Dalam kitab Fathul-Bari (syarah Sahih Bukhari) karya
Ibnu Hajar disebutkan satu hadis yang diriwayatkan dari
Jabir ra. Dalam hadis tersebut, Jabir mengatakan: “Umar
(bin Khatab) telah menyalin tulisan (yang diambil) dari
Taurat dengan berbahasa Arab. Lantas ia membawa dan
kemudian membacanya di hadapan Rasulullah saw.
(Mendengar itu) wajah Rasulullah saww tampak berubah.
Lalu, berkatalah seorang dari kaum Anshar kepadanya
(Umar), “Celakalah engkau wahai putera (Ibnu) Khatab!
Tidakkah engkau melihat wajah Rasulullah?” Lantas
Rasulullah saw bersabda, “Janganlah kalian menanyakan
kepada Ahli Kitab tentang sesuatu apapun. Karena mereka
tiada akan pernah[1] memberi petunjuk (hidayah) kepada
kalian. Dan karena mereka telah sesat. Sedang kalian,
(jika kalian membenarkannya) maka berarti kalian telah
membohongkan kebenaran, atau berarti kalian telah
membenarkan kebatilan. Demi Allah, jika (nabi) Musa ada
di tengah-tengah kalian, niscaya ia tiada akan
memposisikan (dirinya) kecuali dengan mengikutiku”[2].
Sedikitnya ada enam poin yang telah diisyaratkan oleh
Rasulullah dalam hadis tersebut, yaitu sebagai berikut.
1. Hadis ini menjelaskan tentang larangan Rasulullah
terhadap umatnya untuk menanyakan sesuatu (masalah
keagamaan) apapun kepada Ahli Kitab. Dalam pembahasan
ushul fiqih[3], asal pelarangan dengan menggunakan kata
“laa” yang berarti “jangan” menunjukkan
“pengharaman”[4]. Haram berarti harus dijauhi, dan
melakukannya merupakan dosa. Hukum haram dalam kasus
ini akan lebih terjelaskan lagi dalam poin-poin
selanjutnya. Sedang kata “syaian” yang berarti
“sesuatupun” memberikan arti kemutlakan sesuatu. Tentu,
kemutlakan sesuatu dalam hadis ini tidak mencakup
dengan hal-hal duniawi, misalnya masalah perdagangan.
Indikasi (qorinah) yang ada dalam hadis ini menunjukkan
bahwa “kemutlakan sesuatu” tadi berkaitan dengan
pemberian petunjuk (hidayah). Hal ini menunjukkan bahwa
kemutlakan itu berkaitan dengan hal-hal yang berkaitan
dengan keagamaan, baik menyangkut akidah (teology),
hukum (Islamic laws), ataupun akhlak (ethic). Jadi
obyek pelarangan Rasulullah tadi berkaitan langsung
dengan ketiga hal yang menjadi bagian terpenting dari
agama Islam tersebut.
2. Dalam hadis ini, jelas Rasulullah tidak memberi
pengkhususan (qoyd) terhadap kelompok Ahli Kitab
tertentu. Di dalam hadis ini tidak terdapat kata
semisal “Ahli Kitab yang telah menyimpang” atau “Ahli
Kitab yang fasik”. Kembali dalam kajian ushul fiqih
disebutkan, jika dalam sebuah hadis Rasulullah tidak
memberikan qoyd apapun, artinya beliau telah
memutlakkannya. Dengan demikian, dalam hadis ini yang
dimaksud oleh Rasulullah adalah semua Ahli Kitab.
Berarti, pelarangan untuk bertanya tentang masalah-
masalah keagamaan terhadap Ahli Kitab, mencakup Ahli
Kitab mana pun, siapa pun, di mana pun dan kapan pun
pasca pengutusan Muhammad.
3. Alasan pelarangan Rasulullah ini adalah karena Ahli
Kitab tiada akan pernah dapat memberi petunjuk kepada
kaum muslimin (pemeluk agama Islam Muhammadi). Walaupun
hal ini tampak sebagai alasan pertama Rasulullah, namun
alasan tersebut sebenarnya merupakan “akibat” dan
konsekuensi logis dari alasan kedua yang akan
disampaikan dalam poin ke-4 (dalam poin ke-4
disebutkan: Rasulullah menyatakan bahwa Ahli Kitab
telah sesat). Akal sehat akan menetapkan bahwa, orang
sesat tidak akan (baca: mustahil) mampu memberi
petunjuk kepada orang lain sementara dirinya tetap
dalam kesesatan. Dalam filsafat Islam disebutkan satu
kaidah akal yang mengatakan, faaqidus syai’ laa yu’thi
(ketiadaan sesuatu, tiada akan memberi (sesuatu)), maka
ketidakpunyaan petunjuk pada diri Ahli Kitab
meniscayakan kemustahilan kemampuan untuk memberi
petunjuk kepada kaum muslimin.
4. Alasan kedua pelarangan Rasulullah kepada umatnya
untuk bertanya kepada Ahli Kitab adalah karena Ahli
Kitab telah sesat. Karena mereka sesat, tentu saja
sesuai kaidah akal, mereka tidak mungkin bisa memberi
petunjuk. Adapun bukti tekstual kesesatan mereka akan
penulis bahas pada bagian “ketidakberlakuan syariat
agama-agama samawi non-Islam pasca pengutusan
Muhammad”.
5. Pelanggaran terhadap amanat Rasulullah tersebut
meniscayakan dua kemungkinan yang keduanya sama-sama
buruk: mengingkari kebenaran atau membenarkan
kebatilan. Pengingkaran kebenaran dan pembenaran
kebatilan tentu sangat bertentangan dengan akal sehat
dan fitrah suci manusia.
6. Semua ajaran syariat para nabi terdahulu telah
terhapus (mansukh) dengan diutusnya Muhammad Rasulullah
saww. Hal ini telah disinggung dalam berbagai ayat dan
riwayat sebagai argumen tekstual kaum muslimin. Oleh
karenanya, jikalau semua nabi –dari Adam as hingga Isa
al-Masih as- dihidupkan dan dikumpulkan kembali pada
masa pasca pengutusan Muhammad saww sebagai Nabi dan
Rasul, niscaya mereka (para nabi itu) akan
diperintahkan oleh Allah swt untuk tunduk, taat, dan
mengikuti syariat Muhammad. Jika para nabi dan Rasul
pun diperintahkan untuk mengikuti syariat Muhammad,
maka konsekuensinya adalah: umat yang mengaku sebagai
pengikut ajaran para nabi dan Rasul tadi –sesuai dengan
dasar hukum prioritas (qiyas awlawiyat)- pun juga
diperintahkan untuk mengikuti ajaran dan syariat
Muhammad. Jika tidak, maka kesesatan akan tetap menjadi
label dari keyakinan umat tersebut.
Selain hadis di atas tadi, dalam tulisan ringkas ini
akan dibahas sedikit tentang dalil-dalil tekstual agama
Islam yang banyak dipakai sebagai pembenaran teori
pluralisme agama, baik pluralisme agama yang diartikan
‘pengakuan akan kebenaran setiap agama’, maupun ‘setiap
agama mampu menghantarkan pengikutnya menuju
keselamatan abadi di akherat kelak’. Penulis akan
membuktikan bahwa ternyata dalil-dalil tersebut bukan
hanya sama sekali tidak condong terhadap wacana
pluralisme agama, namun malah menentangnya. Dalam
pembuktian masalah ini, sangat banyak teks yang harus
disinggung, namun untuk menyingkat pembahasan, penulis
akan membahas beberapa teks agama saja.
Bagi kaum muslimin, argumentasi Al Quran merupakan
dalil primer yang kebenarannya tidak dapat diganggu
gugat oleh argumen apapun. Karena itu, terlebih dahulu
penulis akan membahas beberapa ayat yang membuktikan
penentangan Islam terhadap konsep pluralisme agama.
Setelah itu, baru akan disinggung dalil-dalil lain,
yaitu hadis-hadis sebagai pendukung kekuatan
argumentasi Al Quran. Oleh karenanya, jika terdapat
hadis-hadis biasa yang bertentangan dengan apa yang
telah dinyatakan oleh Al Quran, maka hadis-hadis tadi
harus diartikan dengan makna lain (takwil) sehingga
sesuai dengan Al Quran. Jika tidak mungkin untuk
diadakan proses pentakwilan, maka sesuai dengan
perintah Nabi Islam (Muhammad), kita tidak perlu
segan-segan untuk membuang hadis-hadis seperti itu ke
dalam tong sampah, karena bertentangan dengan kitab
suci Al Quran.
A. Ayat Al Quran dan Pluralisme Agama
Dalam Al Quran, terdapat ayat-ayat yang membahas
tentang adanya perubahan dalam kitab-kitab suci sebelum
Al Quran yang mengakibatkan ajaran agama mereka (Ahli
Kitab: Yahudi, Nasrani dan Sabi’in) tidak murni lagi.
Allah swt dalam Al Quran berfirman: “…maka bawalah
Taurat itu, lalu bacalah dia jika kamu orang-orang yang
benar”[5]. Hal ini dikarenakan firman Allah: “Hai Ahli
Kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami,
menjelaskan kepadamu banyak dari isi al-kitab yang kamu
sembunyikan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya.
Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah,
dan kitab yang menerangkan”[6]. Dalam ayat tadi
dijelaskan akan adanya keharusan mengikuti ajaran yang
dibawa oleh Muhammad saww yang diutus oleh Allah swt
dimana semua ajarannya terangkum dalam kitab yang juga
diturunkan bersamanya. Hal ini dikarenakan banyak dari
hukum dan ajaran Allah yang telah disimpangkan oleh
pengikut agama sebelum agama Muhammad (Islam). Lantas,
bagaimana mungkin ajaran menyimpang akan dapat menjamin
pengikutnya untuk mendapat keselamatan abadi?
Masih banyak lagi ayat-ayat Al Quran yang membahas
tentang ruang lingkup pengangkatan Muhammad bin Abdulah
saww sebagai utusan Allah. Allah swt memberitahukan
bahwa Muhammad saww diutus untuk segenap manusia, yang
berarti mencakup pengikut agama-agama terdahulu agar
mereka pun mengikuti Muhammad Rasulullah saww dalam
setiap ajarannya. Allah swt berfirman: “Katakanlah:
“Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah
kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan
langit dan bumi….maka berimanlah kamu kepada Allah dan
Rasulullahnya, Nabi yang ummi…dan ikutilah dia supaya
kamu dapat petunjuk”[7]. Paling tidak, terdapat tiga
poin yang dapat dijadikan dalil dari ayat tadi.
Pertama, Muhammad saww diutus untuk segenap manusia;
pengutusan Muhammad bersifat lintas kelompok dan
kalangan manusia, termasuk lintas agama. Kedua, obyek
keimanan adalah iman kepada Allah swt dan iman kepada
kerasulan Muhammad (yang ummi) dengan berbagai
konsekuensinya; dengan mengikuti segala perintah dan
menjauhi semua larangannya. Ketiga, mengikuti ajaran
Muhammad adalah kunci untuk mendapat petunjuk dan
dengan petunjuk itulah manusia bisa mencapai
keselamatan abadi.
Dalam ayat lain Allah swt berfirman: “Dan Kami tiada
mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya
sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi
peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada
mengetahui”[8]. Dari ayat tadi, minimalnya ada empat
poin yang perlu digarisbawahi. Pertama, Muhammad diutus
untuk segenap manusia, tanpa terkecuali, bahkan
termasuk kaum Atheis. Karena itu, selama suatu makhluk
masih bernama manusia, maka ia tercakup dalam “perintah
Ilahi” tersebut. Kedua, Muhammad saww adalah pembawa
gembira berupa kebahagiaan sejati dan abadi (sorga).
Tentu, kabar gembira tersebut diperuntukkan bagi yang
mengikuti ajarannya dengan baik dan benar, tanpa
terpolusi oleh penyimpangan atau penyelewengan. Ketiga,
Muhammad saww adalah pembawa “peringatan” berupa
kesengsaraan abadi (neraka). Peringatan tersebut
ditujukan kepada mereka yang tidak mematuhi perintah
Allah swt untuk mengikuti Muhammad saww beserta
ajarannya. Keempat, banyak orang yang tidak sadar dan
tidak mengetahui point-point tadi sehingga masih saja
banyak orang yang tidak mengikutinya, atau bahkan
mengikuti agama lain selain agama yang dibawa oleh
Muhammad saww.
Beberapa ayat Al Quran yang penulis ajukan tadi
semuanya menjelaskan bahwa Muhammad saww adalah utusan
Allah yang bersifat mendunia dan karenanya, kitab
sucinya pun diperuntukkan bagi segenap umat manusia di
dunia ini. Allah swt berfirman: “Maha suci Allah yang
telah menurunkan al-Furqon (Al Quran) kepada hamba-Nya,
agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh
alam”[9]. Dalam ayat lain Allah swt berfirman: “Al
Quran itu tiada lain hanyalah peringatan bagi semesta
alam”[10]. Segenap manusia merupakan bagian dari alam
semesta. Artinya, ayat-ayat tadi memberikan penjelasan
bahwa Al Quran diturunkan agar umat manusia –apapun
agamanya- mengikuti petunjuk yang ada di dalamnya. Dan
otomatis, sewaktu seseorang mengikuti Al Quran yang
diturunkan oleh Allah swt melalui Muhammad saww berarti
ia telah memeluk agama Islam.
Dalam Al Quran, terdapat beberapa ayat yang menjelaskan
bahwa kerasulan Muhammad saww dan perintah untuk
mengikuti ajarannya telah tercantum dalam kitab-kitab
suci lain sebelum penurunan Al Quran. Hal itu
membuktikan dan memberikan konsekuensi bahwa setiba
Muhammad saww, kaum Yahudi, Nasrani dan Shabi’in pun
harus mengikuti ajaran Allah swt yang dibawa oleh
Muhammad saww. Dalam hal ini Allah swt berfirman: “Dan
(ingatlah) ketika Isa putera Maryam berkata: “Hai Bani
Israel, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu,
membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat
dan memberi khabar gembira dengan (datangnya) seorang
Rasulullah yang akan datang sesudahku, yang namanya
Ahmad (Muhammad)”. Maka tatkala Rasulullah itu datang
kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata,
mereka berkata: Ini adalah sihir yang nyata”[11].
Sebagaimana Isa al-Masih (as) di utus untuk meluruskan
ajaran para nabi terdahulu yang telah disimpangkan oleh
umatnya, demikian pula fungsi pengutusan Muhammad saww.
Ajaran Muhammad tidak bertentangan dengan ajaran para
nabi dan Rasulullah pendahulunya, dan bahkan
membenarkan apa yang telah datang sebelumnya. Tentu,
“kabar gembira” dalam ayat tadi bukan hanya sekedar
kabar, namun memiliki konsekuensi, yaitu kewajiban
untuk mengikuti segala ajaran (Nabi Muhammad),
sebagaimana Isa (as) datang untuk diikuti oleh segenap
Bani Israil yang yang semula mengikuti ajaran Musa al-
Kalim (as).
Dalam ayat lain Allah swt berfirman: “Dan (ingatlah),
ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi,
‘Sesungguhnya apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa
kitab dan hikmah, kemudian datang kepadamu seorang
Rasulullah yang membenarkan apa yang datang kepadamu,
niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan
menolongnya’. Allah berfirman, ‘Apakah kamu mengakui
dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?’
Mereka menjawab, ‘Kami mengakui.’ Allah berfirman,
‘Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi) dan Aku
menjadi saksi pula bersama kamu’. Barangsiapa yang
berpaling sesudah itu, maka mereka itulah orang-orang
yang fasik.”[12] Kalimat “beriman kepadanya dan
menolongnya” dalam ayat tadi memiliki dua kemungkinan
makna. Pertama, keharusan para nabi terdahulu untuk
mengimani karasulan Muhammad yang akan datang di
kemudian hari, dan hal tersebut berfungsi sebagai
keselamatan mereka pribadi terhadap ilmu yang diberikan
oleh Allah swt kepada mereka. Kedua, para nabi sebelum
Nabi Muhammad bertugas menolong Nabi Muhammad dengan
cara mungumumkan kerasulan dan kebenaran ajarannya
kepada segenap umat mereka. Dengan cara itu, umat para
nabi tersebut akan mengikuti ajaran Muhammad. Ini
sebagai bukti bahwa agama para nabi yang diturunkan
oleh Allah swt adalah satu, yaitu Islam. Islam yang
bersumber dari fitrah suci manusia yang selalu mengajak
kepada ke-Esa-an Allah swt[13].
Sementara itu, adanya ayat-ayat yang menjelaskan akan
celaan Allah terhadap para Ahli Kitab adalah disebabkan
ulah mereka dalam mengubah ajaran dan menjadikannya
terpolusi oleh keyakinan syirik yang dibenci oleh Allah
swt. Kedatangan Muhammad saww telah disinggung dalam
kitab-kitab suci mereka terdahulu sebagai pemberi kabar
gembira dan peringatan. Dengan demikian, perintah Allah
untuk mengikuti ajaran dan agama Muhammad adalah kunci
keselamatan dan kebahagiaan abadi bagi mereka. Jika
perintah itu tidak mereka laksanakan, niscaya azab
Allah akan tertuju kepada mereka. Allah swt berfirman,
“Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepada kamu
Rasul Kami, menjelaskan (syariat Kami) kepadamu ketika
terputus (pengiriman) Rasul-rasul, agar kamu tidak
mengatakan, ‘Tidak ada datang kepada kami baik
seseorang pembawa berita gembira maupun seorang pemberi
peringatan.’ Sesungguhnya telah datang kepadamu pembawa
berita gembira dan pemberi peringatan, Allah Maha Kuasa
atas segala sesuatu.”[14]
Ini sebagai bukti bahwa pengutusan Rasulullah saww
adalah sebagai argumen (hujjah) Allah terhadap umat
manusia. Selepas pengutusan Muhammad, tiada lagi alasan
bagi umat manusia di hadapan Allah -di akherat kelak-
untuk tersesat dengan tidak mengikuti ajaran Muhammad.
Dalam ayat lain Allah berfirman, “Hai Ahli Kitab,
sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami,
menjelaskan kepadamu banyak dari isi kitab yang kamu
sembunyikan…”[15]. Juga ayat yang berbunyi: “Hai Bani
Isarail, ingatlah akan nikmat-nikmat-Ku…dan penuhilah
janjimu kepada-Ku niscaya Aku penuhi janjiKu kepadamu
dan hanya kepada-Ku-lah kamu harus tunduk. Dan
berimanlah kamu kepada apa yang telah Aku turunkan (Al
Quran) yang membenarkan apa yang ada padamu (Taurat),
dan janganlah kamu menjadi orang yang pertama kafir
kepadanya…”[16]. Ayat ini dengan tegas dan jelas
memerintahkan umat agama lain untuk mengimani Muhammad
saww, yang tentunya memberikan konsekuensi logis, yaitu
mengikuti ajarannya. Tanpa mengikuti Muhammad saww,
maka kebatilan dan kesesatan mereka akan semakin tampak
dengan jelas. Oleh karenanya Allah swt berfirman: “Hai
Ahli Kitab, mengapa kamu mengingkari ayat-ayat Allah,
padahal kamu mengetahui (kebenarannya). Hai Ahli Kitab,
mengapa kamu mencampuradukkan yang haq dengan yang
batil dan menyembunyikan kebenaran, padahal kamu
mengetahui?”[17]
Dari penjelasan beberapa ayat di atas jelaslah bahwa
Ahli Kitab diperintahkan oleh Allah swt untuk mengikuti
ajaran yang dibawa oleh Muhammad saww, yang berarti
mereka diperintah untuk memeluk agama Islam. Dan
pengutusan Muhammad adalah sebagai argumen sempurna
(hujjah taammah) agar mereka tidak dapat lagi beralasan
untuk tidak mengenal kebenaran yang akan membawa mereka
kepada keselamatan abadi nan sejati. Jika mereka tidak
mengimani syariat dan ajaran Muhammad, niscaya keimanan
mereka terhadap Allah swt layak untuk dipertanyakan.
Allah swt berfirman: “Wahai manusia, telah datang
Rasulullah (Muhammad) itu kepadamu dengan (membawa)
kebenaran dari Tuhanmu, maka berimanlah kamu, itulah
yang lebih baik bagimu. Dan jika kamu kafir (maka
kekafiran itu tidak merugikan Allah sedikitpun) karena
sesungguhnya apa yang dilangit dan di bumi itu adalah
kepunyaan Allah…”[18]. Dalam ayat lain Allah swt
berfirman: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur
dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi kebajikan
itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian,
malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi… ”[19] Dari
ayat ini jelas bahwa obyek keimanan adalah iman kepada
para nabi. Para nabi satu sama lain saling membenarkan
ajaran mereka, dan mereka semua pun memberitakan
kerasulan Muhammad dan membenarkan ajarannya, yang
berarti perintah untuk mengikuti ajaran yang dibawanya
pasca pengutusannya.
Kesesatan Ahli Kitab
Meskipun ajaran asli para nabi adalah ajaran yang
benar, yang bersumber dari Allah swt, namun sepeninggal
para nabi itu, umatnya menyelewengkan ajaran tersebut.
Terlampau banyak ayat-ayat Al Quran yang menyebutkan
kesesatan Ahli Kitab akibat penyimpangan mereka
terhadap esensi dasar ajaran Ilahi -yaitu konsep tauhid
(ke-Esa-an Tuhan)- sebagaimana yang disinyalir dalam
ayat, “Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang
mengatakan, ‘Bahwasanya Allah salah satu dari tiga’.
Padahal sekali-kali tidak ada tuhan selain dari Tuhan
Yang Esa…”[20] Dalam ayat lain disebutkan,
‘Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata:
Sesungguhnya Allah itu ialah al-Masih putera
Maryam…”[21] Atau ayat yang berbunyi, “Wahai Ahli
Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu,
dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali
yang benar. Sesungguhnya Isa putra Maryam itu adalah
utusan Allah… Maka berimanlah kamu kepada Allah dan
Rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan: ‘(Tuhan
itu) tiga’, berhentilah (dari ucapan itu). (itu) lebih
baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha
Esa…”[22] Dari ayat-ayat tadi, ada dua pertanyaan yang
mungkin bisa dilontarkan: adakah umat Nasrani sekarang
ini yang tidak meyakini konsep trinitas dalam bertuhan?
Dan jika mereka (yang meyakini trinitas) telah dihukumi
kafir, yang berarti sesat, mungkinkah manusia yang
sesat akan dapat menghantarkan pihak lain menuju
keselamatan abadi? Mungkin saja ada sebagian kaum
Kristiani yang tidak meyakini trinitas dalam ketuhanan,
namun jumlahnya pastilah sangat minim. Atas dasar itu,
Allah swt mengajarkan Muhammad saww untuk menjawab
dakwaan-dakwaan kosong kaum Ahli Kitab dengan firman-
Nya, “Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan, ‘Kami
ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya.’
Katakanlah, ‘Maka mengapa Allah menyiksa kamu atas
dosa-dosamu?”[23]
Jika Yahudi dan Nasrani –pasca pengutusan Muhammad-
adalah agama yang mampu menghantarkan kepada
keselamatan abadi, lantas mengapa Muhammad saww
diperintahkan Allah untuk menjawab pengakuan-pengakuan
palsu kaum Yahudi dan Nasrani dengan jawaban semacam
itu? Lebih dari itu, dalam salah satu ayat disebutkan
bahwa, kaum Yahudi dan Nasrani –pasca pengutusan
Muhammad- yang dikarenakan akidah mereka telah
terpolusi dengan penyekutuan Allah (syirik), maka
mereka pun akhirnya mendapat laknat Allah swt. Allah
swt berfirman, “Orang-orang Yahudi berkata, ‘Uzair itu
putra Allah’. Dan orang Nasrani berkata, ‘Al-Masih itu
putra Allah.’ Demikian itulah ucapan mereka dengan
mulut mereka itu meniru ucapan orang-orang kafir yang
terdahulu. Dilaknati Allah-lah mereka, bagaimana mereka
sampai berpaling?”[24] Dalam ayat lain Allah swt
berfirman, “Orang-orang Yahudi berkata, ‘Tangan Allah
terbelenggu’, sebenarnya tangan merekalah yang
terbelenggu dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa
yang telah mereka katakan itu…”[25].
Jika kaum Yahudi dan Nasrani dengan ucapan itu dihukumi
oleh Allah swt sebagai orang kafir yang terlaknat
oleh-Nya, maka mungkinkah pengikut agama yang dilaknat
Allah swt akan dapat membawa pengikutnya menuju
keselamatan abadi? Padahal keselamatan abadi di akherat
kelak semuanya bersumber pada keridhoan Allah swt,
Penguasa Seluruh Alam. Tanpa ridho Allah, mustahil
keselamatan akan teraih. Mendapatkan laknat Allah
artinya mendapat siksa dan azab Ilahi. Atas dasar
kekafiran dan laknat Ilahi terhadap para pengikut Ahli
Kitab –pasca pengutusan Muhammad- itulah akhirnya Allah
swt memerintahkan manusia-manusia beriman dengan
perintah-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi
pemimpin-pemimpin(-mu); sebagian mereka adalah pemimpin
bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu
mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya
orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang
zalim.”[26]
Banyak pertanyaan yang bisa dilontarkan berkaitan
dengan ayat tadi, misalnya, mengapa Allah melarang
orang mukmin (muslim) mengambil pemimpin dari orang
Yahudi dan Nasrani? Mengapa jika itu dilakukan oleh
orang mukmin, lantas ia tergolong kaum Yahudi dan
Nasrani? Lantas mengapa Allah mengancam tidak memberi
petunjuk terhadap orang mukmin yang melakukan hal itu?
Mengapa pelaku perbuatan tersebut tergolong pelaku
kezaliman? Jika agama Yahudi dan Nasrani di zaman
sekarang -pasca pengutusan Muhammad- juga mampu
menghantarkan kepada kebahagiaan sejati, lantas mengapa
datang larangan dan ancaman dari Allah swt? Jawaban
dari beberapa pertanyaan tadi akan dapat ditemukan
dalam ayat, “Sesungguhnya Kami telah mengutusmu
(Muhammad) dengan kebenaran sebagai pembawa berita
gembira dan pemberi peringatan…Orang-orang Yahudi dan
Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu
mengikuti agama mereka. Katakanlah, ‘Sesungguhnya
petunjuk Allah itu adalah petunjuk yang benar’. Dan
sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah
pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi
menjadi pelindung dan penolong bagimu.”[27] Ayat ini
jelas sekali menunjukkan bahwa ajaran Muhammad harus
diikuti oleh kaum Yahudi dan Nasrani juga. Tentu dengan
itu, maka seorang Yahudi dan Nasrani akan disebut
dengan muslim. Karena hanya Islam-lah yang mampu
menghantarkan kepada keselamatan dan kebahagiaan abadi.
Allah swt hanya menjadi pelindung dan penolong bagi
orang yang mengimani dan mengikuti ajaran Muhammad
saja.
Dalam beberapa ayat juga dijelaskan bahwa tunduk patuh
dan berserah diri penuh (taslim) merupakan syarat
terkabulnya sebuah amalan. Lantas apa hakekat dan obyek
serta tujuan penyerahan diri tersebut? Dalam sebuah
ayat Allah swt berfirman, “Barangsiapa yang mencari
agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah
akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di
akherat termasuk orang-orang yang rugi”[28]. Dan dalam
ayat lain Allah swt berfirman, “Barangsiapa yang Allah
menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya
Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam.
Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya,
niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit,
seolah-olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah
menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak
beriman.”[29]
Ayatullah Murthadha Muthahari dalam kitab keadilan
Ilahi-nya menyatakan bahwa, memang Islam yang dimaksud
dalam ayat tadi adalah agama kepasrahan (taslim) yang
mencakup semua agama para nabi terdahulu. Namun agama
taslim itu pada setiap zaman kenabian memiliki bentuk
yang tertentu. Pada masa kenabian Musa (as) agama
taslim ada pada agama Yahudi, pada zaman kenabian nabi
Isa (as) agama taslim ada pada agama Nasrani sehingga
semua pengikut Yahudi harus mengikutinya. Sedang pada
masa kenabian Muhammad saww, agama taslim terdapat pada
agama Islam Muhammadi dan umat Yahudi-Nasrani pun harus
mengikutinya. Dengan kata lain, setiap orang dari agama
apa pun “harus menyesuaikan diri” terhadap agama nabi
setiap zamannya. Orang-orang yang hidup pasca
pengutusan Muhammad wajib untuk mengikuti agama Nabi
Muhammad karena dia adalah nabi terakhir dan ajarannya
merupakan penyempurna dari seluruh ajaran para nabi
pendahulunya.[30]
Dikarenakan para Ahli Kitab tidak mengikuti Muhammad
saww –yang secara otomatis berarti tidak taat terhadap
para nabi mereka terdahulu- maka Allah pun mencela
mereka. Celaan dari Allah itu dapat kita baca dalam
ayat-ayat yang telah penulis sebutkan di atas. Islam
Muhammad merupakan kelanjutan dari Islam para nabi
terdahulu dan kunci untuk mendapat petunjuk Allah dan
setiap nabi utusan Allah merupakan argumen sempurna
(hujjah tammah) Allah terhadap makhluk-Nya. Karena itu,
bila Ahli Kitab tetap tidak mau mengikuti ajaran Nabi
Muhammad, maka Allah menjanjikan azab di akherat bagi
mereka, “Dan setelah datang kepada mereka Al Quran dari
Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka,
padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan
Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir,
maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka
ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat
Allah-lah atas orang-orang yang ingkar. Alangkah
buruknya (perbuatan) mereka yang menjual dirinya
sendiri dengan kekafiran kepada apa yang telah
diturunkan Allah karena dengki…Dan apabila dikatakan
kepada mereka, ‘Berimanlah kepada Al Quran yang
diturunkan Allah’, mereka berkata, ‘Kami hanya beriman
kepada apa yang diturunkan kepada kami.’ Dan mereka
kafir kepada Al Quran yang diturunkan sesudahnya,
sedang Al Quran itu adalah (kitab) yang hak; yang
membenarkan apa yang ada pada mereka. Katakanlah,
‘Mengapa kamu dahulu membunuh nabi-nabi Allah jika
benar kamu orang-orang yang beriman’.”[31]
Jadi, obyek dan tujuan ketundukan dan keberserahdirian
adalah Allah swt semata, sebagai konsekuensi logis dari
konsep pengesaan-Nya. Dan dikarenakan Allah swt telah
memerintahkan umat manusia untuk mengikuti ajaran
Muhammad –yang terangkum dalam agama Islam- maka
berarti Islam adalah syarat utama untuk diterimanya
suatu amal kebajikan bagi para Ahli Kitab (Yahudi,
Nasrani dan Shabi’in). Melalui syarat utama inilah
mereka akan mendapat petunjuk yang dapat mengantarkan
mereka menuju keselamatan abadi. Tanpa mengikuti Islam
niscaya mereka tiada akan mendapat petunjuk menuju
kebahagiaan abadi (sorga). Dalam hal ini Allah swt
berfirman: “…Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk
orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan
orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami. (Yaitu)
orang-orang yang mengikuti Rasulullah, nabi yang ummi
yang (namanya) tercantum dalam Taurat dan Injil ada di
sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang
makruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang
mungkar…Maka orang-orang yang beriman kepadanya,
memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang
terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka
itulah orang-orang yang beruntung. Katakanlah: “Hai
manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu
semua…maka berimanlah kamu kepada Allah dan
Rasulullah-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada
Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya)
dan ikutilah dia supaya kamu mendapat petunjuk.”[32]
Dari ayat-ayat di atas, jelas sekali bahwa petunjuk
untuk mendapat keselamatan abadi bagi segenap umat
manusia –di alam semesta ini setelah diutusnya
Muhammad—adalah mengimani dan mengikuti semua apa yang
diajarkannya. Dengan mengamalkan semua ajarannya
berarti manusia tersebut layak disebut sebagai manusia
yang beriman dan bertakwa (baca: berperilaku baik).
Perilaku baik dalam arti berbuat makruf dan menjauhi
mungkar sesuai dengan ridho Allah swt. Atas dasar itu,
Allah swt dalam ayat lain memerintahkan Rasulullah
untuk menjawab pengakuan pengikut Yahudi dan Nasrani
yang mengatakan, “Dan mereka berkata, ‘Hendaklah kamu
menjadi pengikut agama Yahudi dan Nasrani, niscaya kamu
mendapat petunjuk.’ Katakanlah, ‘Tidak, bahkan (kami
mengikuti) agama Ibrahim yang lurus. Dan bukanlah dia
(Ibrahim) dari golongan orang yang musyrik.’”[33] Ayat
ini dengan jelas menolak pernyataan bahwa petunjuk
berasal dari ajaran Yahudi dan Nasrani. Keselamatan
abadi sudah pasti berasal dari petunjuk yang benar dan
sesuatu yang salah mustahil akan memberi keselamatan
bagi pemiliknya.
Allah swt dalam ayat lain lebih menegaskan bahwa
Ibrahim bukan pengikut keyakinan syirik yang telah
menyelewengkan agama Yahudi dan Nasrani. Dalam ayat
tersebut Allah swt juga menafikan kepemilikan Yahudi
dan Nasrani atas petunjuk. Allah swt berfirman:
“Ataukah kamu (hai orang-orang Yahudi dan Nasrani)
mengatakan bahwa Ibrahim, Ismail, Ishaq, Yakqub dan
anak cucunya adalah penganut agama Yahudi atau Nasrani?
Katakanlah: “Apakah kamu lebih mengetahui ataukah
Allah, dan siapakah yang lebih zalim daripada orang-
orang yang menyembunyikan syahadah dari Allah yang ada
padanya?” Dan Allah sekali-kali tiada lengah dari apa
yang kamu kerjakan”[34].
Jika apa yang didakwahkan oleh para pendukung
pluralisme agama adalah benar, yaitu “bahwa setiap
agama mampu menghantarkan kepada keselamatan sejati”,
lantas mengapa dalam ayat ini Allah swt
mempermasalahkan pengakuan kaum Yahudi dan Nasrani
bahwa para nabi adalah dari golongan mereka? Allah swt
–sebagaimana yang telah disinggung pada ayat-ayat yang
lalu- telah menetapkan bahwa syarat utama untuk menuju
kebahagiaan abadi (sorga) di kehidupan akherat kelak
adalah dengan memeluk Islam (Islam Muhammadi yang
merupakan kelanjutan dari Islam para nabi sebelumnya).
Atas dasar tersebut Allah swt berfirman: “Sesungguhnya
agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam…dan
katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi al-
Kitab dan kepada orang-orang yang ummi, ‘Apakah kamu
(mau) masuk Islam.’ Jika mereka masuk Islam,
sesunguhnya mereka mendapat telah mendapat petunjuk,
dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah
menyampaikan…”[35]
Dalam ayat tadi jelas disebutkan adanya seruan dan
ajakan kepada para pengikut Ahli Kitab agar mereka
mengikuti Islam supaya mereka mendapat petunjuk.
Lantas, apakah tidak bertentangan jika dihubungkan
dengan anggapan bahwa semua agama –pasca pengutusan
Rasulullah- memiliki saham dalam menghantarkan
pengikutnya untuk meraih keselamatan abadi? Jika semua
agama mampu menghantarkan kepada keselamatan abadi yang
sebagai dambaan dan tujuan akhir bagi setiap manusia,
lalu apa tujuan penurunan ayat di atas tadi? Bukankah
Allah swt disucikan dari segala bentuk keburukan, yang
salah satunya berupa pelaksanaan perbuatan sia-sia?
Sekali lagi, jika agama Yahudi dan Nasrani –pasca
pengutusan Muhammad- mampu menghantarkan kepada
keselamatan abadi dengan syarat iman dan amal saleh,
lantas mengapa Allah masih swt bersikeras agar mereka
mengimani Al Quran yang dibawa Muhammad yang berarti
menyuruh mereka masuk Islam Muhammadi? Apa hubungan
antara iman dan membunuh para nabi?[36] Bukankah ini
membuktikan bahwa keimanan kepada nabi-nabi yang diutus
oleh Allah swt memiliki peran yang sangat penting dalam
mengantarkan manusia menuju kepada keselamatan abadi?
Adanya perintah untuk mengikuti ajaran agama Muhammad
bagi segenap manusia, akan menjadikan agama Muhammad
(Islam) tampil sebagai ajaran (baca: agama) pengganti
bagi segenap ajaran terdahulu, termasuk ajaran agama
Yahudi, Nasrani dan Shabi’in: “Dia-lah yang mengutus
Rasulullah-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang
benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-
agama meskipun orang-orang musyrik benci”[37]. Dari
ayat ini dapat direnungkan, apa hubungan antara agama
yang dinyatakan sebagai pembawa petunjuk yang benar dan
kemenangannya atas agama yang lain? Apa maksud dari
dimenangkan atas segala agama? Mungkinkah agama yang
lain –yang dikalahkan agama yang benar—juga memiliki
muatan kebenaran pula? Mungkinkah dua agama yang
ajarannya saling bertentangan (paradoks) –baik dari
sisi teologi maupun hukum- maka keduanya dapat dihukumi
benar, padahal berdasarkan pengakuan dari Allah swt
Islam Muhammad adalah benar dan mampu menghantarkan
kepada keselamatan abadi? Mungkinkah agama-agama lain
yang akan dikalahkan dengan agama Muhammad juga mampu
membawa pengikutnya menuju keselamatan abadi?
Mungkinkah Allah swt akan menggunakan standar ganda
dalam menilai kebenaran dan dalam menyelamatkan
pengikut agama yang berbeda-beda padahal Allah swt
telah menyatakan bahwa semua agama para nabi bertumpu
pada satu pondasi utama yang bernama “ajaran tauhid”?
Secara logis, jawaban dari pertanyaan di atas adalah
“tidak mungkin”.
B. Sunah Rasulullah serta Ahlul Bayt-nya dan Pluralisme
Agama
Dalam surat an-Najm ayat 3-4[38] dijelaskan bahwa
apapun yang muncul–baik berupa kata-kata, perbuatan,
maupun persetujuan—dari pribadi Rasulullah saww
merupakan wahyu yang diturunkan Allah dan bukan
berdasarkan hawa nafsunya sendiri. Untuk itu, semua
yang terkeluar dari Rasulullah (sunnah) –yang memang
benar terkeluar dari beliau- dapat dipastikan mustahil
bertentangan dengan wahyu Allah (Al Quran). Dengan kata
lain, akhlak Rasulullah sepenuhnya adalah bersumber
dari Al Quran. Sebaliknya, pengejawantahan Al Quran
pada wujud lahiriah terdapat pada diri Rasulullah.
Begitu juga halnya dengan Ahlul Bayt Rasulullah. Hadis
“ats-Tsaqolain” –yang diriwayatkan dalam kitab-kitab
standar Sunni-Syiah—disebutkan bahwa antara Al Quran
dan Ahlul Bayt tidak akan pernah berpisah untuk
selamanya, merupakan salah satu bukti konkrit atas
pernyataan tadi.
Dalam penjelasan di atas sudah penulis sebutkan dalil-
dalil argumentasi bahwa Al Quran bukan saja tidak
mendukung bahkan telah menentang konsep pluralisme
agama. Selanjutnya, penulis akan menelaah tentang
persesuaian antara Al Quran yang diam (Al Quran as-
Shamith, yaitu Kitab Suci Al Quran) dan Al Quran yang
berbicara (Al Quran an-Nathiq, yaitu Rasulullah dan
Ahlul Baitnya) dalam kaitan penentangan terhadap
pluralisme agama.
a. Rasulullah saww bersabda,
“Aku adalah Rasul bagi
orang yang hidup sezaman denganku ataupun yang terlahir
setelahku.”[39]
Hadis ini jelas menjelaskan bahwa Rasulullah saww
adalah pembawa wahyu Allah yang harus diikuti dan
ditaati bagi orang yang hidup sezaman dengan beliau
ataupun yang lahir pasca beliau, secara mutlak, baik
orang tersebut beragama samawi (Yahudi, Nasrani atau
Shabi’in) atau beragama apapun termasuk atheis
sekalipun. Menaati Muhammad saww artinya harus beragama
Islam.
b. Rasulullah saww bersabda,
“Sesungguhnya Allah swt
menjadikan kitabku (Al Quran) ini sebagai pelurus atas
kitab-kitab mereka dan penghapus ajarannya
(nasikh).”[40]
Jika semua agama –khususnya agama-agama samawi—adalah
benar dan dapat menjamin pengikutnya untuk mendapat
keselamatan abadi, lantas mengapa kitab suci dan
perundang-undangan mereka, yang dijadikan standar
ketaatan dan amal kebajikan, harus direvisi? Bukankah
hadis ini penjelas terbaik tentang perevisian aturan
syariat (syir’ah) dan metode (minhaj)[41] para nabi
terdahulu yang selalu berubah sesuai dengan tuntutan
zaman pengutusan para nabi dan Rasul? Lantas bagaimana
jika mereka tidak mengikuti perevisian tersebut, apakah
mungkin mereka akan selamat?
c. Selepas pengangkatan Muhammad Saw
selepas pengangkatan Muhamad Saw sebagai Rasulullah
dan beliau melakukan dakwah secara terang-terangan
lantas beliau mengumpulkan segenap sanak familinya atas
perintah ayat “wa andzir ‘asyirataka al-aqrabiin” (dan
berilah peringatan terhadap keluarga terdekatmu).
Beliau mengatakan kepada mereka, “…Aku diutus oleh
Allah kepada kalian secara khusus dan buat segenap
manusia secara umum.”[42]
d. Imam Ali as bersabda,
“Allah swt setelah mengutus
nabi Adam hingga seterusnya dari para nabi telah
mengambil janji dari mereka semua bahwa, jika Ia telah
mengutus Muhammad saw sedang mereka hidup maka mereka
harus mengimani dan membantunya.”[43]
Berarti agama samawi apapun yang dibawa oleh nabi
manapun –setelah pengutusan Muhammad—harus “melebur” ke
dalam agama Muhammad. Dengan datangnya Muhammad saw,
agama-agama samawi yaitu Yahudi yang dibawa Musa (as),
Nasrani yang dibawa Isa (as) dan Shabi’in yang dibawa
Yahya (as) syir’ah dan minhaj-nya tidak tidak berfungsi
lagi, alias telah kadaluwarsa. Jadi ayat “likullin
ja’alnaa minkum syira’atan wa minhaaja”[44] [untuk
setiap umat di antara kalian (masing-masing) Kami
berikan aturan dan jalan yang terang] tidak mungkin
dijadikan dalil oleh kelompok agama lain untuk menolak
agama Muhammad.
Dalam beberapa riwayat Ahlul Bayt Nabi disebukan
tentang ‘celaan’ mereka terhadap ajaran dan para
pengikut agama lain. Ini semua sebagai bukti bahwa para
manusia suci dan mulia pun tidak meyakini kebenaran
pluralisme agama. Jika tidak demikian, lantas mengapa
mereka melakukan hal tersebut? Bukankah manusia suci
nan mulia tidak mungkin melakukan ‘pelecehan’ terhadap
‘agama’ lain yang juga mampu membawa umatnya menuju
kebahagiaan abadi?
e. Peristiwa Mubahalah
Dalam berbagai hadis disebutkan tentang sebab-sebab
turunnya ayat mubahalah (QS 3:61). Peristiwa
“mubahalah” adalah kisah “perang doa” (baca: saling
laknat) antara kaum muslimin dan kaum Nasrani yang
akhirnya dibatalkan oleh pihak tokoh Nasrani sendiri
setelah mereka melihat wajah-wajah mulia dari kelompok
Islam yang diwakili oleh Nabi dan Ahlul Bayt-nya. Jika
keduanya (Islam dan Nasrani) benar dan masing-masing
mampu menghantarkan kepada kebahagiaan sejati dan
abadi, lantas buat apa mereka ber-mubahalah?
f. Surat-Surat Rasulullah Kepada Para Penguasa Non-
Muslim
Salah satu sunnah yang dilakukan oleh Rasulullah saww
adalah pengiriman surat kepada para penguasa dan raja
yang menganut agama lain guna mengajak dan menyeru
mereka kepada Islam. Jika semua agama mampu
menghantarkan kepada keselamatan sejati dan abadi, maka
apa yang dilakukan oleh Rasulullah adalah sia-sia dan
tidak berarti. Jika pluralisme adalah benar dan
dilegalkan oleh Allah swt melalui Rasulullah saww yang
agung, maka untuk apa Rasulullah bersusah-payah menyeru
para penguasa Yahudi dan Nasrani untuk masuk Islam.
Bukankah mereka juga akan bisa selamat dengan agamanya
selama memiliki iman dan amal saleh sebagaimana yang
diyakini oleh para pendukung pluralisme agama?
Pada kesempatan ini, penulis akan mengutip beberapa
surat Rasulullah yang dilayangkan kepada para penguasa
dan raja tersebut. Sedikit kutipan ini saja akan mampu
menjawab akan persoalan pluralisme agama menurut
pandangan Rasulullah. Surat-surat itu dikumpulkan dalam
kitab yang berjudul “Makaatib ar-Rasul” (surat-surat
Rasulullah) oleh Ayatullah Ahmadi Miyanaji.
(1) Dalam surat Rasulullah yang ditujukan untuk Zaid
bin Jahur, penguasa Nasrani, beliau menyatakan,
“Hendaknya agama yang dianut setiap manusia
ditinggalkan kecuali Islam. Maka ketahuilah itu!”[45]
Surat di atas dengan jelas menunjukkan bahwa Rasulullah
Islam saww menolak tegas konsep pluralisme agama.
Rasulullah memerintahkan kepada penganut keyakinan lain
–lebih umum dari sebuah keyakinan beragama- untuk
menanggalkan semua keyakinannya untuk menuju agama
Islam Muhammadi.
(2) Surat Rasulullah kepada Najasyi, raja Nasrani dari
Habasyah (Etiopia) berbunyi, “Aku menyerumu untuk
menuju Allah Yang tiada sekutu bagi-Nya dan menjaga
akan ketaatan kepada-Nya dan hendaknya engkau
mengikutiku dan mengimaniku. Demi Dzat Yang telah
mendatangkanku ketahuilah bahwa aku adalah utusan
Allah.”[46]
Dalam surat ini Rasulullah saww kembali menekankan
untuk mengimani Allah swt dengan cara menaati segala
perintah-Nya, termasuk taat kepada segala yang
diturunkan-Nya kepada beliau. Dalam surat ini, terlihat
konsep bahwa ketaatan kepada Nabi Muhammad adalah
manifestasi dari ketaatan kepada Allah swt. Tentu hal
ini merupakan bukti bahwa utusan Allah mempunyai
otoritas untuk diikuti, khususnya Nabi Muhammad sebagai
pembawa syariat terakhir dan diutus untuk “segenap
manusia”.
(3) Dalam surat Rasulullah yang ditujukan kepada
Markus, penguasa Nasrani suku Qibthi (Mesir) dan
Heraclius, Raja Romawi, dinyatakan, “Aku menyeru kalian
(untuk masuk) ke dalam agama Islam. Jika kalian tidak
menerimanya, maka dosa yang dilakukan oleh segenap
penduduk Qibth dan Romawi akan kalian tanggung.”[47]
Mengapa dalam surat itu dinyatakan bahwa jika orang-
orang Nasrani itu tidak mau menerima Islam yang dibawa
oleh Muhammad saww mereka akan berdosa? Bukankah ini
membuktikan bahwa ajaran Nasrani yang dibawa oleh nabi
Isa (as) telah menyimpang sehingga mereka yang tetap
meyakininya (baca: beriman) berarti telah menyimpang
dan berbuat dosa? Mungkinkah pendosa akan dapat sampai
kepada kebahagiaan abadi dan sejati (sorga) padahal ia
sudah diingatkan oleh manusia sempurna seperti Muhammad
saww sehingga tiada alasan lagi baginya untuk tidak
mengenal Islam?
(4) Dalam surat yang dilayangkan kepada penguasa
Nasrani wilayah Yamamah, Rasulullah menyatakan,
“Ketahuilah bahwa agamaku (Islam) cepat atau lambat
akan nampak (memenuhi dunia).”[48]
Surat ini merupakan bukti dan penjelas dari ayat yang
menjelaskan bahwa Allah swt akan memenangkan agama yang
lurus atas setiap agama di muka bumi.[49] Dengan kata
lain, janji Allah swt untuk memenangkan ajaran Islam
Muhammadi atas segala agama –termasuk agama-agama
samawi yang telah menyimpang—cepat atau lambat akan
diwujudkan oleh Allah swt.
Kesimpulan dan Penutup
Wacana pluralisme agama bukanlah wacana baru. Namun
demikian, para pendukung wacana tersebut selalu
berusaha untuk membungkusnya dengan berbagai kemasan
sehingga terkesan baru. Dalam banyak tulisan telah
dibahas berbagai kritikan terhadap wacana pluralisme
ini dengan menggunakan argumen-argumen rasional
sehingga terbukti bahwa wacana ini tidak didukung oleh
argumen yang rasional. Bisa disimpulkan, hanya argumen
emosional saja yang bisa memberikan dukungan kepada
pluralisme, padahal argumen emosional tidak bisa
dijadikan sandaran ilmiah bagi sebuah wacana.
Untuk itu, para pendukung wacana pluralisme berusaha
mencari argumen teks yang dapat dijadikan dukungan
keilmiahan atas wacana mereka. Mereka berusaha
menafsirkan teks-teks yang bersifat ambigu (memiliki
beberapa penafsiran) untuk disesuaikan dengan wacana
yang ingin mereka pertahankan. Mereka lupa bahwa ada
beberapa teks lain yang secara jelas dan tegas menolak
pluralisme. Sebagaimana telah penulis jelaskan di atas,
banyak ayat Al Quran –yang merupakan dalil primer kaum
muslimin—yang menolak konsep dan wacana tersebut,
begitu juga hadis dan riwayat sejarah Rasulullah. Dalam
karya ringkas ini kembali dibuktikan bahwa pluralisme
agama dengan kemasan baru yang dilekatkan oleh para
pendukungnya (yang beragama Islam) bahkan ditentang
oleh teks-teks yang terdapat di sekitar mereka sendiri.
Kesimpulan dari tulisan di atas adalah sebagai berikut:
1. Pengutusan Muhammad saww sebagai nabi untuk semesta
alam telah ditentukan oleh Allah swt, serta sebelum
kedatangannya pun telah dijelaskan oleh para nabi-nabi
terdahulu.
2. Muhammad saww membawa ajaran Ilahi yang membenarkan
ajaran para nabi terdahulu.
3. Allah swt memerintahkan segenap umat manusia dari
agama manapun untuk menanggalkan ajarannya yang lalu
dan mengikuti ajaran yang dibawa Nabi Muhammad saww.
4. Penekanan Allah swt terhadap manusia agar mengikuti
ajaran Muhammad saww tidak lain karena penerimaan
ajaran Muhammad adalah kunci untuk mendapat keselamatan
abadi dan sejati.
5. Sikap penolakan terhadap seruan untuk mengikuti
ajaran Muhammad setelah datangnya bukti dan argumen
yang jelas, dapat dikategorikan sebagai kekafiran yang
nyata.
6. Kekafiran terhadap ajaran Muhammad tidak akan
memberikan keselamatan apapun di akherat kelak.
7. Kemungkinan untuk mendapat keselamatan abadi bagi
non muslim adalah bagi orang-orang yang memang benar-
benar masuk dalam kategori pribadi yang tertindas
(mustadh’afiin) di muka bumi.
Kami akhiri tulisan tentang pluralisme keselamatan
agama ini dengan mengutip firman-firman Allah swt sbb:
“Jika mereka mendustakan kamu, maka sesungguhnya
Rasul-Rasul sebelum kamu pun telah didustakan (pula),
mereka membawa mukjizat-mukjizat yang nyata, Zabur dan
kitab yang memberi penjelasan yang sempurna.”[50] “Dan
barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasulullah-Nya
dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah
memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di
dalamnya, dan baginya siksa yang menghinakan.”[51] “…
barangsiapa menentang Allah dan Rasulullah-Nya, maka
sesungguhnya neraka jahannam baginya, dia kekal di
dalamnya. Itu adalah kehinaan besar.”[52]
Catatan
Namun dalam tulisan ringkas ini ada satu hal yang perlu
dicatat dan ditegaskan. Tentu tidak bisa disamakan
antara orang yang mengingkari (kafir) Islam atas dasar
kesadaran dengan orang yang mengingkari Islam atas
dasar ketidaktahuan (belum mendapat argumen sempurna).
Orang yang mengingkari Islam padahal ia telah memiliki
kesadaran penuh dan telah mendapat argumen sempurna
(mu’anid), dapat dipastikan mustahil untuk mendapat
keselamatan abadi. Sementara, “orang yang tidak
mengetahui” sudah pasti akan tetap mendapatkan kasih
sayang Allah swt. Argumen yang membuktikan hal ini
adalah ayat Al Quran yang berbunyi, “Sesungguhnya
orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan
menganiaya diri sendiri (kepada mereka) malaikat
bertanya, ‘Dalam keadaan bagaimana kamu ini?’ Mereka
menjawab, ‘Kami adalah orang-orang yang tertindas di
(suatu) negeri.’ Para malaikat berkata, ‘Bukankah bumi
Allah itu luas, sehingga kalian dapat berhijrah ke
(belahan) bumi tersebut?’ Orang-orang itu tempatnya
neraka Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat
kembali. Kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki
atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya
upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk berhijrah).
Mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan Allah
Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.”[53]
Ampunan Allah terhadap orang-orang non muslim yang
benar-benar tidak berdaya dan tidak tahu –sebagaimana
yang disinggung di atas- juga sesuai dengan kaidah akal
“qubhul iqob bilaa bayan” (jeleknya perbuatan menyiksa
tanpa didahului penjelasan). Karena hal itu merupakan
kejelekan, maka harus dijauhkan dari Dzat Yang Maha
Baik dan Adil. Ayatullah Syahid Murtadha Muthahhari
dalam karyanya yang berjudul “Keadilan Ilahi” telah
memberikan berbagai argumentasi yang logis tentang
kemungkinan orang kafir yang tidak mengetahui (belum
mendapat argumen sempurna) untuk mendapat ampunan dari
Allah swt sehingga mereka pun akhirnya diberi anugerah
untuk mendapat keselamatan abadi di akherat kelak.
Pembahasan mengenai hal ini lebih lanjut bisa
dipelajari dalam teologi (kalam) Syiah pada bab
“keadilan Ilahi”, sebagai cabang dari pembahasan
rasionalitas baik-buruk. Tanpa ada keyakinan tentang
rasionalitas baik-buruk niscaya akan sulit mencerna dan
menganalisa dengan baik keyakinan mengenai hal ini.[]
________________________________________
Catatan Kaki:
[1] Dalam riwayat ini, Rasul menggunakan kata “lan”
dalam kalimatnya yang berbunyi “lan yahduukum”. Sedang
dalam tatanan bahasa Arab, kata “lan” menunjukkan arti
“untuk selama-lamanya” (ta’bid), tanpa batas waktu.
[2] Fathul Bari fi Syarh Shahih al-Bukhari jil:13
hal:525. Hadis semacam ini juga dapat dilihat dalam
beberapa kitab Ahlusunah yang lain seperti: Shahih
Bukhari, jil: 3 hal: 281-282, Musnad Ahmad bin Hanbal
jil: 3 hal: 387 hadis ke-14859, Kanzul Ummal karya
Muttaqi al-Hindi al-Hanafi jil: 1 hal: 370 hadis ke-
1625, ad-Durul Mantsur karya as-Suyuthi jil: 6 hal: 470
dalam menafsirkan ayat 51 dari surat al-Ankabut. Tentu
dari beberapa kitab yang ada terdapat perbedaan
redaksi, namun menunjukkan makna yang sama. As-Suyuthi
menukilkan hadis Rasul seperti ini; “Sesungguhnya aku
hanya diutus sebagai pembuka dan penutup. Aku telah
dianugerahi “segenap kalimat” (jawami’ al-kalim) dan
segala pembukanya. Dan telah diringkaskannya untuk-ku
sebuah ajaran (hadits) secara singkat (baca ringkas).
Maka, jangan sampai kaum yang kebingungan
(mutahawwiquun) akan menghancurkan kalian”. Hadis
semacam ini pun dapat dijumpai dalam beberapa kitab
Syiah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah (Jakfari). Ayatullah
Syahid Murtadha Muthahhari dalam memberikan komentar
hadis ini menyatakan: “Hadis ini dengan jelas
memplokamirkan dan meneriakkan bahwa Rasulullah telah
bersabda bahwa dengan datangnya al-Quran sebagai
syariat terakhir maka Taurat dan Injil telah terhapus
(mansukh)” (Lihat kitab karya beliau: Khadamaat-e
mutaqobel Islam wa Iran).
[3] Ilmu Ushul Fikih adalah ilmu logika dalam mencari
dasar hukum syariat (berijtihad).
[4] Larangan adalah lawan dari perintahah. Dalam ilmu
ushul fikih, sebagaimana asal pelarangan adalah
menghasilkan hukum pengharaman, maka perintah pun
menghasilkan hukum wajib. Walaupun sebagian obyek hukum
yang dikarenakan beberapa hal maka pelarangan akan
menghasilkan hukum makruh dan perintah menghasilkan
hukum sunah (mustahab).
[5] QS Aali Imran: 93
[6] QS al-Maidah: 15
[7] QS al-A’raf: 159
[8] QS as-Saba’: 28
[9] QS al-Furqon: 1
[10] QS at-Takwir: 27. Atau lihat QS Yusuf: 104
[11] QS as-Shaf: 6
[12] QS Aali Imran: 81-82
[13] Thaba’thaba’i, Allamah Muhammad Husein, al-Mizan
fi Tafsir al-Quran, jil:3 hal:384
[14] QS al-Maidah: 19
[15] QS al-Maidah: 15
[16] QS al-Baqarah: 40-41
[17] QS Aali Imran: 70-71
[18] QS an-Nisa’: 168
[19] QS al-Baqarah: 177
[20] QS al-Maidah: 73
[21] QS al-Maidah: 17
[22] QS an-Nisa’: 171
[23] QS al-Maidah: 18
[24] QS at-Taubah: 30
[25] QS al-Maidah: 64
[26] QS al-Maidah: 51
[27] QS al-Baqarah: 119-120
[28] QS Aali Imran: 85
[29] QS al-An’am: 125
[30] Muthahhari, Ayatullah Syahid Murtadha, ‘Adl-e
Ilahi, intisyarat-e Shadra, Iran, cet ke-14, hal; 251
[31] QS al-Baqarah: 89-91
[32] QS al-A’raf: 156-158
[33] QS al-Baqarah: 135
[34] QS al-Baqarah: 140
[35] QS Aali Imran: 19-20
[36] Sebagaimana yang dapat disinyalir dalam ayat: “Dan
apabila dikatakan kepada mereka: “Berimanlah kepada
Al-Quran yang diturunkan Allah”, mereka berkata: “Kami
hanya beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami”.
Dan mereka kafir kepada al-Quran yang diturunkan
sesudahnya, sedang al-Quran itu adalah (kitab) yang
hak; yang membenarkan apa yang ada pada mereka.
Katakanlah: “Mengapa kamu dahulu membunuh nabi-nabi
Allah jika benar kamu orang-orang yang beriman” (QS
al-Baqarah: 91). Dan lihat ayat-ayat lain yang
menyatakan bahwa kaum Yahudi telah melakukan pembunuhan
terhadap beberapa nabi misal; QS al-Baqarah: 61 , Aali
Imran: 21 / 112 / 181, an-Nisa’: 155.
[37] QS as-Shaf: 9
[38] “Dan tiada yang diucapkan itu menurut kemauan hawa
nafsunya. Ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu yang
diwahyukan (kepadanya)” (QS an-Najm: 3-4)
[39] at-Thabaqoot al-Kubra jil:1 hal:191
[40] Biharul Anwar jil:4 hal: 104
[41] Lihat QS al-maidah: 48
[42] al-Kamil fi at-Tarikh karya Ibnu Katsir jil: 2
hal: 61
[43] Tafsir al-Kabir karya Fakhrur Razi jil: 2 hal: 507
[44] QS al-Maidah: 48
[45] Makatiib ar-Rasul jil: 1 hal: 165
[46] Ibid, jil:1 hal:121
[47] Ibid, jil:1 hal:97 & 105
[48] Ibid, jil:1 hal:136
[49] Lihat kembali ayat-ayat dalam; QS at-Taubah: 33,
as-Shaf: 9 dan atau al-Fath: 28 yang berbunyi: “Dialah
yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk
(al-Quran) dan agama yang benar untuk dimenagkan-Nya
atas semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi”.
[50] QS Aali Imran: 184
[51] QS an-Nisa’: 14
[52] QS at-Taubah: 63
[53] QS an-Nisa’: 97-99