ayat ini menemukan mishdaqnya. Imam Ali as gugur di mihrab shalat, Imam Hasan as diracun. Imam Husain as dan keluarganya dibantai di Karbala. Dan setiap satu di antara sebelas bintang terang yang mengabarkan kedatangan Imam keduabelas, syahid satu demi satu; atau mereka dibuang ke tempat yang jauh, gugur di tempat terasing, dipenjarakan bertahun-tahun. Derita keluarga Nabi Saw diwakili dalam dua kata, "uqtuluu Yusufa"
 
 3. Apa makna sebelas bintang, mentari dan rembulan sujud pada Nabi Yusuf as? Bagaimanakah bentuk benda-benda langit itu bersujud? Maknanya adalah, tidak satu pun dari sebelas bintang, mentari dan rembulan itu yang tidak merindukan Yusuf as. Tidaklah diutus seorang pun nabi melainkan ia mengabarkan kedatangan Rasulullah Saw. Demikian pula para teladan suci, tiada seorang pun dari mereka yang tidak mengabarkan kedatangan Imam Zaman afs. Sehingga Imam Mahdi afs digelari dengan  Yusuf Azzahra as. Mentari adalah sumber cahaya, dan rembulan adalah ibunda yang menjadi pancaran cinta itu. Bila mentari itu adalah Baginda Nabi Saw bagaimana mungkin Baginda merindukan Imam Zaman afs? Kata Imam Ja’far Shadiq as, inilah makna dari ayat, (Baginda Nabi Saw diperintahkan untuk berkata) “…sesungguhnya yang ghaib itu adalah milik Allah. Karena itu, tunggulah. Sungguh, aku bersamamu termasuk di antara para penunggu.” (QS. Yunus [10]:20). Bayangkan, Baginda Nabi Saw diperintahkan Allah Ta’ala untuk meminta kita menunggu yang ghaib, dan bahwa Baginda Nabi Saw sendiri termasuk di antara para penanti itu. Ana ma'akum, adakah kebahagiaan yang jauh lebih indah lagi?
 
 4. Nabi Yusuf hilang dua kali. Pertama, ia dilemparkan ke sumur, dijauhkan dari keluarganya (QS. Yusuf [12]:15. Ia tidak lama di dalam sumur. Serombongan kafilah lewat dan membawanya pergi (QS. Yusuf [12]:19). Ia dibawa ke Mesir, berkhidmat pada keluarga seorang tuan. Karena peristiwa tipuan istri majikannya, ia dihilangkan untuk kali kedua. Kali ini, ke dalam penjara. Dan berlangsung teramat lamanya (QS. Yusuf [12]:42). Seperti Nabi Yusuf as, Imam Zaman afs diantarkan pada para pengikutnya setelah dua peristiwa hilang. Yang pertama _ghaibat sughra_, dan yang kedua ghaibat kubra. Wallahu a’lam.
 
 5. Nabi Yusuf as memperoleh ilmu pemahaman atas berbagai peristiwa. (QS. Yusuf [12]:6). Ia memberikan jawaban atas permasalahan zaman. Begitu pula Imam Zaman afs.
 
 6. Kapan orang datang pada Nabi Yusuf as? Saat mereka memerlukan, saat mereka ditimpa kemalangan. Ketika sebuah masalah teramat besar tak dapat dipecahkan (QS. Yusuf [12]:44), barulah mereka berpaling pada Nabi Yusuf as. Demikian pula umat ini. Ia akan dihadapkan pada masalah teramat besar. Berpalinglah pada Yusuf umat ini.
 
 7. Semua negeri di sekitarnya ditimpa bencana (QS. Yusuf [12]:88), hanya Mesir di bawah kendali Nabi Yusuf as yang selamat. Semua umat di tengah goncangan ketidakadilan akan binasa, kecuali yang berlabuh pada Bahtera Nuh as. Perumpamaan Ahlul Bait Rasulillah Saw seumpama Bahtera Nuh as; yang menaikinya selamat, yang berpaling daripadanya tenggelam dan celaka.
 
 8. Saudara-saudara Yusuf as datang kepadanya tapi mereka tak mengenalinya (QS. Yusuf [12]:58). Yusuf mengenali mereka dan menyembunyikan identitasnya. Imam Zaman afs sesuai hadits dari Imam Ja’far Shadiq as mengenali kita tapi kita tak mengenali Imam afs. Setiap musim haji, Imam afs hadir di Arafah. Imam afs melihat kita dan mengetahui kita. Kita melihat Imam afs dan tidak mengetahuinya.
 
 9. Nabi Ya’qub as bersedih karena perpisahan dengan Nabi Yusuf as. Tetapi ia tidak pernah berhenti mengingatnya (QS. Yusuf [12]: 85). Tangisannya membutakan matanya. Kecintaan itu tetap ditampakkan, meski penderitaan menyertai. Tubuhnya melemah. Dan ia tetap tinggal bersama saudara-saudara Yusuf as yang telah memisahkan Yusuf as darinya. Ia tahu apa yang terjadi, tetapi ia tidak menampakkan aib saudara Yusuf. Nabi Ya’qub as menanti hingga datang ketetapan Allah Swt pada hari yang sudah ditentukan. “…sungguh, aku adukan dukaku dan deritaku pada Allah Ta’ala. Aku mengetahui dari Allah apa-apa yang tidak kalian ketahui.” (QS. Yusuf [12]:86). Demikianlah ketentuan sang perindu sejati. Hadir di tengah mereka yang telah merenggut kekasihnya. Kendali jiwa yang sempurna sehingga tak melesakkan amarah pada mereka. Lalu tersungkur di mihrab doa, mengadukan penderitaan dan duka, membasahi wajah dengan linangan air mata, hingga memutih dan buta. Masihkah berani menisbatkan diri sebagai perindu Imam Zaman afs, sedang keadaan kita amat jauh dari yang selayaknya?
 
 10. Meminta tolong pada Nabi Yusuf as tidak datang dengan tangan kosong. Meminta tolong pada junjungan adalah dengan sebuah persembahan yang sederhana, sebuah hadiah yang disiapkan (QS. Yusuf [12]:88). Demikianlah bila kita berada dalam penantian Imam Zaman afs. Hadirkan persembahan sederhana dalam perkhidmatan menantinya. Imam Baqir as menafsirkan ayat, “Sungguh bagi segala sesuatu ada arah yang kepadanya ia menghadap. Maka berlombalah dalam berbuat kebaikan. Di manapun kalian berada, Allah Ta’ala akan kumpulkan kalian semuanya. Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah [2]:148) Menurut Imam Baqir as, arah adalah Imam. Setiap orang punya imamnya. Kepadanya selayaknya kita mengabdi, menghadapkan wajah kita sepenuhnya. Kebaikan adalah wilayah, ketaatan dan perkhidmatan pada Imam Zaman afs. Di manapun kita berada, pada zaman apa pun kita habiskan masa, kecintaan pada Imam afs akan mempertemukan kita, mempersatukan kita. Sungguh, Allah Ta’ala mahakuasa atas segala sesuatu. Tetapi kita harus punya persembahan itu, “perlombaan” dalam kebaikan itu. hadirkan kado sederhana itu dalam perkhidmatan penuh cinta.
 
 11. Kita merasa kita merindukan Imam afs. Memohon kepada Allah Ta’ala agar Imam segera dihadirkan di tengah-tengah kita. Kepada kitalah, Nabi Ya’qub as berkata, “Bagaimana aku mempercayakannya kepadamu, padahal telah aku percayakan saudaranya kepada kamu dahulu?” (QS. Yusuf [12]:64) Sudahkah tiba saatnya umat menerima sang juru selamat, padahal saudara-saudaranya terdahulu dianiaya umat satu persatu. Sudahkah kita layak beroleh kemuliaan kepercayaan itu? Lalu seperti saudara-saudara Yusuf as dengan sombong kita berkata, “…biarkan saudara kami bersama kami, supaya kami beroleh sukatan (keperluan kami terpenuhi). Sungguh kami akan menjaganya.” (QS. Yusuf [12]: 63). Kepada kita Nabi Ya’qub as berkata, “Aku sekali-kali tidak akan melepaskannya bersamamu, sebelum kalian datangkan padaku kepercayaan dari Allah, bahwa kalian akan membawanya kembali kepadaku…” (QS. Yusuf [12]:65) Mengikuti Nabi Ya’qub as, harapan kehadiran Imam afs hanya bila kita memperbarui janji kita kepada Allah Ta’ala, memenuhinya, dan tidak pernah mengkhianatinya. Hanya bila kita taat beribadah pada Allah Ta’ala, membersihkan diri kita, berkhidmat dan mengabdi kepadaNya.
 
 Saya akan mengakhiri perumpamaan kisah Nabi Yusuf as dengan penantian Imam Zaman afs pada poin keduabelas, sesuai nomor surat Yusuf as dan urutan Imam Zaman afs. Tetapi sebelumnya, kesimpulan terlebih dahulu. Bagi saya, jawaban terhadap kebingungan yang dihadapi orang seperti Irshad Manji adalah dengan meneladani dan mencintai para kekasih hati. Merekalah tuan sejati. Di hadapan mereka kita pasrahkan diri kita. Karena mereka adalah hujjah Allah Swt bagi kita semua. Mereka adalah kepanjangan tangan dari Baginda Nabi Saw. Mencintai dan meneladani mereka adalah mencintai dan meneladani Rasulullah Saw. Al-Quran bahkan melarang kita untuk cemburu pada karunia yang diberikan Allah Ta’ala pada Baginda Nabi Saw dan Ahlul Baitnya, sebagaimana saudara-saudara Yusuf as tidak boleh mendengki kecintaan yang tampak dari Nabi Ya’qub as pada Nabi Yusuf as. Dan itu membawa kita pada poin keduabelas dan penutup.
 
 12. Ada beberapa kata yang berbunyi sama tetapi memiliki makna ganda dalam bahasa Arab. Mawla di antaranya. Ia bisa bermakna tuan, tapi juga budak pada waktu yang sama. Itulah barangkali mengapa Surat Yusuf as memerintahkan kita untuk merenungkan mengapa Al-Quran diturunkan dalam Bahasa Arab (QS. Yusuf [12]:2). Dalam satu kata mawla, ada tuan dan hamba sahaya. Dalam cinta, tak ada lagi perbedaan antara perindu dan kekasihnya. Mereka satu dan bersama dalam cinta. Ketika saudara-saudara Yusuf as pada akhirnya mengetahui siapa Yusuf as, Yusuf as sudah bersama saudaranya Bunyamin. Ia berkata, “Akulah Yusuf dan ini saudaraku. Sesungguhnya Allah Ta’ala telah melimpahkan karunianya kepada kami…” (QS. Yusuf [12]:90). Kami adalah kata kuncinya. Kami menunjukkan kebersamaan. Karunia tidak hanya diberikan pada Yusuf as, tapi juga pada saudaranya. Ada tiga kunci untuk dapat beroleh karunia kebersamaan itu, sebagaimana disampaikan lanjutan ayat yang sama, “…maka sesungguhnya siapa yang bertakwa dan bersabar, maka sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.”
 
 Barulah setelah itu, gamis Nabi Yusuf as diserahkan pada saudara-saudaranya, untuk dibawakan pada ayahnya. Gamis penuh berkah yang menemani Nabi Yusuf as dalam dingin dan gelapnya sumur. Gamis Nabi Ibrahim as yang menenteramkannya dalam panasnya api yang membakar. Gamis yang membuat terang penglihatan Nabi Ya’qub as yang dirundung tabir kesedihan. Maka siapa saja yang merindukan terang dari kegelapan yang menyelimutinya. Siapa saja yang berharap ketenangan dari prahara jiwa yang menggoncangnya. Siapa saja yang tertutup pandangannya akan jalan keluar dari kesedihan yang menimpanya..rindukanlah kelebat selendangnya. Rindukanlah kehadirannya. Seperti Nabi Ya’qub as, cium erat-erat wangi kehadirannya, meski masih jauh waktunya, “…dan ketika kafilah unta itu bergerak, berkatalah ayah mereka ‘inni la ajidu riiha Yusuf’ sungguh, aku telah mencium wewangian Yusuf as…” (QS. Yusuf [12]:94)
 
 Sungguh, kafilah telah bergerak. Adakah kita berkata, “Aku telah mencium wewangian Yusuf”? Jeritkan dalam hati, “Ya Yusuf Azzahra…Aduhai Yusuf Azzahra, aduhai Yusuf Azzahra…” dan gabungkan tetes mata kerinduan kita bersama para perindu sepanjang masa. Nantikan mawla kita yang sejati. Dengannya kita pasrahkan jiwa sepenuh hati, menjemput cinta Ilahi.
 
 Aduhai Mawlana…Ya Yusufaz Zahra…
‘Aziizun ‘alayya an aral khalqa wa laa turaa
 wa laa asma’u laka hasiisan wa laa najwa
 Berat bagiku melihat sesama dan kau hilang dari mata
 Dan tak kudengar darimu seruan, bisikan dan berita
 Ya Allah, sampaikan usiaku pada hari-harinya
 Cerahkan mataku dengan binar memandang wajahnya
 Sekiranya tiba kematianku, dan ia pisahkan aku dari hadirnya
 Bangkitkan aku dari kuburku, dalam kafan yang membungkusku
 Pedang kulepas dari sarungnya, dan kujawab seruannya
 Ya Yusufaz Zahra! Ya Yusufaz Zahra!

0
0% (نفر 0)
 
نظر شما در مورد این مطلب ؟
 
امتیاز شما به این مطلب ؟
اشتراک گذاری در شبکه های اجتماعی:

latest article

Tempat Kelahiran Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.
Berguru pada Seorang Budak
4 Tingkatan Kesucian dan Kebersihan
Riba
Akhlak dan Ilmu Akhlak
Antara Perempuan, Tangisan dan Jihad Hawa Nafsu
Dosa yang Mendatangkan Dosa Lain
Peran Perempuan dalam Kebangkitan al-Husain as (Bagian Kedua)
Isa Al-Masih akan Turun dan Shalat di Belakang Imam Mahdi (af)
MENGENAL NAFS (I)

 
user comment