Kasus penyergapan kelompok teroris yang mengawali tahun 2014 di Indonesia memberikan indikasi lain. Dari kelompok teroris tersebut diperoleh buku yang saat ini cukup menghebohkan, buku “Mengenal dan Mewaspadai Kesesatan Syiah di Indonesia” yang disusun dan diterbitkan oleh oknum MUI Pusat. Bagaimana kelompok teroris tersebut mendapatkan buku dalam jumlah banyak? Ada hubungan apa dengan penerbit? Kami mengutipkan penelusuran tim ABI berikut [lppimakassar.net]
KEMATIAN dan penangkapan tersangka teroris oleh Densus 88 kembali memecah keheningan jagat berita kita. Enam tersangka teroris Dayat dan kawan-kawan, ditembak mati di Ciputat. Satu lainnya ditangkap hidup-hidup di Bogor. Meski disebut-sebut sangat terlatih dan berpengalaman, sudah lazim diketahui saat digrebek Densus, hampir selalu ditemukan buku panduan jihad dan catatan sasaran teror berikutnya milik tersangka teroris yang tercecer.
Namun kali ini jejak tercecer tersangka teroris bertambah satu benda saat penangkapan Sadullah Rojak pada Rabu 1 Januari 2014, sekitar pukul 19.30 di Perumahan Alamanda, Desa Pasirlaja Kabupaten Bogor.
Saat penangkapan di Bogor, ada buku panduan lain yakni buku panduan MUI Pusat berjudul “Mengenal dan Mewaspadai Kesesatan Syiah di Indonesia” di rumah tertangkap. Tak tanggung-tanggung jumlahnya ada 310 eksemplar terbungkus rapi dalam dua kardus.
Keberadaan buku panduan MUI di tangan tersangka teroris tentu mencemaskan seiring dengan meningkatnya mobilisasi kebencian dan hasutan kekerasan terhadap Muslim Syiah di Indonesia.
Nurakman, Ketua RW 08 wilayah Pasirlaja tempat Sadullah Rojak ditangkap mengatakan bahwa buku itu berjumlah 310 dan sempat dibawa ke Polres Bogor dan turut diperiksa beserta pemiliknya. Menurut Nurakman akibat kejadian itu warga perumahan Alamanda sepakat akan lebih meningkatkan kewaspadaan di lingkungan mereka agar hal yang sama tidak terulang kembali.
Nurakman sendiri sebenarnya tidak begitu percaya bila salah seorang warganya adalah tersangka teroris. Meskipun selama ini sudah sering ada laporan dari warga sekitar soal tempat tinggal tersangka dan gerak-gerik mereka yang mencurigakan.
“Saya sebenarnya tidak percaya kalau warga saya ada yang menjadi teroris. Tapi setelah mencocokkan data-data yang dibawa oleh Densus 88 dengan yang ada di rumah tersangka, barulah saya percaya dan tidak bisa berbuat apa-apa,” tutur Nurakman.
Terkait buku “Mengenal dan Mewaspadai Kesesatan Syiah di Indonesia” yang dimiliki para teroris, Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Rikwanto mengatakan bahwa semua bukti yang diambil dari TKP (Tempat Kejadian Perkara ), baik TKP penangkapan maupun tempat mereka tinggal, semuanya akan diteliti satu-persatu. Termasuk buku terbitan MUI yang ditemukan. Belum jelas betul apakah buku itu akan menjadi rangsangan teror dan Muslim Syiah menjadi sasaran berikutnya.
“Semua itu akan kita teliti satu-persatu, kenapa ada di sana, apakah itu jadi bahan pedoman mereka atau gimana. Itu akan kita pelajari dan dalami lebih lanjut,” papar Rikwanto saat diwawancarai oleh wartawan media Ahlulbait Indonesia di kantornya. Rikwanto mengatakan akan terus menyelidiki barang-barang temuan termasuk dari mana pasokan buku-buku MUI berasal.
“Apalagi di antara buku tersebut kita temukan buku Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia, yang itu juga akan kita pelajari. Apakah Syiah juga calon sasaran terorisme? Kami belum dapatkan kesimpulan tersebut,” ujar Kombes Rikwanto. Sementara itu, penerbit buku “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia” yaitu Gema Insani Press yang berada di Depok, hingga saat penulisan ini belum dapat dikonfirmasi.
Beberapa kali wartawan media Ahlulbait Indonesia mendatangi kantor penerbitan buku-buku agama ini untuk meminta keterangan atas masalah buku MUI, namun hingga tulisan ini dibuat, pihak Gema Insani Press beralasan belum dapat memberi waktu menerima wartawan media Ahlulbait Indonesia.
KH Amidhan: MUI Pusat Tidak Menerbitkan Buku Panduan Tentang Muslim Syiah di Indonesia
Sementara pihak MUI Pusat saat kami temui secara tegas menolak tindakan terorisme yang dibuktikan dengan keluarnya fatwa MUI Pusat sejak tahun 2004 bahwa terorisme adalah kejahatan luar biasa yang menyangkut kemanusiaan dan peradaban. “Itu kan sudah kita fatwakan bahwa terorisme itu haram hukumnya dan bom bunuh diri itu juga haram,” ucap Ketua MUI Pusat KH Amidhan, saat diwawancarai di kantor MUI Pusat.
Amidhan juga menjelaskan bahwa negara Indonesia itu bukan maqam-nya untuk jihad. Karena Indonesia itu adalah negara suluh, negara damai dan bukanlah negara perang atau pun negara harbi (kondisi perang).
“Maka dari itu fatwa-fatwa MUI tidak boleh menyebut, orang ini kafir, lalu halal darahnya. Itu tidak ada di sini. Karena di sini negara damai,” jelas Amidhan mempertegas bahwa negara Indonesia bukanlah negara barbar.
Lebih lanjut Amidhan menjelaskan bahwa Islam Itu hanya punya dua arti, yaitu pertama berarti tunduk dan patuh, kemudian yang kedua adalah berserah diri kepada Allah SWT.
Ada pun terkait buku-buku yang dimiliki para teroris saat mereka tertangkap, Amidhan menegaskan bahwa pemerintah harus tegas dan berani melarang peredaran buku-buku tersebut. Terutama buku-buku yang dianggap provokatif dan menimbulkan maraknya terorisme. Amidhan juga meminta Polri untuk menyita buku apa pun yang terbukti berada di tangan teroris dan sekaligus menjadi buku pegangan mereka.
“Polri mestinya nggak usah banyak bicara! Disikat aja buku seperti itu dan dibekukan,” tegas Amidhan.
Ketika media Ahlulbait Indonesia memberitahu bahwa salah satu buku yang dimiliki oleh tersangka teroris di Bogor adalah buku “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia,” Amidhan agak sedikit terkejut dan mengatakan bahwa buku tersebut tidak ada hubungannya dengan terorisme.
“Ini kan kita tidak tahu. Ini kan tidak ada hubungannya dengan teroris kan, buku ini,” tegas Amidhan. Amidhan mengatakan tidak apa-apa bahkan walaupun seandainya ditemukan buku sebanyak setengah juta, itu pun tidak ada masalah menurutnya karena tidak ada kaitannya dengan terorisme. Saat ditanya tentang kebenaran apakah buku “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia” MUI yang menerbitkan, Amidhan menyebutkan bahwa MUI Pusat tidak menerbitkan buku tersebut, sebab MUI tidak memiliki banyak uang untuk menerbitkan buku itu.
Wartawan media Ahlulbait Indonesia mencoba menggali informasi dari Amidhan mengapa buku “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia“ tidak ada stempel MUI seperti buku-buku pedoman milik MUI lainnya. Namun Amidhan tidak mau membahas lebih jauh, dan berulang kali menolak untuk membicarakan buku tersebut.
Noor Huda Ismail: "Ada Yang Seolah Membawa Konflik Suriah ke Indonesia"
Sementara Noor Huda Ismail, pengamat terorisme sekaligus penulis buku “Temanku Teroris” ketika diwawancarai oleh media Ahlulbait Indonesia menjelaskan bahwa terorisme yang ada di Indonesia saat ini memiliki pola yang berbeda-beda.
Menurutnya ada tiga level teror yang terjadi di Indonesia. Level individu. Motif dalam teror ini cukup banyak, salah satunya adalah ideologi sebanyak 10 persen. Kemudian level kelompok. Motif level didasari oleh motif balas dendam, yang biasa disebut oleh para teroris dengan sebutan Jihad Fai. Yang ketiga level konteks. Motif level ini menarik sengketa di negara lain sebagai pembenaran untuk melakukan aksi teror di negeri tersebut.
Noor Huda Ismail menjelaskan cara kerja teroris yakni realita membentuk ide atau ide membentuk realita. Kedua hal tersebut bisa dipakai sekaligus, seperti yang pernah ikut konflik di Ambon ataupun Poso, realita lah yang membentuk ide mereka menyerang.
Tapi kemudian ada juga yang melihat film, mendengar ceramah atau membaca atau terpengaruh buku yang kemudian tergerak untuk melakukan aksi teror. Nah, ini yang disebut ide membentuk realita. Buku MUI yang ditemukan di Bogor mengkhawatirkan bagi Noor Huda Ismail. Menurutnya seolah ada yang menarik konflik di Suriah dengan isu bahwa Bashar al-Assad adalah Syiah dan Jabhar al-Nusra adalah Sunni masuk menjadi ke konflik sektarian Sunni-Syiah di Indonesia.
Menurut Noor Huda, saat ini ada pergeseran serangan kelompok teroris dari yang awalnya menyasar aparat keamanan, kini bergeser ke isu sektarian dan menyerang kelompok lain, salah satunya adalah Syiah. Masyarakat menurutnya perlu diedukasi bahwa muslim Syiah yang ada di Indonesia itu tidak ada kaitannya dengan muslim Syiah atau perang yang ada di luar sana.Hal ini terlihat jelas pada beberapa narasi di situs yang ada di internet. Betapa senjumlah kelompok teroris menunjukan kebenciannya yang begitu menggumpal terhadap Syiah. Sehingga hal semacam ini sudah seharusnya menjadi perhatian pemerintah.
“Pertempuran Sunni-Syiah itu nggak mutu,” sebut Noor Huda. Dia menghimbau pemerintah agar fokus pada penegakan hukum dan jika kelompok-kelompok tersebut sudah mengadvokasi kekerasan, menurutnya, pemerintah harusnya berani untuk menangkapnya. “Bila mereka menganjurkan pembunuhan, misalnya “Bunuhlah Syiah.” Nah, itu memang seharusnya ya sudah ditangkap, karena memang dia kan udah melakukan pelanggaran bila seperti itu,” tegas Noor Huda.
Sementara itu pengamat teroris yang lain, Najib Azca yang juga penulis buku “After Jihad” menjelaskan fenomena terorisme yang ada di Indonesia saat ini sejalan dengan semakin tersedianya referensi yang cukup luas. Baik itu dalam bentuk buku-buku atau pun dalam bentuk website di internet. Hal ini memudahkan setiap orang untuk mengakses sumber-sumber informasi yang memicu tindakan terorisme.
Najib Azca menjelaskan bahwa pada saat ini pola rekrutmen teroris di Indonesia sudah mengalami pergeseran yang sangat nyata. Para teroris tidak lagi melakukan training dan pencucian otak dengan cara tatap-muka di tempat-tempat tersebunyi seperti yang dulu sering dilakukan. Saat ini, generasi teroris baru menggunakan sumber terbuka seperti buku-buku dan internet yang mampu merangsang untuk melakukan aksi teror.
Generasi teroris yang baru menjadikan instrumen teknologi untuk memberi materi radikalisasi bagi rekrutmen teroris untuk mempengaruhi orang, agar melakukan tindakan radikal dan hal ini terbagi dalam dua level. Level pertama adalah materi yang mampu merubah cara berfikir pembaca dan menerima sebuah ide atau gagasan tertentu, sebagai sebuah pembenaran untuk melakukan aksi teror. Materi ini mengubah seseorang yang belum mendukung aksi terorisme, berubah menjadi mendukung terorisme.
Pada level kedua bagaimana melakukan aksi teror tersebut. Dalam level kedua inilah ada panduan bersifat teknis. Materi-materi generasi teroris yang sekarang sudah mengarah pada level yang kedua. Contohnya “How to Do Terror” atau “How to Make Bomb from your Mom’s Kitchen” yang diterbitkan oleh Al-Qaida pada tahun 2010.
Menurut Najib Azca buku panduan “Mengenal dan Mewaspadai penyimpangan Syiah di Indonesia” tergolong bagian dari level pertama, yaitu bagaimana mengubah pandangan seseorang bercorak radikal ataupun intoleran terhadap pandangan-pandangan lain yang berbeda dalam beragama, yang dianggap menyimpang.
Buku “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia” akan menjadi propaganda bagi penganut paham keagamaan yang bersifat radikal dan intoleran, sehingga akan memberi pembenaran bagi sebuah kelompok untuk melakukan tindakan tertentu terhadap kelompok lain yang dianggap menyempal dari pandangan keagamaan yang mereka miliki.
“Ini adalah bagian dari proses untuk mengkampanyekan pandangan-pandangan intoleran melalui berbagai cara yang salah satunya adalah melalui internet dan juga melalui penerbitan buku-buku seperti itu,” sebut Najib. Najib Azca mengharapkan agar MUI lebih berhati-hati dalam menyampaikan pernyataannya kepada publik dan agar lebih peka melihat situasi dan kondisi di tengah masyarakat.
“MUI harus lebih arif lagi dalam mengeluarkan pernyataan-pernyataannya kepada publik, sehingga pernyataan-pernyataan MUI tidak dapat digunakan oleh kelompok radikal tertentu sebagai landasan untuk melakukan tindakan teror terhadap kelompok lain,” ucap Najib Azca. (Lutfi/Yudhi)