Imam berkedudukan seperti jantung yang berdenyut dan pangkal kehidupan dalam masyarakat; tanpa keberadaan imam, masyarakat akan menjadi seperti tubuh yang tak ada nyawanya.
Dia adalah seorang yang memantulkan cahaya Tuhan dan tanpa keberadaannya, niscaya bumi akan membenamkan penghuninya.
Dari satu sisi, individu-individu manusia itu tiada lain hanyalah serpihan-serpihan kertas tak bernilai, halamanlah yang memberikan nilai kepada mereka. Dan dari sisi yang lain masyarakat atau umat membutuhkan seseorang yang menerangkan syariat Allah ‘Azza wa Jalla dan menafsirkan hukum-hukum syariat itu bagi mereka. Dengan demikian, mereka akan merasa aman dari perbedaan, perpecahan, dan penyimpangan.
Keharusan Penafsiran Al-Quran
Al-Quran Al-Karim adalah sumber utama dalam menggali hukum-hukum Islam dan syariat. Ia mengandung segala sesuatu. Akan tetapi, secara umum al-Quran al-Karim hanya menyebutkan sesuatu secara global tanpa menyebutkannya secara mendetail.
Dari sini, wajib adanya seseorang yang mempunyai kemampuan keilmuan secara mendalam yang mampu menerangkan isi al-Quran al-Karim secara mendetail. Dia juga harus mampu menakwil ayat-ayat al-Quran yang mutasyabihat. Selain itu, dia juga harus mampu menguasai dan menerangkan semua hukum Islam yang memenuhi semua kebutuhan masyarakat atau umat.
Individu tersebut adalah imam. Dia pembicara utama al-Quran karena dia mengetahui batin al-Quran, nasikh dan mansukhnya. Dia mengetahui ayat-ayat yang muhkamat (yang terang dan tegas maksudnya) dan ayat- ayat mutasyabihat (yang mengandung beberapa pengertian atau yang samar maksudnya) serta segala perincian lainnya, seperti asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya ayat).
Dalam menggali dan mengeluarkan sumber hukum al-Quran ini, imam sama sekali tidak akan pemah mengalami kesalahan sekecil apa pun.
Imam Adalah Otak Berpikir di Tengah-Tengah Masyarakat
Setiap kelompok masyarakat memerlukan seseorang yang dapat menyatukan pemikiran mereka.
Pada suatu hari, Imam Ja’far Ash-Shadiq as bertanya kepada salah seorang muridnya, yaitu Hisyam bin AI-Hakam, “Maukah kamu memberitahukan kepadaku apa yang telah kamu lakukan terhadap Amr bin ‘Ubaid dan bagaimana kamu bertanya kepadanya?”
Hisyam berkata, “Wahai Putra Rasulullah, sesungguhnya aku mengagungkanmu dan lisanku tidak dapat mengatakan sesuatu di hadapanmu.”
Imam Ash-Shadiq as berkata, “Jika aku memerintahkan sesuatu kepadamu, maka kerjakanlah!”
Hisyam berkata, ‘Aku mendengar tentang Amr bin Ubaid dan majelisnya di Masjid Bashrah pada hari Jumat. Maka, aku pun merasa penasaran. Lalu aku pergi untuk menemuinya di Bashrah pada hari Jumat. Kemudian Aku masuk ke Bashrah, temyata aku mendapatkan kumpulan majelis yang besar, yang di dalamnya terdapat Amr bin Ubai. Dia memakai mantel yang berwama hitam yang terbuat dari bulu domba (wol), sedangkan orang-orang bertanya kepadanya.
Lalu, aku meminta kepada orang-orang agar diberi jalan supaya dapat lewat, mereka pun mempersilakanku. Kemudian aku duduk tepat di hadapan Amr bin Ubaid. Lalu aku bertanya kepadanya, ‘Wahai orang alim, sesungguhnya aku orang asing, apakah kamu mengizinkan aku mengemukakan pertanyaan kepadamu?’
Dia berkata kepadaku, ‘Ya.’
Aku bertanya kepadanya, ‘Apakah kamu memiliki mata?’ Dia berkata, ‘Wahai anakku, pertanyaan apakah ini? Sesuatu yang kamu lihat, bagaimana kamu menanyakannya?’ Aku berkata, ‘Itulah pertanyaanku.’
Dia berkata, ‘Wahai anakku, silakan ajukan pertanyaanmu, sekalipun itu pertanyaan yang konyol.’
Aku berkata, ‘Jawablah pertanyaanku!’
Dia berkata, ‘Bertanyalah!’ Aku bertanya, ‘Apakah kamu memiliki mata?’ Dia menjawab, ‘Ya.’
Aku bertanya, ‘Lalu, apa yang kamu lakukan dengannya?’ Dia menjawab, ‘Aku melihat wama dan orang.’ Aku bertanya, ‘Apakah kamu memiliki hidung?’ Dia menjawab, ‘Ya.’
Aku bertanya, ‘Lalu, apa yang kamu lakukan dengannya ?’ Dia menjawab, ‘Aku mencium bau-bauan.’
Aku bertanya, ‘Apakah kamu memiliki mulut.’ Dia menjawab, ‘Ya.’
Aku bertanya, ‘Lalu, apa yang kamu lakukan dengannya ?’ Dia menjawab, ‘Aku merasakan (lezatnya) makanan.’ Aku bertanya, ‘Apakah kamu memiliki telinga?’ Dia menjawab, ‘Ya.’ Aku bertanya, ‘Lalu, apa yang kamu lakukan dengannya?’ Dia menjawab, ‘Aku mendengarkan bunyi suara.’ Aku bertanya, ‘Apakah kamu memiliki hati?’ Dia menjawab, ‘Ya.’
Aku bertanya, ‘Lalu, apa yang kamu lakukan dengannya?’ Dia menjawab, ‘Aku membedakan apa yang mendatangi anggota-anggota dan indra ini?’
Aku bertanya, ‘Bukankah anggota-anggota tubuh ini tidak membutuhkan hati?’
Dia menjawab, ‘Tidak, justru dia membutuhkannya.’
Aku bertanya, ‘Bagaimana bisa seperti itu, sedangkan ia dalam keadaan sehat?’
Dia menjawab, ‘Wahai anakku, sesungguhnya anggota-anggota tubuh itu, jika ia ragu akan sesuatu yang dicium, dilihat, dirasa, atau didengarnya, ia mengembalikannya kepada hati, maka ia pun memperoleh keyakinan dan hilanglah keraguan darinya.’
Aku bertanya kepadanya, ‘Sesungguhnya Allah menciptakan hati untuk menjawab keraguan anggota-anggota tubuh?’
Dia menjawab, ‘Ya.’
Aku bertanya, ‘Jika dernikian, hati itu hams ada karena kalau tidak demikian anggota-anggota tubuh tidak akan merasakan keyakinan ?’
Dia menjawab, ‘Ya.’
Maka, aku berkata kepadanya, ‘Wahai Abu Marwan, Allah Tabaraka wa Ta’ala tidak membiarkan anggota-anggota tubuhmu, tetapi Dia menjadikan untuknya imam yang meluruskan dan memberikan keyakinan terhadap apa yang sebelumnya diragukan olehnya. Maka, apakah mungkin Dia akan membiarkan semua orang ini dalam kebingungan dan keraguan serta perselisihan mereka, dan Dia tidak menjadikan untuk mereka seorang imam yang akan menjawab semua keraguan dan kebingungan mereka, tetapi (pada saat yang sama) Dia menjadikan untukmu imam bagi anggota-anggota tubuhmu yang kepadanya engkau kembalikan keraguan dan kebingunganmu?’
Hisyam berkata, ‘Maka, dia pun diam dan tidak mengatakan sesuatu pun kepadaku.’
Kemudian dia menoleh kepadaku seraya bertanya kepadaku, ‘Apakah kamu ini adalah Hisyam bin Al-Hakam?’
Aku katakan, ‘Bukan.’
Dia bertanya, ‘Apakah termasuk muridnya?’ Aku jawab,
‘Bukan.’
Dia bertanya lagi, ‘Lalu, dari mana asalmu?’ Aku jawab,
‘Dari penduduk Kufah.’
Dia berkata, ‘Kalau begitu, kamu pasti dia (Hisyam bin Al-Hakam).’ Kemudian dia memeluk dan mendudukanku di tempat duduknya, lalu dia menyingkir dari tempat duduknya dan tidak mengucapkan sepatah kata pun sehingga aku berdiri dari majelisnya.”
Maka, Abu Abdillah (Imam Ja’far Ash-Shadiq as) tertawa, seraya dia berkata, “Wahai Hisyam, siapakah yang mengaj arimu ini?”
Aku jawab, “Sesuatu yang aku dapatkan darimu, lalu aku menyusunnya.”
Imam Ash-Shadiq berkata, “Ini, demi Allah, tertulis dalam Shuhuf Ibrahim dan Musa.”
Peranan Imam dalam Masyarakat
Para imam Ahlul Bait as telah menjalankan tanggung jawab mereka dalam menjaga agama dan syariat dari penyimpangan. Mereka adalah sumber pencerahan dan penyingkapan hakikat-hakikat al-Quran al-Karim yang kekal. Mereka, dilihat dari perjalanan kehidupan pribadi mereka, adalah contoh ideal bagi umat.
Imam Ali as telah melaksanakan peranan penting dalam pengawasan pelaksanaan hukum dan undang-undang pada masa setelah Rasulullah saw. Misalnya, Imam telah menentang dan membatalkan pelaksanaan hukum yang keliru dan meletakkan fondasi hukum-hukum dan undang- undang Islam.
Imam Ali as juga telah menjadikan pemikiran dan akidah Islam ini unggul melalui perdebatan dengan para pimpinan agama-agama Ahli Kitab, yaitu dengan menjawab banyak pertanyaan dan keraguan mereka seputar akidah Islam ini.
Demikian juga para imam lainnya telah melaksanakan peranan penting mereka di tengah-tengah masyarakat, meskipun kehidupan mereka diliputi dengan penindasan, penekanan, dan kezaliman para penguasa saat itu.
Peranan para Imam Ahlul Bait as dalam Menyebarkan Kebenaran Menafsirkan Syariat
Penafsiran syariat, penjelasan hukum-hukum Islam, dan penerapan keumuman Islam atas perincian-perincian kehidupan manusia adalah termasuk salah satu peranan penting dalam kehidupan para imam Ahlul Bait as.
Mereka, para imam Ahlul Bait as, adalah peletak fondasi ilmu-ilmu keislaman. Mereka telah meriwayatkan ribuan hadis yang pada hari ini tergolong warisan kemanusiaan yang besar, yang riwayat mereka ini bersumber dari Sayyidina Muhammad saw. Mereka menukilnya dengan amanah dan ikhlas. Kehidupan mereka telah menerangi perjalanan peradaban Islam.
Berdasarkan banyaknya hadis yang diriwayatkan oleh para imam Ahlul Bait as menunjukkan peranan penting mereka dalam menjaga warisan Rasulullah saw.
Kitab-kitab sahih Ahlus Sunnah mencatat hanya delapan puluh hadis yang diriwayatkan oleh khalifah pertama[1], lima puluh hadis riwayat khalifah kedua[2], clan lima hadis riwayat Utsman dalam Shohih Muslim, clan sembilan hadis dalam Shahih Al-Bukhdri.[3]
Sebaliknya, kita mendapatkan kitab Ghurorul Hikam wa Durorul Kalim meriwayatkan untuk Amirul Mukminin Ali saja lebih dari sebelas ribu hadis. Di samping sumber-sumber Ahlus Sunnah yang meriwayatkan hadis dari Imam Ali as yang mencapai ratusan hadis.
Ibn Abil Hadid mengatakan, ‘Apa yang harus aku katakan tentang seseorang (Imam Ali as) yang bernisbat kepadanya segala keutamaan. Semua golongan dalam Islam kembali kepadanya, clan seluruh mazhab mengaku sebagai pengikutnya. Maka, dia adalah pemuka seluruh keutamaan dan sumbernya.
Setiap orang yang unggul dalam satu bidang (keilmuan) setelah Imam Ali, itu karena dia mengambil dari beliau, maka darinya dia mengambil clan kepadanya pula dia mengikuti jejaknya.
Anda telah mengetahui bahwa ilmu yang paling mulia adalah ilmu ketuhanan (teologi) karena kemuliaan ilmu berdasarkan kemuliaan objek ilmu, clan objek ilmu ini adalah semulia-mulianya segala eksistensi. Maka, ilmu ketuhanan itulah ilmu yang paling mulia. Dan dari sabda beliau as. ilmu ketuhanan ini diperoleh clan diriwayatkan. Kepadanya ilmu ketuhanan ini berpuncak (berujung) clan darinyalah ia dimulai.
Muktazilah, mereka adalah ahli dalam ilmu tauhid, ‘ad/ (keadilan Tuhan), clan ilmu kalam, clan dari mereka banyak orang (ulama) yang mempelajari bidang ini adalah murid-muridnya (murid-murid Imam Ali as). Sebab, imam mereka, yaitu Washil bin Atha’, adalah murid Abu Hasyim Abdullah bin Muhammad bin Al-Hanafiyyah, sedangkan Abu Hasyim adalah murid ayahnya, dan ayahnya (Muhammad bin AI- Hanafiyyah dia adalah anak Imaam Ali as) adalah murid Imam Ali as.
Adapun kaum Asy’ari, mereka bernisbat kepada Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Al-Asy’ari, dia adalah murid Abu Ali Al-Habba’i, sedangkan Abu Ali adalah salah satu tokoh Muktazilah. Dengan demikian, paham kaum Asy’ari berujung kepada guru Muktazilah dan pengajar mereka, yaitu Ali bin Abi Thalib as.
Adapun Imamiah dan Zaidiah, maka nisbat mereka kepada Imam Ali as sangatlah jelas.
Sebagaimana diketahui bahwa ilmu fiqih bersumber dari Imam Ali as; dan setiap ahli fiqih bergantung dan mengambil manfaat dari fiqih beliau.
Adapun murid-murid Abu Hanifah, seperti Ibn Yusuf dan Muhammad serta selain keduanya, mereka mengambil dari Abu Hanifah.
Adapun Asy-Syafi’i, dia belajar kepada Muhammad bin Al-Hasan, maka fiqihnya juga kembali kepada Abu Hanifah.
Adapun Ahmad bin Hanbal, dia belajar kepada Asy-Syafi’i, maka fiqihnya juga kembali kepada Abu Hanifah.
Adapun Abu Hanifah sendiri, dia belajar kepada Ja’far bin Muhammad, sedangkan Ja’far (Ash-Shadiq as) belajar kepada ayahnya (Imam Muhammad Al-Baqir as) dan kasus ini kembali kepada Ali as.
Adapun Malik bin Anas, dia belajar kepada Rabi’ah Ar-Ra’yu, Rabi’ah belajar kepada Ikrimah, Ikrimah belajar kepada Abdullah bin Abbas, dan Abdullah bin Abbas belajar kepada Ali as.
Jika anda mau, anda dapat pula mengembalikan fiqih Asy-Syafi’i kepada Malik karena dia memang belajar darinya.
Itulah fiqih empat mazhab, mereka semuanya bernisbat kepada Imam Ali as.
Adapun fiqih Syi’ah, maka kembalinya fiqih ini kepada Imam Ali as sangatlah jelas.
Demikian juga para ahli fiqih dari kalangan sahabat Nabi saw., seperti Umar bin Al-Khaththab dan Abdullah bin Abbas, keduanya mengambil dari Ali as.
Adapun Ibn Abbas, pengambilan (belajarnya) dari Ali as sudah jelas. Adapun Umar bin Al-Khaththab, semua orang tahu bahwa dia sering mengembalikan banyak masalah yang sulit dan masalah lain dari kalangan sahabat Nabi saw. kepada Ali as. Seringkali Umar mengatakan, ‘Sekiranya tidak ada Ali, binasalah Umar.’
Umar juga biasa mengatakan, ‘Semoga Allah tidak memanjangkan hidupku dalam menghadapi masalah yang pelik yang di dalarnnya tidak ada Abu Hasan (Ali as).’ Dan ucapannya, ‘Tidak ada yang memberikan fatwa dalam sebuah majelis, sedangkan Ali ada di dalamnya.’
Dari sudut ini, diketahui bahwa ilmu fiqih kembali (berujung) kepada Ali as.
Adapun dalam ilmu tafsir, dari Ali as lah ia diambil dan darinya pula bercabang. Jika anda kembali melihat kitab-kitab tafsir, niscaya anda akan mengetahui kebenaran pernyataan itu. Sebab, kebanyakan ilmu tafsir berasal dari Ali as dan Abdullah bin Abbas, sedangkan semua orang tahu bagaimana kedekatan Ibn Abbas kepada Ali dan ketergantungan beliau kepadanya. Ibn Abbas adalah muridnya.
Pernah suatu ketika Abdullah bin Abbas ditanya, ‘Bagaimana perbandingan ilmumu dengan ilmu anak pamanmu (Ali as)?’
Ibn Abbas menjawab, ‘Seperti perbandingan setetes air dengan lautan yang luas (samudra).’
Di antara ilmu pengetahuan adalah ilmu Nahwu dan Bahasa Arab. Keseluruhan manusia mengetahui bahwa sesungguhnya dialah (Ali as) yang memulai dan menyusunnya. Dia mendiktekan penyusunan dan kaidah-kaidah ilmu Nahwu ini kepada Abul Aswad Ad-DuAli.
Hal ini juga berlaku pada para imam Ahlul Bait yang lain. Misalnya, banyak sekali ulama dari pelbagai cabang ilmu pengetahuan dan berperan besar dalam dunia ilmu pengetahuan dan filsafat belajar kepada Imam Ja’far Ash-Shadiq as,. Di antaranya, Al-Mufadhdhal bin Amr, Mu’min Ath-Thaq, dan Hisyam bin Al-Hakam dalam bidang filsafat dan ilmu kalam; Jabir bin Hayyan dalam bidang matematika dan kimia; dan Zurarah, Muhammad bin Muslim, Jamil bin Daraj, Himran bin A’yun, Abu Bashir, dan Abdullah bin Sinan dan bidang fiqih, ushuluddin, dan tafsir.
Mendidik Murid
Ini termasuk peran penting lainnya yang dilaksanakan oleh para imam Ahlul Bait as demi menegakkan kalimat yang hak.
Sungguh, telah meneguk dari mata air ilmu para imam Ahlul Bait as yang melimpah ruah ribuan orang (ulama) yang haus akan ilmu pengetahuan dan makrifat. Banyak dari mereka yang namanya dikenal luas dalam dunia ilmu pengetahuan dan peradaban Islam, Di antara mereka adalah: Kumail bin Ziyad, Uwais Al-Qarni, Rasyid Al- Hijri, Maitsam At-Tammar, Ammar bin Yasir, Abdullah bin Abbas, dan Asbagh bin Nubatah, semua nama yang disebutkan ini adalah murid-murid Imam Ali bin Abi Thalib as.
Demikian pula dengan para imam Ahlul Bait lainnya, kelahiran ilmu-ilmu pengetahuan terbentuk melalui mereka atau murid-murid mereka. Mereka adalah sumber ilmu pengetahuan.
Misalnya, Jabir bin Yazid telah meriwayatkan tujuh puluh ribu hadis seorang diri dari Imam Muhammad Al-Baqir as.
Muhammad bin Muslim meriwayatkan tiga puluh ribu hadis. Imam Ja’far Ash-Shadiq as memiliki empat ribu murid yang semuanya mengatakan, “Ja’far bin Muhammad Ash-Shadiq telah meriwayatkan kepadaku.”
Bahkan, di antara murid-murid Imam Ja’far Ash-Shadiq as ada yang kemudian menjadi imam-imam Ahlus Sunnah’, seperti Malik bin Anas, Sufyan Ats-Tsauri, Sufyan bin Uyainah, Abu Hanifah, Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani, dan Yahya bin Sa’ad. Mereka adalah murid-murid Imam Ja’far Ash-Shadiq as dari kalangan ahli fiqih. Adapun dari kalangan para perawi hadis, mereka adalah: Ayyub Al-Bajastani, Syu’bah bin Al-Hajjaj, Abdul Malik bin Juraij, dan lainnya.
Seandainya kita ingin menghitung jumlah murid para imam Ahlul Bait, maka kita memerlukan berjilid-jilid buku. Dan jangan lupa bahwa setiap imam saja memiliki ratusan, bahkan ribuan murid, yang semuanya berperan besar dalam dunia keilmuan saat itu.
Adapun dalam masa sekarang, cukuplah bagi kita melihat pada Hauzah Ilmiah di Qum (Iran). Di sana, kita akan mendapatkan ribuan orang yang mempelajari ilmu-ilmu Ahlul Bait.
Juga di pusat-pusat keilmuan dan keagamaan lainnya (seperti di Najaf dan Karbala) yang merupakan lautan ilmu. Semua ini karena bersumber dari mata air yang jernih, segar, dan berlimpah airnya, yaitu para imam Ahlul Bait yang telah disucikan sesuci-sucinya.
Hal ini berbeda dengan universitas-universitas dan pusat-pusat keilmuan lainnya yang didirikan oleh penjajah yang mempunyai tujuan dan maksud yang terselubung. Sebaliknya, Hauzah Ilmiah dan pusat-pusat keagamaan dalam mazhab Ahlul Bait didirikan hanya berdasarkan ketakwaan, ilmu, dan kebenaran. Pusat-pusat keilmuan dan keagamaan dibangun dalam rangka menegakkan bendera al-Quran dan Islam demi terealisasinya tujuan-tujuan risalah langit yang kekal.
Pertarungan Politik
Para imam Ahlul Bait as dalam sepanjang kehidupan mereka yang berkah senantiasa menghadapi pertentangan politik. Oleh karena itu, kita mendapatkan bahwa kehidupan mereka berakhir dengan kematian karena dibunuh atau diracun, dan tidak ada seorang pun dari mereka yang meninggal secara wajar.
Setiap imam mempunyai cara tersendiri dalam menghadapi pertarungan politik, yaitu dalam menghadapi penyimpangan pemeritahan pada masanya.
Terkadang perlawanan ini bersifat aktif, seperti mengumumkan pemberontakan bersenjata; dan terkadang pula perlawanan ini bersifat pasif, seperti mendiamkan dan tidak mendukung pemeritahan yang zalim itu.
Sikap diam ini menggema dengan teriakan perlawanan terhadap situasi yang sedang berjalan.
Pegorbanan diri Imam sebagai contoh keteladanan akhlak telah menimbulkan kontradiksi dengan contoh yang dipersembahkan oleh penguasa pada masanya. Hal ini mendorong umat untuk melakukan perbandingan dalam hati nurani mereka. Akibatnya, kepribadian seorang penguasa jatuh di mata mereka, demikian juga dengan aparatur pemerintahannya. Sikap ini juga merupakan bentuk pertarungan politik antara para imam Ahlul Bait as dengan para penguasa pada masanya.
Terkadang menonjol sisi keilmuan dalam diri Imam, khususnya ketika masuknya pemikiran yang berasal dari luar Islam, yang sengaja disebarluarkan oleh penguasa pada masa itu kepada kaum Muslim.
Terkadang perlawanan datang dalam bentuk terang-terangan, seperti menentang pemerintahan saat itu, melalui pidato-pidato politik yang mengandung penolakan dan penentangan.
Terkadang pula perlawanan ini datang dalam bentuk yang lain, seperti pelurusan yang dilakukan oleh Imam terhadap penguasa yang menyimpang dan mendorong mereka untuk lebih mendekatkan pada tujuan Islam, yaitu yang dapat merealisasikan kepentingan umat Islam walaupun dalam ukuran yang kecil.
Barang siapa yang memperhatikan posisi Imam Ali as dan cucu Nabi saw, Imam Al-Hasan bin Ali as dalam menjalankan roda pemerintahan, maka akan tersingkap peran mereka dalam pelurusan peradaban Islam dan mengarahkannya pada prinsip-prinsip Islam. Pengalaman poltik mereka telah merupakan pengalaman yang berharga yang telah memayungi dan akan terus memayungi pemikiran politik Islam.
Persembahan Amal Ideal
Para imam Ahlul Bayt, keturunan Rasulallah saw, telah mengejawahtahkan secara riil hakikat Islam dalam biografi mereka
Dengan metode ini mereka telah menjadi rujukan hidup yang menginspirasikan Islam yang orisinil. Islam yang dibawa oleh penutup Nabi dalam sejarah manusia.
Mereka telah menjadi model bagi setiap umat dan teladan bagi setiap mukmin, bahkan sekedar eksistensi mereka, tanpa mempertimbangkan setiap aktivitas politik atau budaya mereka, telah menjadi ancaman serius bagi para penguasa (dzalim), karena dalam biograpi ideal mereka menyingkapkan keburukan-keburukan penguasa.
CATATAN :
[1] Musnad Ahmad, 1/2-14.
[2] Adhwa’ ‘alal Sunnah: 204.
[3] lbid.