Petunjuk Universal
Dari konsepsi tauhid tentang dunia dan manusia lahir
keyakinan kepada wahyu dan kenabian. Kalau meyakini
wahyu dan kenabian, maka meyakini pula universalitas
petunjuk Allah. Prinsip petunjuk universal merupakan
bagian dari konsepsi tauhid tentang dunia, dan konsepsi
ini diajukan oleh Islam. Karena Allah SWT wajib ada
sendiri dalam setiap hal dan Maha Pemurah, maka Dia
memberikan karunia-Nya kepada setiap wujud sesuai
dengan kemampuan masing-masing wujud, dan membimbing
setiap wujud dalam perjalanan evolusionernya. Yang
dibimbing oleh Allah adalah segala sesuatu, dari
partikel yang sangat kecil sampai bintang yang sangat
besar, dan dari wujud tak bernyawa yang paling rendah
sampai wujud bernyawa yang paling tinggi yang kita
ketahui, yaitu manusia. Itulah sebabnya Al-Qur’an Suci
menggunakan kata “wahyu” dalam hubungannya dengan
bimbingan untuk wujud inorganis, tanaman dan binatang.
Penggunaan kata “wahyu” ini persis seperti ketika Al-
Qur’an Suci menggunakannya dalam hubungannya dengan
bimbingan untuk manusia.
Di dunia ini tiap-tiap sesuatu senantiasa bergerak.
Tiap-tiap sesuatu selalu bergerak menuju tujuannya.
Pada saat yang sama, semua indikasi menunjukkan bahwa
tiap-tiap sesuatu didorong menuju ke tujuannya oleh
suatu kekuatan misterius yang ada di dalam dirinya.
Kekuatan ini disebut petunjuk atau bimbingan Allah.
Al-Qur’an Suci menyebutkan bahwa Nabi Musa as berkata
kepada Fir’aun pada masanya, yang artinya sebagai
berikut:
Tuhan kami adalah (Tuhan) yang telah memberikan kepada
tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian
memberinya petunjuk. (QS. Thâhâ: 50).
Dunia kita ini merupakan sebuah dunia yang penuh dengan
tujuan. Tiap-tiap sesuatu diarahkan untuk menuju ke
tujuan evolusionernya oleh kekuatan yang ada di dalam
dirinya, dan kekuatan yang ada di dalam dirinya itu
adalah petunjuk Allah.
Kata “wahyu” berulang-ulang digunakan dalam Al-Qur’an
Suci. Bagaimana kata itu digunakan, dan untuk
kesempatan apa kata itu digunakan, memperlihatkan bahwa
Al-Qur’an Suci menganggap wahyu bukan untuk manusia
saja. Menurut Al-Qur’an Suci, wahyu juga untuk tiap-
tiap sesuatu, setidak-tidaknya untuk semua makhluk
hidup. Itulah sebabnya Al-Qur’an Suci bahkan berbicara
tentang wahyu untuk lebah. Yang dapat dikatakan adalah
bahwa wahyu dan petunjuk ada tingkatan-tingkatannya.
Tingkatannya beragam, sesuai dengan beragamnya tingkat
evolusi tiap-tiap sesuatu yang berbeda-beda.
Wahyu yang derajatnya paling tinggi adalah wahyu yang
diberi-kan kepada para nabi. Basis wahyu seperti ini
adalah kebutuhan manusia akan petunjuk Tuhan. Dengan
petunjuk Tuhan inilah manusia dapat melangkah menuju
suatu tujuan. Dan tujuan ini berada di luar alam
material yang kasat mata ini. Dan manusia harus menuju
ke tujuan ini. Wahyu juga memenuhi kebutuhan manusia
dalam kehidupan sosialnya, suatu kehidupan yang
membutuhkan suatu hukum yang diridai oleh Allah. Sudah
kami jelaskan kebutuhan manusia akan sebuah ideologi
yang evolusioner, dan juga sudah kami jelaskan
ketidakmampuan manusia untuk merumuskan sendiri
ideologi semacam itu.
Para nabi merupakan semacam perangkat penerima yang
berbentuk manusia. Mereka merupakan orang-orang pilihan
yang mampu menerima petunjuk dan ilmu pengetahuan dari
alam gaib. Allah sajalah yang dapat menilai siapa yang
tepat untuk menjadi nabi. Al-Qur’an Suci memfirmankan:
Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas
kerasulan. (QS. al-An’âm: 124).
Kendatipun wahyu merupakan sebuah fenomena, dan
fenomena ini berada di luar jangkauan persepsi dan
eksperimen langsung manusia, namun dampaknya dapat
dirasakan—seperti dampak banyak kekuatan lain—dalam
efek-efek yang dilahirkannya. Wahyu Tuhan melahirkan
dampak yang besar sekali pada pribadi penerimanya,
yaitu nabi. Wahyu “mengangkat” nabi ke kebenaran.
Dengan kata lain, wahyu menghidupkan bakat dan
kemampuan nabi, dan mewujudkan revolusi yang besar
serta mendalam pada diri nabi untuk kepentingan umat
manusia. Dengan wahyu, nabi memperoleh keyakinan
mutlak. Sejarah belum pernah menyaksikan keyakinan
seperti keyakinan para nabi dan orang-orang binaan
nabi.
Ciri Khas Nabi
Nabi yang, berkat wahyu, punya kontak dengan sumber
eksistensi, memiliki ciri-ciri khas tertentu:
1. Mukjizat
Setiap nabi yang diangkat oleh Allah memiliki kekuatan
supranatural. Dengan kekuatan ini nabi dapat melakukan
perbuatan mukjizat, untuk membuktikan bahwa risalah dan
misinya itu benar dan berasal dari Tuhan. Al-Qur’an
Suci menyebut “ayat” untuk mukjizat yang dilakukan oleh
nabi dengan kehendak Allah, yaitu “ayat” (tanda)
kenabian. Al-Qur’an Suci menyebutkan bahwa di setiap
zaman orang meminta kepada nabi di zaman mereka untuk
memperlihatkan beberapa mukjizat kepada mereka. Karena
permintaan tersebut masuk akal, maka nabi mengabulkan
permintaan mereka, karena kalau tidak, maka orang yang
mencari kebenaran mustahil mau mengakui kenabian. Namun
nabi tak mau mengabulkan permintaan untuk
memperlihatkan mukjizat kalau tujuannya bukan untuk
mencari kebenaran. Misal, orang berkata kepada nabi mau
masuk agama yang dibawa nabi kalau nabi memperlihatkan
mukjizat, permintaan mereka diabaikan. Namun, Al-Qur’an
Suci menyebutkan banyak mukjizat nabi, seperti meng
hidupkan orang yang sudah mad, menyembuhkan penyakit
yang tak dapat disembuhkan, dapat berbicara ketika
masih bayi, mengubah tongkat menjadi ular, menjelaskan
kegaiban dan memaparkan kejadian-kejadian yang akan
terjadi di masa mendatang.
2. Maksum
Ciri khas lain nabi adalah maksum, yaitu tak mungkin
berbuat dosa atau berbuat keliru. Nabi tak dikuasai
oleh keinginan pribadinya. Nabi tidak berbuat salah.
Kemaksuman nabi tak dapat disangkal lagi. Namun apa
sesungguhnya arti kemaksuman nabi? Apakah artinya
adalah bahwa bila nabi mau berbuat dosa atau salah,
malaikat datang mencegahnya seperti seorang bapak
mencegah anaknya agar tidak tersesat? Atau, apakah
artinya adalah bahwa nabi diciptakan sedemikian rupa
sehingga nabi tak dapat berbuat salah, persis seperti
malaikat yang, misalnya, tak mungkin berbuat zina
karena malaikat tak punya nafsu seksual, atau seperti
mesin, yang tak melakukan kesalahan karena mesin tak
punya otak? Atau, alasan kenapa nabi tidak berbuat
salah adalah karena nabi telah dianugerahi intuisi
(gerak hati), iman dan keyakinan yang istimewa
tingkatannya? Ya, itulah satu-satunya penjelasan yang
benar. Sekarang mari kita bahas satu persatu mukjizat
dan kemaksuman.
Maksum
Manusia adalah makhluk yang merdeka. Manusia menentukan
apa saja yang bermanfaat bagi dirinya dan apa saja yang
merugikan bagi dirinya. Berdasarkan itu manusia
memutuskan apa yang akan dilakukannya. Penilaiannya
berperan penting dalam pilihannya. Mustahil manusia
memilih melakukan sesuatu yang menurut penilaiannya
akan merugikan dirinya. Misal, orang yang sehat
pikirannya yang punya perhatian kepada hidupnya tak
mungkin mau menjatuhkan dirinya dari atas bukit, juga
mustahil dia mau minum racun yang mematikan.
Dari segi kekuatan iman dan kesadaran akan konsekuensi
dosa, tiap-tiap orang berbeda-beda. Semakin kuat
imannya, semakin sadar dia, semakin sedikit dosa yang
akan dilakukannya. Kalau iman seseorang begitu kuat,
maka bila dia berbuat dosa dia merasa seakan-akan
tengah mencampakkan diri dari atas bukit, sehingga
peluangnya untuk melakukan dosa jadi tak ada artinya.
Keadaan seperti ini kami sebut maksum. Di sini
kemaksuman terjadi karena kesempurnaan iman dan takwa.
Agar bisa maksum, manusia tak membutuhkan kekuatan dari
luar dirinya untuk mengendalikan dirinya agar tidak
berbuat dosa. Juga dia tak perlu jadi tidak berdaya.
Tidak berbuat dosa tidak patut dipuji jika manusia
tidak mampu berbuat dosa, atau jika dia dihalangi oleh
kekuatan dari luar dirinya. Posisi orang yang tak mampu
berbuat dosa adalah seperti posisi narapidana yang tak
mampu berbuat jahat. Tentu saja narapidana tak dapat
digambarkan sebagai orang yang jujur dan lurus.
Kemaksuman nabi merupakan hasil dari intuisinya.
Kesalahan terjadi kalau seseorang berhubungan dengan
realitas melalui indera batiniah dan lahiriahnya. Dan
kemudian dia membuat gambaran mental tentang realitas
itu yang dianalisisnya dengan menggunakan kemampuan-
kemampuan mentalnya. Dalam hal itu dia dapat saja
berbuat salah dalam menyusun gambaran mentalnya, atau
dalam menerapkan gambaran tersebut pada realitas yang
ada di luar dirinya. Namun bila dia memahami realitas
itu langsung melalui indera khusus, sehingga tak perlu
lagi menyusun gambaran mental tentang realitas
tersebut, dan pemahamannya tentang realitas itu saja
sudah berarti hubungan langsungnya dengan realitas itu,
maka tidak timbul masalah melakukan kesalahan. Para
nabi berhubungan dengan realitas alam semesta dari
dalam diri mereka. Tentu saja tak dapat dibayangkan
terjadinya kesalahan pada realitas itu sendiri. Misal,
kalau kita menaruh seratus manik-manik tasbih di dalam
sebuah bejana, kemudian menaruh seratus lagi, dan
perbuatan ini diulang seratus kali, maka kita tak
mungkin mampu ingat persis hitungannya dan tak mungkin
yakin apakah kita mengulang perbuatan itu seratus kali,
sembilan puluh sembilan kali atau seratus satu kali.
Namun realitas yang sesungguhnya, yaitu jumlah yang
sesungguhnya dari manik-manik tersebut, tak mungkin
lebih sedikit atau lebih banyak dari realitasnya.
Orang-orang yang berada di tengah-tengah realitas dan
dekat dengan akar eksistensi tak mungkin melakukan
kesalahan. Mereka maksum.
Beda Nabi dan Orang Jenius
Dari sini jelaslah beda antara nabi dan orang jenius.
Orang jenius adalah orang yang memiliki daya
intelektual yang tinggi, dan pemahamannya juga luar
biasa. Orang jenius bekerja berdasarkan data mentalnya
sendiri, dan membuat kesimpulan dengan menggunakan
kemampuan otaknya. Orang jenius terkadang melakukan
kekeliruan ketika membuat kalkulasi. Di samping
memiliki kemampuan otak dan kemampuan membuat
kalkulasi, nabi juga memiliki kekuatan lain yang
disebut wahyu, sesuatu yang tidak dimiliki oleh orang
jenius. Karena itu, tak mungkin untuk membandingkan
orang jenius dengan nabi. Orang jenius dan nabi beda
golongannya. Kita bisa saja membandingkan kemampuan dua
orang dalam melihat dan mendengar, namun kita tak dapat
membandingkan daya lihat seseorang dengan daya dengar
orang lain lalu kita katakan mana yang lebih kuat.
Orang jenius memiliki daya pikir yang luar biasa,
sedangkan nabi memiliki kekuatan yang sama sekali beda,
dan kekuatan ini disebut wahyu. Nabi selalu berhubungan
erat dengan Sumber eksistensi. Karena itu, tidaklah
betul kaiau membandingkan orang jenius dengan nabi.
3. Petunjuk
Kenabian berawal dari perjalanan spiritual dari makhluk
ke Allah dan memperoleh kedekatan dengan-Nya.
Perjalanan seperti ini mengandung arti meninggalkan
yang lahir dan menuju ke yang batin. Namun demikian,
pada akhirnya ujung perjalanan tersebut berupa
kembalinya nabi kepada manusia dengan maksud
mereformasi kehidupan manusia, dan memandu kehidupan
manusia ke jalan lurus.
Dalam bahasa Arab, ada dua kata untuk nabi: Nabi dan
Rasul Secara harfiah, arti nabi adalah orang yang
membawa kabar, sedangkan arti rasul adalah utusan. Nabi
membawa risalah Allah untuk manusia. Nabi menggali dan
mengorganisasi kekuatan manusia yang terpendam. Nabi
mengajak manusia untuk berpaling kepada Allah dan untuk
mewujudkan apa yang diridai-Nya: Perdamaian, kebajikan,
non-kekerasan, keadilan, kejujuran, kelurusan, cinta,
keterbebasan dari segala yang berbau kekufuran, dan
kebajikan-kebajikan lainnya. Nabi membebaskan umat
manusia dari belenggu ketundukan kepada hawa nafsu dan
Tuhan-tuhan palsu.
Dr. Iqbal, ketika menguraikan perbedaan antara nabi dan
orang yang memiliki “pengalaman menyatu”, mengatakan:
“Orang sufi tak mau kembali dari kedamaian, “pengalaman
menyatua-nya.. Kalau pun dia kembali, dan ini memang
harus, kembalinya dia itu tak berarti banyak bagi umat
manusia pada umumnya. Kembalinya nabi bersifat kreatif.
Nabi kembali untuk memasuki jalan waktu dengan maksud
mengendalikan kekuatan-kekuatan sejarah. Karena itu,
nabi menciptakan dunia ideal yang baru. Bagi orang
sufi, kedamaian “pengalaman menyatu” merupakan sesuatu
yang final. Bagi nabi, itu merupakan kesadaran atau
kebangkitan di dalam dirinya dan leluasanya kekuatan-
kekuatan psikologis, yang diperhitungkan untuk
sepenuhnya mentransformasi dunia manusia.” (The
Reconstruction of Religious Thought in Islam, hal.
124).
4. Ikhlas
Nabi percaya kepada Allah, dan tak pernah lalai dengan
misi yang diamanatkan kepadanya oleh Allah. Nabi
menunaikan tugasnya dengan sedemikian ikhlas. Tujuan
nabi tak lain adalah membimbing umat manusia, seperti
yang diperintahkan oleh Allah. Nabi tak minta upah
untuk misinya.
Dalam Surah asy-Syu’arâ` diikhtisarkan apa yang
dikatakan banyak nabi kepada kaum mereka. Tentu saja,
setiap nabi membawa risalah untuk kaumnya. Dan risalah
tersebut sesuai untuk problem-problem yang dihadapi
kaumnya. Namun demikian, ada substansi yang diungkapkan
dalam risalah setiap nabi. Setiap nabi berkata, “Aku
tak menginginkan upah darimu.” Karena itu, tulus
merupakan salah satu watak khas nabi. Itulah sebabnya
risalah para nabi selalu begitu tegas dan pasti. Para
nabi merasa “diangkat”, dan mereka sedikit pun tidak
meragukan fakta bahwa mereka mendapat amanat berupa
misi yang amat penting dan bermanfaat. Kemudian mereka
menyampaikan risalah mereka, dan tanpa ragu membelanya
dengan penuh kekuatan yang belum pernah terjadi
sebelumnya.
Ketika Nabi Musa as dan saudaranya, Nabi Harun as
menghadap Fir’aun, mereka sama sekali tak memiliki
perlengkapan kecuali pakaian yang melekat di badan
mereka dan tongkat kayu di tangan mereka. Mereka
meminta Fir’aun agar menerima risalah mereka. Mereka
mengatakan dengan pasti bahwa jika Fir’aun mau menerima
risalah mereka, maka kehormatan Fir’aun akan
terlindungi, dan kalau tidak, maka Fir’aun akan
kehilangan pemerintahannya. Fir’aun terpesona dengan
perkataan mereka.
Pada hari-hari pertama kenabiannya, ketika jumlah kaum
Muslim tak lebih dari sepuluh orang, Nabi Muhammad saw
suatu hari, yang dalam sejarah dikenal sebagai Hari
Peringatan, mengumpulkan para senior Bani Hasyim, dan
menyampaikan Risalahnya kepada mereka. Nabi saw dengan
tegas mengatakan bahwa agamanya akan tersebar ke
seluruh dunia, dan bahwa kalau mereka memeluk agamanya,
maka hal itu adalah demi kepentingan mereka sendiri.
Bagi mereka, kata-kata ini luar biasa. Mereka saling
pandang dengan mata terbelalak. Kemudian mereka bubar
tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
Ketika pamannya, Abu Thalib, menyampaikan kepadanya
pesan dari kaum Quraisy, yang isinya bahwa kaum Quraisy
mau memilihnya menjadi raja mereka, mau menikahkannya
dengan putri suku yang paling cantik, dan menjadikannya
orang yang terkaya di masyarakat mereka, asalkan dia
tak lagi berdakwah, Nabi Muhammad saw menjawab bahwa
dirinya tak akan mundur satu inci pun dari misi
sucinya, sekalipun mereka meletakkan matahari di
tangannya yang satu dan bulan di tangannya yang satunya
lagi. Kemaksuman merupakan hasil wajib dari komunikasi
nabi dengan Allah. Begitu pula, tulus dan teguh had
juga merupakan ciri khas wajib dari kenabian.
5. Konstruktif
Nabi mengerahkan segenap kekuatan yang dimilikinya
untuk maksud-maksud membangun, yaitu untuk mereformasi
individu-individu dan masyarakat, atau dengan kata lain
untuk mewujudkan kesejahteraan manusia. Mustahil kalau
aktivitas para nabi merugikan individu-individu atau
merugikan masyarakat luas. Karena itu, jika ajaran
seseorang yang mengaku dirinya nabi berakibat kerusakan
atau ketidaksenonohan, melumpuhkan kekuatan manusia,
atau menyebabkan jatuhnya martabat masyarakat, maka itu
merupakan bukti jelas bahwa dia adalah penipu.
Dalam kaitan ini, Dr. Iqbal dengan jitu mengatakan:
“Cara lain untuk mengetahui nilai pengalaman religius
nabi adalah mengkaji tipe manusia seperti apa yang
berhasil diciptakannya, dan dunia budaya yang terbentuk
dari roh risalahnya.” (The Reconstruction of Religious
Thought in Islam, hal. 124).
6. Perjuangan dan Konflik
Perjuangan seorang nabi menentang penyembahan berhala,
mitos, kebodohan, pikiran palsu dan tirani, merupakan
tanda lain kebenaran seorang nabi. Mustahil kalau dalam
risalah seseorang yang dipilih oleh Allah untuk menjadi
nabi-Nya ada nada keberhalaan, nada yang mendukung
tirani dan ketidakadilan, atau nada yang mentoleransi
kemusyrikan, kebodohan, mitos, kekejaman atau
kelaliman.
Tauhid, akal dan keadilan merupakan sebagian prinsip
yang diajarkan oleh semua nabi. Risalah dari orang-
orang yang mengajar-kan prinsip-prinsip ini sajalah
yang patut dipertimbangkan, dan mereka sajalah yang
dapat diminta untuk memberikan bukti atau mukjizat.
Jika risalah yang disampaikan oleh seseorang mengandung
unsur yang tak rasional atau bertentangan dengan
prinsip-prinsip tauhid dan keadilan, atau mendukung
tirani, maka risalah tersebut sama sekali tak patut
dipertimbangkan. Dalam kasus seperti itu, sama sekali
tak perlu memintanya untuk memberikan bukti yang
memperkuat klaimnya. Begitu pula terhadap seorang
penipu ulung yang berbuat dosa, yang melakukan
kesalahan besar, atau yang tak mampu membimbing orang
akibat mengidap cacat jasmani atau penyakit yang
menjijikkan seperti lepra, atau akibat ajarannya tak
memberikan dampak yang konstruktif pada kehidupan
manusia. Andai saja penipu seperti itu memperlihatkan
keajaiban, mustahil atau tak masuk akal untuk
mengikutinya.
7. Sisi Manusia
Para nabi, sekalipun memiliki banyak kemampuan
supranatural, seperti maksum, mampu melakukan perbuatan
mukjizat, mampu membimbing dan merekonstruksi, dan
mampu melakukan perjuangan luar biasa menentang
kemusyrikan, mitos dan tirani, namun tetap manusia
juga. Mereka, seperti manusia lainnya, makan, tidur,
berketurunan dan akhirnya meninggal dunia. Pada diri
mereka juga ada semua kebutuhan dasar manusiawi. Mereka
berkewajiban menunaikan tugas-tugas agama seperti orang
lain. Seperti orang lain, mereka juga tunduk kepada
semua hukum agama yang disampaikan melalui mereka.
Terkadang mereka bahkan memiliki tugas tambahan. Salat
tahajud yang sunah bagi orang lain, wajib bagi Nabi
Suci saw.
Para nabi tak pernah merasa diberi kebebasan untuk
tidak mengikuti perintah agama. Dibanding orang lain,
mereka justru jauh lebih takwa dan jauh lebih beribadah
kepada Allah. Mereka melakukan salat, berpuasa,
melakukan perang suci, membayar zakat, dan bersikap
baik had kepada manusia. Para nabi bekerja keras untuk
mendapatkan kesejahteraannya sendiri, dan juga untuk
mewujudkan kesejahteraan bagi manusia. Di kala hidup,
para nabi tak pernah menjadi beban bagi siapa pun.
Wahyu dan sifat-sifat khas yang berkaitan dengan wahyu,
merupakan satu-satunya pembeda antara nabi dan non-
nabi. Kenyataan bahwa nabi menerima wahyu tidak
menaflkan kemanusiaan nabi. Kenyataan tersebut justru
menjadikan nabi sebagai model “manusia sempuma”. Itulah
sebabnya nabi sedemikian tepat untuk membimbing
manusia.
8. Nabi Membawa Syariat (Hukum) Tuhan
Pada umumnya ada dua golongan nabi. Golongan pertama,
yaitu golongan kecil, adalah nabi-nabi yang mendapat
syariat sendiri, yang diperintahkan untuk memberikan
petunjuk kepada manusia dengan berbasiskan syariat.
Al-Qur’an Suci menyebut para nabi ini dengan sebutan
nabi-nabi “berjiwa besar atau berhati mulia.” Kita tak
tahu persis berapa jumlah mereka. Al-Qur’an Suci dengan
tegas mengatakan telah menceritakan hanya kisah-kisah
tentang sedikk nabi. Kalau saja kisah-kisah tentang
semua nabi itu dicedtakan, atau setidaknya Al-Qur’an
Suci menyatakan telah menceritakan kisah-kisah tentang
semua nabi yang penting, tentu kita akan tahu jumlah
nabi yang berjiwa besar atau berhati mulia itu. Namun,
kita tahu bahwa Nuh as, Ibrahim as, Musa as, Isa as dan
Nabi terakhir Muhammad saw, termasuk di antara nabi-
nabi itu. Syariat diberikan kepada semua nabi yang
berhati mulia dan berjiwa besar itu. Nabi-nabi ini
diperintahkan untuk mendidik para pengikut mereka
dengan berdasarkan syariat.
Golongan kedua, adalah nabi-nabi yang tidak memiliki
syariat sendiri. Meski demikian, mereka ini
diperintahkan untuk mendakwahkan syariat Tuhan yang
sudah ada. Kebanyakan nabi termasuk dalam golongan ini.
Dalam golongan ini terdapat nama-nama seperti Hud as,
Saleh as, Luth as, Ishaq as, Ya’qub as, Yusuf as,
Syu’aib as, Harun as, Zakaria as dan Yahya as.