Oleh: Ayatullah Ja'far Subhani
Diriwayatkan dalam kitab Shahih dan Musnad, juga oleh penulis yang tulisannya berkaitan dengan masalah Al Milal wan Nihal, dari Nabi Mulia saw bersabda:"sesungguhnya umatku (kelak) akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan (firqah)." Hadis ini amat popular di kalangan para teolog, penyair dan pujangga (udaba'). Akan tetapi, kini mesti dilakukan penyelidikan hadis tersebut lebih lanjut secara teliti dan cermat:
1. Hadis tersebut, yang dinukil dengan sanad yang sahih, apakah dapat dijadikan hujah ataukah tidak?
2. Nas manakah yang disabdakan Nabi saw, sementara nas-nas hadis tersebut berlainan redaksinya.
3. dari sekian banyak firqah, yang manakah yang dimaksud sebagai firqah yang selamat? Sedangkan Nabi saw telah memberitakan hanya satu firqah saja yang selamat, sebagaimana yang akan dijelaskan nanti.
4. kemudian firqah-firqah apa saja yang jumlahnya tujuh puluh dua itu, sebagaimana telah diberitakan oleh Nabi saw tentang kemunculannya setelah beliau wafat? Dan apakah firqah-firqah atau kelompok Islam yang ada hingga kini sudah mencapai jumlah tersebut. Untuk lebih jelasnya, mari kita membahas keempat persoalan diatas:
a. Sanad Hadis
Hadis tersebut, yang dirawikan dalam kitab Shahih dan Musnad, telah disebutkan dengan pelbagai sanad yang berlainan. Dalam buku berjudul Takhrij Ahadits al Kasysyaf, Hafizh 'Abdullah ibn Yusuf ibn Muhammad Al Zaelaqi Al Mishri (wafat tahun 762 H.) telah berupaya menghimpun dan menulis berbagai sanad serta matan hadits tersebut. Lalu dia mengamati dan menganalisis hadis tersebut, baik dari segi sanad maupun matannya, yang hal ini belum pernah dilakukan oleh ulama sebelumnya.
Meskipun masalah pengumpulan (kodifikasi) sanad-sanad hadis berada diluar cakupan pembahasan ini, namun untuk itu amat perlu kami uraikan secara umum.
Sebagian ulama tidak meyakini kesahihan hadits tersebut, seperti Ibn Hazm. Dalam bukunya yang berjudul Al Fashl fil Ahwa' wal Milal, Ibn Hazm mengatakan:"mereka yang telah mengutip hadis Rasulullah saw seperti: "bahwasanya kaum Qadariyah dan Murji'ah termasuk kelompok umat Majusi.'Dalam hadis yang lain:"Umat ini akan berpecah menjadi tujuh puluhan firqah, kesemuanya masuk neraka kecuali satu firqah yang masuk surga.'Selanjutnya - kata Ibn Hazm - kedua hadis tersebut, jika ditinjau dari segi isnadnya tidak sahih sama sekali. Maka hadis semacam itu tidak dapat dijadikan hujah bagi yang menyatakan bahwa hadis itu disampaikan secara "khabar wahid"(yaitu suatu berita atau hadis yang sampai kepada kita, nilainya tidak mencapai pada batas mutawatir. Khabar wahid tidak dapat dijadikan hujah, hanya sampai pada tingkat Zhan (sangkaan) saja. Di sini timbul selisih pendapat antara ulama dalam menentukan hujah bagi Khabar Wahid. Yang mengemukakan dalil syar'I, sehingga Zhan (sangkaan) tersebut dinyatakan sebagai Khabar Wahid yang dapat dijadikan hujah. Disamping ada yang tidak menerima dalil syar'I sebagai hujah bagi Zhan (sangkaan) tersebut, sehingga menafikan kehujahan Khabar Wahid. (Syaikh Al Baha'I, Al Wajizah, hal 4-6, wafat 1030 H)), apalagi yang tidak meyakini seperti itu."( Al Fashl fil Ahwa' wal Milal, juz 1, hal 248). Sebagian lain meyakini kesahihan hadis diatas, dengan alasan karena panjangnya sanad. Dalam buku berjudul Al Farqu Bainal Firaq, karya Muhaqqiq Muhyiddin menuliskan:"Ketahuilah, bahwa ulama telah berbeda pendapat dalam menentukan kesahihan hadis tersebut. Sebagian berpendapat bahwa hadis itu sama sekali tidak sahih, karena ditinjau dari segi silsilah periwayatannya, dan dari sanad-sanad yang meriwayatkan hadis tersebut dianggap lemah (dha'if). Dan hadis seperti ini tidak boleh dijadikan hujah. Sebagian berpendapat sahih dengan melihat sejumlah silsilah periwayatan hadis yang cukup memadai serta banyaknya sahabat yang telah meriwayatkan hadis itu dari Rasulullah saw."(Al Farqu Bainal Firaq, komentar, hal 7-8).
Al Hakim An Naisyaburi juga merawikan hadis itu dengan sanad sahih yang diabsahkan oleh Syaikhain (Abu Bakar dan Umar). Hadis ini mengatakan:"Telah memberitakan kepada kami Ahmad ibn Muhammad ibn Salamah Al 'Anzi. Telah menceritakan kepada kami Utsman ibn Sa'id Al Darimi, Amru ibn 'Aun dan Wahab ibn Baqiyyah Al Washithiyyin. Telah menceritakan kepada kami Khalid ibn Abdullah, dari Muhammad ibn 'Amr, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah bahwa Rasul saw bersabda:"Umat Yahudi (akan) berpecah menjadi tujuh puluh satu, atau tujuh puluh dua firqah. Dan umat Nasrani berpecah menjadi tujuh puluh satu, atau tujuh puluh dua firqah. Sedangkan Umat-ku (akan) berpecah menjadi tujuh puluh tiga firqah." Hadis ini sahih sesuai dengan kriteria Muslim, namun keduanya (Bukhari dan Muslim) tidak meriwayatkannya." (Al Mustadrak 'Ala al Shahihain, juz 1, hal 128. juga diriwayatkan dengan sanad lain, yang serangkaian sanadnya dijumpai Muhammad ibn 'Amr yang tidak boleh berhujah dengannya seorang. Dan dalam sanad yang lain dijumpai nama yang dilemahkan. Namun al Hakim menjadikan keduanya sebagai saksi sah dalam sanadnya).
Adz Dzahabi menafikan (kesahihan) hadits itu. Karena pada sederetan sanadnya dijumpai nama Muhammad ibn 'Amru yang tidak boleh dijadikan hujah, tapi hendaknya dirangkaikan dengan perawi selainnya (yang benar-benar dipercaya, sehingga terangkat karenanya). (At Tabshir fid Din, mukaddimah, hal 9).
Jadi, jika keadaan sanad yang diupayakan oleh al Hakim dikategorikan sebagai sanad sahih, lalu bagaimana keadaan seluruh deretan sanad yang lain. Padahal ia telah merawikannya dengan serangkaian sanad yang berlainan. Ia mengatakan:"Hadis ini telah dirawikan dari Abdullah ibn 'Amr ibn Al 'Ash, dan dari Amr ibn Auf Al Muzani dengan dua sanad yang terpisah, salah satunya Abdurrahman ibn Ziyad Al Afriqi dan yang lainnya adalah Katsir ibn Abdullah Al Muzani, yang tidak boleh berhujah dengan keduanya.( Al Mustadrak 'Ala al Shahihain, juz 1, hal 128. kitab Al 'Ilm). Demikianlah keadaan hadits yang telah dikutip oleh Al Hakim dalam Mustadrak-nya.
Adapun mengenai hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Turmuzi dalam Sunan-nya serta Ibnu Majah dalam Shahih-nya, Asy Syaikh Muhammad Zahid Al Kautsari, dalam bukunya, menulis:"adapun hadis yang dirawikan dalam Shahih Ibn Majah, Sunan Al Baihaqi dan selainnya, pada sebagian sanadnya dijumpai nama Abdurrahman ibn Ziyad ibn An'am. Pada sebagian yang lain ditemukan nama-nama seperti Katsir ibn Abdullah, Ibad ibn Yusuf, Rasyid ibn Sa'ad dan Al Walid ibn Muslim. Pada sebagian yang lain ditemui nama orang-orang yang tidak dikenal (majahil), sebagaimana dijelaskan dalam buku-buku kumpulan hadits. Dalam kitab Takhrij Ahadits Al Kasysyaf, Al Hafizh Az Zaelaqi menguraikan ihwal jalannya sanad hadis tersebut secara detail."(At Tabshir fid Din, mukaddimah, hal 9).
Demikianlah apa yang dikatakan oleh sebagian (orang) mengenai keadaan sanad hadis. Dan yang membuat lemahnya sanad adalah karena banyaknya pengutipan dan periwayatannya, yang sederetan sanadnya berlainan. Sementara ulama Syi'ah, Syeikh Shaduqi, dalam kitab Khishal-nya (beliau adalah Muhammad bin Ali Al Husain bin Bawaih al Qummi, dikenal dengan panggilan Syeikh Shaduqi (wafat 381 H). karya tulisnya yang lain adalah "Man Laa Yahdhuruhul faqih", termasuk salah satu kumpulan kitab-kitab empat. Karya tulisnya mencapai kurang lebih 300 buku). Menyebutkan bahwa hadis dibawah judul Bab tujuh puluh keatas. (Al Khishal, juz 2, hal 584, bab as Sab'in wa ma fawq, hadis 10 dan 11). Begitu pula al 'Allamah Majlisi dalam Bihar-nya (beliau adalah syaikh Muhammad Baqir bin Muhammad Taqi bin Maqshud Ali Al Majlisi (1037-1110 H), salah seorang ulama besar Syi'ah Imamiyah Itsna 'Asyariyah. Karya tulisnya yang lain, Biharul Anwar 110 jilid, meliputi sejarah Islam, hadis, sirah, dan selainnya. Dan karya beliau yang mencapai 50 lebih itu, baik ditulis dengan bahasa arab maupun Persia.). boleh jadi, upaya pengutipan sejumlah itu membenarkan kita untuk berargumentasi dengan hadis.
b. Ikhtilaf Dalam Nas-nas Hadis
Pada pembahasan sebelum ini telah kami singgung pertentangan beberapa nas hadis. Sebab, paling tidak, keganjilan itu adalah akibat akibat kemusykilan sanadnya. Ikhtilaf persoalan ini membawa kerumitan ke pelbagai segi yang beraneka ragam, yang tidak mungkin dapat berpegang pada salah satunya. Berikut ini indikasi perselisihan-perselisihan tersebut.
1.Ikhtilaf Dalam Bilangan Firqah
Al Hakim meriwayatkan bahwa sejumlah firqah Yahudi dan Nasrani adalah tujuh puluh satu dan tujuh puluh dua. Sementara Abdul Qahir al Baghdadi meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Abu Hurairah:"Umat Yahudi berpecah menjadi 71 firqah, sedangkan umat Nasrani berpecah menjadi 72 firqah."
Dan dalam waktu yang sama Al Baghdadi merawikan dengan sanad yang lain, "bahwa bani Israil berpecah menjadi 72 millah." Kemudian, lanjut Al Baghdadi:"sungguh akan datang suatu (malapetaka yang menimpa) atas umatku sebagaimana keadaan itu menimpa atas umat bani Israil. Yakni bani Israil akan berpecah menjadi 72 millah (sekte), sedangkan umatku (kelak) akan berpecah menjadi 73 millah." Sementara ada riwayat, dengan sanad yang berbeda pula yang mengatakan bahwa bani Israil berpecah menjadi 71 firqah. (Al Farqu Bainal Firaq, hal 5). Jika melihat kedua kutipan yang terakhir, maka yang dimaksudkan bani Israil adalah lebih umum dari sekadar umat Yahudi dan Nasrani. Dengan demikian, jumlah bilangan firqah 72 adalah benar. Memang, pada kutipan terakhir dapat ditafsirkan sebagai khusus bagi umat Yahudi dan Bani Israil.
2.Ikhtilaf Dalam Bilangan Firqah Najiyah (selamat) dan Halikah (binasa)
Banyak riwayat yang menerangkan bahwa firqah yang selamat adalah satu, sedangkan selainnya binasa. Al Baghdadi merawikan hadis yang sanadnya sampai pada Rasul saw:"…kesemuanya masuk neraka, kecuali satu golongan saja."(Al Farqu Bainal Firaq, hal 76). Hadits seperti ini juga diriwayatkan oleh Turmuzi dan Ibnu Majah. (At Turmudzi, juz 25, kitab al Iman, hal 26, hadits 2641; Ibnu Majah, juz 2, hal 479, bab Iftiraqul ummah).
Sementara itu, dalam kitab berjudul Ahsan Al Taqasim fi Ma'rifat Al Aqalim, Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar al Bisyari (wafat tahun 380 H) meriwayatkannya dengan bentuk hadis yang kontradiktif. Ia menyebutkan, bahwa hadis 72 di surga dan satu firqah di neraka adalah merupakan sanad-sanad yang sahih. Dan hadis 72 di neraka dan satu firqah Najiyah adalah hadis paling popular.(Edisi Leiden, 1324 H/1906 M).
3.Ikhtilaf Dalam Penentuan Firqah Najiyah
Berbagai penukilan hadis firqah "Najiyah" berpijak pada ucapan yang megatakan bahwa semua firqah di Neraka, kecuali satu firqah (Najiyah). Diriwayatkan pula oleh Al Hakim (Al Mustadrak 'Alash Shahihain, juz 1, hal 128), Abdul Qahir al Baghdadi (Al Farqu Bainal Firaq, hal 7), Abu Dawud (Sunan Abu Dawud, juz 4, hal 198, kitab As Sunnah) dan Ibnu Majah (Sunan Ibnu Majah, juz 2, hal 479, bab Iftiraqul Umam) bahwa Rasulullah saw bersabda:"kecuali hanya satu, yaitu "Al Jama'ah." Atau, "Al Islam wa Jama'atuhum." At Turmudzi (Sunan At Turmudzi, juz 5, hal 26, kitab Al Iman, hadis 2641) dan Syahrastani (al Milal wa Al Nihal, hal 13) meriwayatkan bahwa Nabi saw memberitakan firqah "Najiyah": "ajaran-ajaran yang ada padaku dan para sahabatku)." Al Hakim meriwayatkan juga bahwa Rasulullah saw telah memberitakan batasan tentang banyaknya firqah yang binasa, katanya:"Umatku akan berpecah menjadi tujuh puluhan firqah, yang paling besar adalah satu firqah yaitu, kaum yang melihat segala persoalan dengan ra'yunya, mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram." Kemudian - lanjut al Hakim, hadis ini sahih, sesuai dengan kriteria "Syaikhain" (Bukhari dan Muslim). Namun keduanya tidak meriwayatkannya.(Al Mustadrak 'Alash Shahihain, juz 4, hal 430).
Kemudian, penulis buku Rawdhah al Jannah merawikan dari kitab Al Jam' Bainat Tafsir, bahwa Nabi saw telah mendefinisikan firqah 'Najiyah' dengan ucapannya: "Mereka adalah aku dan Syi'ahku."(Rawdhatul Jannah, hal 548, edisi lama).
Hal-hal diatas menggambarkan dengan jelas berlarutnya perselisihan dalam menentukan batasan-batasan dan cirri-ciri firqah 'Najiyah'. Untuk mengetahui persoalan itu secara benar dan jelas, sebaiknya anda menyimak uraian berikut ini.
c. Siapakah Firqah Najiyah Itu?
Kini saatnya kita menginjak pada persoalan ketiga, yang meminta perhatian pembaca yang budiman dengan seksama, sehingga pembaca dapat mengikuti pembahasan tentang firqah 'Najiyah'.
Asy-Syaikh Muhammad Abduh menulis:"Masalah firqah Najiyah yang dikatakan dalam hadis yaitu, "yang ada dalam ajaran Nabi dan Sahabatnya), yang hingga kini pengertian hadis ini masih kabur dan tidak jelas. Karena setiap kelompok yang taat dan patuh kepada risalah Nabi, sudah barang tentu, akan menonjolkan dirinya sebagai apa yang dimaksudkan oleh hadis itu. Selanjutnya - kata Syaikh Abduh:"Namun, yang membuat hati saya lega, karena adanya hadis yang menyebutkan firqah yang binasa (halak) adalah hanya satu firqah."(Al Manar, juz 8, hal 221-222).
Berdasarkan hal diatas, maka ada dua cirri penting firqah Najiyah:
Ciri pertama, adanya kata 'Al Jama'ah' yang terkadang dilambangkan sebagai firqah 'Najiyah', dan pada pengertian lain dilambangkan sebagai firqah 'Halak' (binasa). Dengan demikian, tidak boleh bersandar pada hal tersebut, karena:
Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Auf bin Malik bahwa Rasul saw bersabda:"Kaum Yahudi berpecah…demi Zat yang diriku ada ditangan-Nya. Sungguh, umatku akan berpecah menjadi 73 firqah, satu firqah di Surga dan 72 di Neraka." Siapakah mereka itu ya Rasulullah? Tanya sahabat." 'Al Jama'ah', jawab beliau.(Sunan Ibnu Majah, juz 2, hal 479, bab Iftiraqul Umam). Sementara pada riwayat lain Nabi saw berkata:"Millah ini (yakni umat Islam - penerj.) akan berpecah menjadi 73. 72 di Neraka sedang satu 'Millah' di Surga, yaitu 'Al Jama'ah' "(Sunan Abu Dawud, juz 4, hal 198, kitab As Sunnah; Al Mustadrak 'Alash Shahihain, juz 1, hal 128). Dan setelah mengamati kedua hadis ini. Maka, pada hadis pertama, tampak adanya 'kata ganti plural', dan 'kata ganti singular' pada hadis kedua. Jadi, hal itu menguatkan kembalinya kata ganti tersebut pada hadis pertama, yakni ditujukan kepada 72, sedangkan kembalinya kata ganti singular ditujukan kepada 'Lafaz Wahidah' (lafaz tunggal). Atas dasar itulah, lafaz 'Al Jama'ah' adakalanya dilambangkan sebagai kebinasaan (halak), dan ada kalanya pula dilambangkan sebagai keselamatan (najat). Padahal sebagian besar nas hadis tidak menyebut-nyebut lafal itu. Dan tidak benar jika dikatakan bahwa si perawi tidak mengutipnya, atau melupakannya. Karena, upaya menyebutkan ciri-ciri firqah Najiyah atau firqah selain itu (yakni halak) merupakan perkara esensial dalam pembahasan ini.
Ada juga hadis yang menyebut kata 'Al Islam', yang dikaitkan dengan kata 'Al Jama'ah', padahal kata 'Al Islam' tidak perlu diberi tambahan kata 'Al Jama'ah'. Sebab, telah jelas dan gambling bahwa Islam adalah Haqq (benar). Namun, yang amat penting adalah mengenali mana Muslim dan mana non-Muslim.
Ciri yang kedua, riwayat hadis dengan pengertian, "ma ana 'alaihil yaum wa ash habi" atau ma ana 'alaihi wa ash habi". Dalam pada itu lambing 'Najat' (keselamatan) jelas sekali. Pertama, pada sebagian nas riwayat dijumpai adanya tambahan semacam itu. Dan tidak benar jika dikatakan bahwa si perawi tidak menukilnya karena berasumsi hal itu tidak penting. Kedua, satu-satu tolok ukur kebinasaan dan keselamatan adalah pribadi Nabi saw. Adapun mengenai para sahabatnya, tidak boleh menjadikan mereka tolok ukur pemberi hidayah (petunjuk) dan keselamatan. Jadi, jika mereka ternyata membangkan atau menyalahi beliau saw sedikit atau pun banyak, maka tidak mungkin menjadikan mereka sebagai suri tauladan pembawa keselamatan. Atas dasar itu, maka sangat mengherankan jika lafal 'wa ash habi' dirangkaikan dengan lafal Nabi saw. Yang ketiga, sahabat beliau seluruhnya, atau mayoritas sahabat. Jadi untuk pengertian yang pertama, diasumsikan tidak ada perselisihan sahabat dalam kecenderungan dan sikap politik dan keagamaan mereka setelah wafat Rasul saw. Padahal yang terjadi sebaliknya. Terjadi perselisihan di saqifah (bani Sa'adah) dan peristiwa-peristiwa setelahnya. Dan pengertian kedua, ada hal yang tidak diperhatikan oleh Ahlusunnah, bahwa mayoritas sahabat telah menyalahi perlakuan khalifah ketiga (Utsman bin Affan), yang menjadi korban pembunuhan yang dilakukan oleh orang-orang Mesir dan Kufah yang disaksikan oleh sebagian sahabat.
Dan tentunya menyalahi kenyataan jika 'Ash Habi' ditafsirkan sebagai mayoritas. Menurut dugaan, tambahan itu adalah dari si perawi hadis demi menguatkan kedudukan sahabat dan menjadikan mereka tumpuan satu-satunya yang berperan sebagai penyuluh hidayah setelah beliau saw wafat. Dan saya kira bahwa Rasul al Hidayah ialah yang dapat memberikan definisi firqah 'Najiyah' dengan ciri-ciri yang jelas dan gambling. Karena setiap firqah (kelompok) akan menganggap dirinya termasuk: 'Ma 'alaihim Nabiy' atau juga: 'Ma 'alaihi ash Habuhu'.
Setiap orang (lelaki) menganggap dirinya
Pernah berhubungan (cinta) dengan si Laila
Namun demikian, si Laila
Menolak klaim mereka
Akhirnya, kami kutipkan sebuah hadis dari Al Hakim bahwa Nabi saw bersabda:"Firqah yang terbesar adalah kaum yang menyelesaikan perkara dengan ra'yunya." Tambahan itu disisipkan ke dalam hadis oleh sebagian Muslim Ahlusunnah untuk mengecam 'Ash Habul Qiyas'. Padahal qiyas, menurut pengertian Pakar ilmu Ushul adalah permasalahan yang belum dikenal oleh para sahabat. Bahkan pada periode timbulnya hadis 'Iftiraq', sabda Nabi saw yang memberi batasan tentang firqah binasa tidak dikenal.
Hadis-hadis Tentang Masa Depan Sahabat
Amat banyak hadis Nabi saw yang menerangkan kondisi masa dengan para sahabat, sehingga membuat kami berpaling tidak berpegang pada ajaran dan ideology mereka, dan tidak menerima ke-shahihan pada penghujung sebagian dari riwayat yang lalu, seperti kalimat: 'Ma ana 'alaihi wa ash habi'. Karena Nabi saw telah memberitakan ihwal mereka setelah sepeninggal beliau, seperti mengada-adakan perkara yang mungkar serta bid'ah yang diharamkan, sehingga mereka pun banyak berpaling menjadi murtad. Akibat perlakuan demikian itu, mereka dijauhkan dari 'Al Haudh' (sebuah telaga Nabi saw dan Ahlubait-nya di hari Akhirat nanti) dan mereka pun saling menjauh darinya. Hadis-hadis seperti ini diriwayatkan oleh Syaikhain (Bukhari dan Muslim) dan selainnya. Ibnu Atsir juga menghimpunnya dalam kitab 'Jami'ul Ushul' pada bab IV ketika membahas 'Al Haudh', Ash Shirath dan Al Mizan. Berikut ini sebagian kutipan hadis itu:
1. Asy Syaikhain meriwayatkan dari Ibnu Mas'ud bahwa Rasulullah saw bersabda:"Aku akan menjadi pendahulumu (meninggalkan dunia ini) di telaga Al Haudh. Sungguh benar-benar akan dihadirkan kepadaku orang-orang diantara kalian, hingga ketika kuulurkan (tanganku) untuk menggapai mereka, mereka malah menjauh ketakutan dariku. Aku pun berkata: Ya Rabb, (apakah mereka itu) sahabatku? Allah Swt menjawab: sesungguhnya engkau tidak mengetahui perlakuan yang mereka perbuat sepeninggalmu."
2. Diriwayatkan oleh Syaikhain bahwa Rasul saw bersabda:"akan datang mengunjungiku pada hari kiamat kelak kelompok sahabatku, atau (menurut riwayat lain, dari umatku). Tapi mereka dijauhkan dari Al Haudh. Lalu kutanyakan: Ya Rabb, (apakah mereka itu) sahabatku? Dia berkata: sesungguhnya engkau tidak mengetahui perlakuan yang mereka perbuat sepeninggal engkau. Pada dasarnya mereka berpaling ke belakang (murtad dari agama - penerj.)"
Dan masih banyak lagi hadis Nabi saw tentang masalah itu, sehingga kita tidak boleh tergesa-gesa mengambil kesimpulan bahwa seluruh sahabat baik dan adil, semata hanya karena ber-shuhbah (bersahabat) dengan beliau saw. Dan cukup kiranya mengetahui secara umum melalui fakta kefasikan, kemurtadan serta bid'ah mereka. Dan pengetahuan umum mengenai keadaan mereka ini membuat kami tak dapat membenarkan setiap sahabat itu adil, bahwa mayoritas sahabat jika bersepakat atas sesuatu persoalan dijadikan sebagai dalil atau bukti kebenaran dan keabsahannya.
Namun hal itu tidak berarti bahwa seluruh sahabat berperangai dan berperilaku sedemikian itu. Banyak diantara sahabat Nabi saw yang Tsiqah (terpercaya) keadilannya serta takwa. Adapun kredibilitas (keadilan) sahabat, akan diuraikan nanti dalam bab analisis akidah Ahlul Hadis.
Firqah-firqah Najiyah Di Bawah Sorotan Nas-nas Lain
Seandainya Syaikh Al Azhar (yakni Muhammad Abduh) merujuk kepada nas-nas Nabi saw yang lain, niscaya dia akan memperoleh gambaran adanya firqah Najiyah sejelas-jelasnya. Karena nas-nas Nabi saw satu dengan yang lain saling mengikat, sebagiannya menerangkan sebagian yang lain. Dan berikut ini beberapa kutipan hadis Nabi saw yang memiliki kaitan erat dan menjelaskan hadis yang lalu.
1. Hadis Ats Tsaqalain
Rasulullah saw bersabda:"Hai manusia, aku tinggalkan sesuatu yang akan menghindarkan kamu dari kesesatan, selagi kamu berpegang teguh padanya: Kitab Allah Swt (Al Qur'an) dan 'Itrahku, Ahlulbait-ku."(diriwayatkan oleh Turmudzi dan Nasai dalam kedua Shahih-nya; lihat Kanzul 'Ummal, juz 1, hal 44, bab Al I'tisham bil Kitab was Sunnah).
Imam (Ahmad) Hambali meriwayatkan dari Nabi saw bahwa Nabi saw bersabda:"Kutinggalkan kepadamu dua penggantiku: Kitabullah, tali penghubung yang membentang antara langit dan bumi, dan Itrah-ku, Ahlubait-ku. Keduanya tak akan berpisah sehingga berjumpa denganku di telaga Al Haudh." (Musnad al Imam Ahmad Hambali, juz 5, hal 182-189).
Al Hakim, dalam Mustadrak-nya, juga meriwayatkan dari Nabi saw yang berkata:"aku merasa segera akan dipanggil (oleh Allah) dan aku akan menunaikan panggilan itu. Kutinggalkan padamu Ats Tsaqalain, yaitu Kitabullah, serta Itrah-ku (kerabatku). Kitabullah, tali penghubung antara langit dan bumi. Dan Itrah-ku, Ahlulbait-ku. Dan sesungguhnya Allah Yang Maha Mengetahui telah berfirman kepada-ku bahwa keduanya tak akan berpisah, sehingga berjumpa kembali dengan-ku di Al Haudh. Oleh karena itu, jagalah baik-baik, kedua peninggalanku itu."(Mustadrak Al Hakim, juz 3, hal 148. dikatakan bahwa sanadnya adalah sahih, sesuai dengan kriteria Bukhari dan Muslim, namun keduanya tidak meriwayatkannya).
Meskipun nas-nas di atas satu sama lain berbeda redaksi dari rawinya, namun hal itu tidak berpengaruh sama sekali. Karena Nabi saw telah berulang kali menyampaikan pesan-pesannya itu dibeberapa tempat yang berlainan. Diantaranya disebutkan bahwa hadis itu diucapkan Rasulullah saw di Arafah pada waktu melakukan ibadah haji perpisahan (wada'). Kemudian beliau mengucapkan lagi ketika sakit menjelang wafat, dihadapan para sahabat yang memenuhi ruangan kamar beliau. Lalu pernah juga beliau mengucapkannya di Ghadir Khum. Adapula riwayat menyebutkan ucapan beliau itu disaat Nabi saw pulang dari Thaif ketika beliau berpidato di hadapan para sahabat. Nah, demikian itu Rasulullah saw sengaja mengulang-ulang pesannya itu di pelbagai tempat dan situasi yang tak lain untuk menunjukkan betapa besar perhatian beliau terhadap Al Kitab Al 'Aziz dan Itrah Thahirah.(lihat Al Muraja'at, dialog no. 8. dikutip pada tempat yang berlainan).
Mengamati hadis-hadis tersebut, yang telah mencapai tingkat mutawatir yang tidak akan ada tandingannya, kecuali hadis Al Ghadir yang menuntun manusia kepada hukum, dan bagi yang tidak berpegang pada kedua-duanya akan tersesat. Jadi, mereka yang berpegang pada keduanya adalah firqah Najiyah. Sementara yang menyeleweng dan menyimpang dari keduanya, atau mendahului keduanya, maka mereka itu dianggap sebagai firqah yang binasa (halak). Ath Thabari telah menukil ucapan Rasulullah saw pada penghujung hadis:"…maka janganlah kamu mendahului keduanya, nanti kamu binasa. Janganlah pula kamu ketinggalan dari mereka, nanti kamu celaka. Dan janganlah mengajari mereka, sebab mereka itu lebih mengerti dari kamu."(Ash Shawaiq Al Muhriqah, hal 135, bab wasiat Nabi saw kepada mereka).
2. Hadis As Safinah
Hadis ini, sebagaimana halnya hadis yang lalu, merupakan bukti tambahan untuk menghilangkan keraguan hadis iftiraq di atas. Al Hakim merawikan dengan sanad yang sampai kepada Abu Dzar Al Ghifari. Abu Dzar ra. seraya memegangi pintu Ka'bah berkata:"Barang siapa mengenal aku, maka akulah Abu Dzar Al Ghifari. Aku pernah mendengar bahwa Rasulullah saw bersabda:"sesungguhnya kedudukan Ahlulbait as diantara kamu, laksana bather Nuh as pada kaumnya, barang siapa yang ikut berlayar bersamanya, dia akan selamat. Dan siapa saja yang tidak ikut serta bersamanya, dia akan tenggelam." (Al Mustadrak 'Alash Shahihain, juz 3, hal 151).
Maksud serta pengertian disamakannya mereka (Ahlulbait as) dengan bahtera Nuh as ialah, siapa pun yang berlindung pada mereka dalam urusan agama dan Ushul serta Furu' (syari'at yang sesuai dengan petunjuk para Imam dari kalangan Ahlulbait as - penerj.), maka ia akan selamat dari azab api neraka. Sebaliknya, siapa pun yang tidak mau bersama mereka, akan sama halnya seperti mereka yang, pada saat mengamuknya taufan (air bah) di zaman Nabi Nuh as, berupaya mencari perlindungan di puncak gunung agar terhindar dari azab Allah Swt. Jadi, tak pelak lagi bahwa yang ini tenggelam di air, sedang yang itu di Neraka.(lihat Al Qur'an surah Hud ayat 25).
Berkata Ibnu Hajar:"menamsilkan mereka dengan bahtera Nuh as (safinah Nuh) berarti siapa pun mencintai dan menghormati mereka sebagai manifestasi rasa terima kasih serta syukur kepada Allah Swt yang telah melimpahkan karunianya dan mengikuti petunjuk para ulama dari kalangan mereka, maka akan selamat dari akibat penyimpangan mereka. Sebaliknya siapa pun yang menyimpang dari ajaran-ajaran mereka, niscaya ia akan tenggelam di lautan pengingkaran nikmat Allah Swt, dan dia pun akan binasa dalam arus gelombang kebatilan."(Ungkapan Ibnu Hajar tersebut dikomentari oleh Sayid Syarafuddin al Musawi dalam kitab Al Muraja'at dengan komentar yang indah sekali:"tanyakan padanya mengapa ia sendiri tidak mengakui petunjuk para Imam Ahlulbait as, baik dalam soal furu'uddin dan kaidah-kaidahnya, sampai pada," dan mengapa ia tidak ikut bersama mereka, agar selamat dari bahaya tenggelam di lautan pengingkaran nikmat Allah, dan terhindar dari kesesatan di lembah kebatilan?).
3. Hadis: Ahlulbait Pengaman Bagi Umatku
Diriwayatkan oleh Al Hakim dari Ibnu Abbas bahwa Rasul saw bersabda:
"Bintang-bintang (di langit) adalah petunjuk keselamatan bagi penghuni bumi dari bahaya tenggelam. Sedangkan Ahlulbait as adalah penyelamat umatku dari bahaya perselisihan (masalah dalam agama). Bila salah satu kabilah arab berselisih atau menyeleweng (dari hukum Allah Swt), niscaya mereka akan bercerai berai dan menjadi partai Iblis." Kemudian ia mengatakan, hadis ini sahih sanad-sanadnya, sesuai kriteria Bukhari dan Muslim, namun keduanya tidak meriwayatkannya.(Al Mustadrak 'Alash Shahihain, juz 3, hal 149).
Jadi, dapat diambil kesimpulan bahwa hadis-hadis tersebut diatas menerangkan hadis iftiraq, sekaligus memberikan definisi atas firqah Najiyah. Perlu pula kami kutipkan hadis iftiraq lain yang dinukil oleh ulama ahlusunnah, Imam Hafizh bin Muhammad Ash Shaghani (wafat tahun 650 H) dalam kitabnya berjudul Asy Syams Al Munirah. Ia menyebutkan hadis Nabi saw:"Umat saudaraku Isa as (akan) berpecah menjadi tujuh puluh dua firqah, dan umatku (akan) berpecah menjadi 73 firqah, kesemuanya celaka kecuali satu golongan. Ketika mendengar itu, muslimun (sahabat) tidak sanggup menahan kesedihan dan berteriak menangis. Lalu mereka menghadap kepada beliau saw dan berkata: Ya Rasulullah, bagaimana kami supaya dapat sampai ke jalan keselamatan itu sepeninggal engkau, dan bagaimana pula kami mengenali firqah Najiyah sehingga kami dapat berpegang kepadanya! Beliau berkata: kutinggalkan padamu, yang apabila kalian berpegang kepadanya, niscaya kalian tidak akan sesat selamanya setelah kepergianku: Kitabullah dan Itrahku Ahlulbaitku. Sesungguhnya Allah Swt yang Maha Mengetahui telah berfirman kepadaku bahwa keduanya tak akan berpisah, sehingga berjumpa kembali denganku di Al Haudh."(Asy Syamsul Munirah, naskahnya tersimpan di perpustakaan ar Radhawi - Masyhad, no. 1706.).
Saya yakin bahwa orang-orang arif lagi bijaksana, yang apabila mau kembali menelaah dengan seksama kepada nas-nas hadis yang berkenaan dengan Al Itrah yaitu hadis-hadis yang menganjurkan (dengan sangat) untuk senantiasa kembali (berpegang) pada mereka (yakni ajaran-ajaran Ahlulbait as - penerj.), maka paling tidak akan memahami maksud firqah Najiyah dalam hadis Iftiraq diatas. Dan ditopang pula oleh ayat Tathhir (Qs. 33:33) yang membuktikan kema'shuman mereka. Maka, apabila kaum muslim berpegang teguh pada pimpinan Ahlulbait as yang ma'shum (termasuk ajaran-ajarannya), niscaya terjaga dan terpelihara dari kekeliruan. Namun sebaliknya, jika mereka berpegang pada pimpinan yang salah dan keliru (tidak ma'shum), bahkan akan timbul penyimpangan yang berakibat pada kebinasaan. Beberapa bait syair dari Asy Syafi'I menerangkan pengenalannya terhadap firqah Najiyah. Syair itu dikutip oleh Asy Syafi'I al Hadhrami (Imam Abu Bakar bin Syihabuddin - penerj.) dalam bukunya berjudul Rasyfatus Shadi.( Rasyfatus Shadi, hal 25).
d. Timbulnya Firqah-firqah Dalam Islam
Kini saatnya kita memasuki pembahasan bagian keempat. Nabi saw memberitakan bahwa umat Islam akan berpecah mencapai jumlah yang besar. Tapi problemnya, firqah-firqah terbesar (hingga kini) tidak mencapai jumlah bilangan seperti yang disebutkan dalam hadis iftiraq. Tampaknya firqah-firqah terbesar tidak melebihi empat kelompok:
Pertama: Qadariyah (Mu'tazilah beserta pengikutnya)
Kedua: Shifatiyah (Ahlul Hadis dan Asya'irah)
Ketiga: Khawarij
Keempat: Syi'ah
Demikianlah keempat firqah (kelompok) yang ada. Kendati telah bercabang-cabang menjadi beberapa sempalan seperti kaum Murji'ah dan Karamiyah dengan segenap firqahnya. Meski demikian, jumlah tersebut belum mencapai bilangan seperti yang termaktub dalam hadis iftiraq. Tapi, Syahrastani tetap bersikeras membenarkan jumlah itu. Selanjutnya ia menyebutkan:"…kemudian setiap firqah bercabang menjadi beberapa golongan, dan setiap firqah berpecah lagi menjadi beberapa sempalan, demikian seterusnya hingga mencapai jumlah 73 firqah."(Al Milal wa An Nihal, juz 1, hal 15).
Mengamati pandangan diatas, maka yang dimaksud "min ummati" (dalam hadis Iftiraq) adalah firqah-firqah Islamiyah yang beriman kepada risalah Nabi saw dan Kitabullah. Dan jumlah firqah Islamiyah seperti itu merupakan awal pembahasan, karena yang dimaksudkan adalah perselisihan berkisar masalah akidah yang tidak keluar dari hal kebinasaan dan keselamatan.
Adapun ikhtilaf menyangkut pokok-pokok ajaran Islam dan pengetahuan Islam yang tidak berkaitan dengan persoalan hidayah (petunjuk) dan kesesatan, bahkan tidak dikategorikan sebagai inti Akidah Islamiyah. Karena hal itu tidak termasuk dalam kerangka pembahasan hadis tersebut. Maka, perselisihan pandangan antara Asy'ariyah dan Mu'tazilah adalah dalam masalah-masalah:"adanya perantara antara ada (wujud) dan tidak ada ('adam)", "hakikat jism (materi), alam (al kaun; air, api, tanah, udara), warna dan bagian yang tak dapat dipisahkan serta "Tafrah" (yaitu kelompok yang meyakini bahwa suatu benda (pelaku) apabila melewati diatas suatu tempat ke tempat lain, yang diantara keduanya - menurut hematnya - ada beberapa tempat (zaman) yang tidak dilaluinya, tidak pula melewati di hadapannya, dan tidak juga singgah padanya).
Jadi, hasil ijtihad yang berbeda-beda melahirkan beberapa firqah (golongan) dalam ilmu kalam (teologi), bukan berarti menyebabkan mereka terjerembab ke dalam neraka, kendati kebenaran (al Haqq) adalah satu. Dan tidak benar kepercayaan mereka tentang itu dikategorikan sebagai firqah-firqah yang dinas-kan oleh ucapan Nabi saw diatas.
Yang jelas firqah-firqah tercela dalam Islam adalah kelompok yang cenderung mengikuti hawa nafsu yang menyesatkan dan menyimpang dan menyalahi firqah Najiyah dalam beberapa pokok permasalahan yang termasuk inti ajaran agama seperti, tauhid dan bagian-bagiannya, keadilan, qadha dan qadar, Tajsim, Tanzih, jab, ikhtiar, hidayah, kesesatan, melihat Allah, Imamah, khilafah dan lain-lainnya.
Adapun ikhtilaf dalam persoalan yang tidak ada kaitannya dengan masalah agama dan akidah Islamiyah, maka bagi yang menyalahi dan yang sesuai dalam hal tersebut tidak termasuk dalam kategori hadis Iftiraq. Alhasil, banyak kelompok Islam yang berselisih dalam masalah aqliyah dan kauniyah yang tidak ada hubungannya dengan masalah agama (syari'at), atau masalah yang manusia tidak dipertanyakan tentang pada masa hidup dan sepeninggalnya dan tidak punya kewajiban meyakininya.
Upaya-upaya Untuk Mengoreksi Jumlah Bilangan
Ada beberapa usaha untuk men-tashhih pengertian hadis iftiraq diatas:
1. Bilangan (71, 72, 73) adalah ungkapan yang sifat mubalaghah (hiperbola) bilangan banyak, seperti firman Allah Swt dalam Al Qur'an surah at Taubah ayat 80 yang artinya:"Kamu memohon ampun bagi mereka atau tidak, (adalah sama saja). Kendatipun kamu memohonkan ampun bagi mereka 70 kali, namun Allah sekali-kali tidak akan memberi ampunan kepada mereka."
Berdasarkan pengertian diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa, upaya itu gagal dan tidak mengena, karena hal itu dapat dibenarkan jika riwayat hadis dinyatakan dengan bentuk bilangan 70 atau selain dari bilangan puluhan (10, 30, 40, 80, 90, - penerj.). sebab ungkapan seperti itu telah popular dan dikenal, tapi yang terkandung dalam riwayat hadis tidak demikian halnya.
Coba perhatikan hadis iftiraq di atas bahwa Nabi saw menyebutkan kaum Majusi dengan bilangan 70, kaum Yahudi 71, umat Nasrani 72, dan umat Islam dengan 73. dan sederetan bilangan sedemikian itu dapat dipahami dengan mudah, bahwa yang dimaksud adalah firqah-firqah yang sampai pada batasan tersebut secara hakiki (rill) bukannya "mubalaghi" (yakni ucapan bersifat berlebihan).
2. pada hakikatnya, prinsip yang diyakini firqah-firqah itu tidak mencapai bilangan termaktub, bahkan setengah atau seperempatnya pun tidak, demikian pula masalah cabangnya, sedangkan para ulama berselisih pendapat dalam hal pencabangannya, sementara manusia tengah kebingungan mempertimbangkan sikapnya ajaran firqah mana yang masuk dalam pertimbangannya. Apakah ia hendak mengikuti pokok-pokoknya atau cabang-cabangnya. Apabila mengambil cabangnya, lalu sejauh mana kadar pengambilannya. Meskipun begitu, hadis itu tidak hanya berlaku pada masa silam saja, karena hadis Turmudzi memberitakan berpecahnya umat Muhammad saw, sedangkan umatnya terus berlanjut hingga bumi ini dan segala isinya diminta kembali oleh Sang Pencipta, Allah Swt, sebaik-baik pewaris.
Mestinya untuk setiap periode ia memberitakan firqah-firqah yang muncul diseputar umat, dari permulaan terjadinya hingga saat si pembicara memberitakannya, kendati jumlah bilangan itu mencapai apa yang dimaksudkan dalam hadis itu, atau tidak mencapai jumlah bilangan itu. Jadi, kemungkinan, bahkan tidak diragukan, kalaupun hadis itu shahih, maka yang sekarang terjadi pada manusia sesuai dengan yang diberitakan oleh hadis Nabi saw.(Al Farqu Bainal Firaq, hal 7).
Meskipun demikian, masih ada usaha ketiga untuk membenarkan hadis itu dengan menempuh jalan lain. Upaya ini pun sama sekali tidak dapat dibenarkan, karena Imam Asy'ari yang menyatakan bahwa Syi'ah Ghulat terpecah menjadi 15 firqah, dan Syi'ah Imamiyah menjadi 24 firqah, seperti pendapat Asy Syahrastani yang menyebutkan dan menggolongkan Mu'tazilah sebanyak 12 firqahsedangkan kaum Khawarij terdiri dari beberapa firqah: Muhakkimah, Azariyah, Najdat, Baihasiyah, 'Ajaridah, Tsa'alibah, Ibadhiyah dan Shufariyah.
Namun, pada dasarnya seluruh sempalan Syi'ah, Mu'tazilah dan Khawarij cenderung berpijak dan bekeyakinan pada pokok-pokok yang khas yang sudah diketahui. Sempalan kaum Khawarij bersepakat pada pokok yang amat popular, yaitu menyalahkan tindakan dan perilaku Utsman bin Affan dan Imam Ali as dalam masalah Tahkim dan Takfir terhadap para pelaku dosa besar yang kekal dalam neraka. Jadi, tidak dapat dibenarkan pendapat yang mengatakan bahwa setiap sempalan dikategorikan sebagai firqah, kendati terdapat perselisihan dalam sempalan itu tentang masalah yang sifatnya parsial. Demikian juga, persoalan sempalan lainnya.
Abdurrahman Badhawi, salah seorang penulis kontemporer, menyatakan bahwa hadis iftiraq bukan termasuk hadis shahih, dengan mengungkap beberapa alas an berikut ini:
Pertama, disebutkannya bilangan (71-72-73) adalah diada-adakan (mufta'al) yang tidak dapat dibenarkan . apalagi hadis seperti itu keluar dari lisan Nabi saw.
Kedua, bukanlah kekuasaan Nabi saw untuk ber-tanabbu' (memberitahukan sesuatu yang akan terjadi) dengan menentukan jumlah bilangan firqah yang akan berpecah menjadi beberapa golongan muslim.
Ketiga, kami pun tidak menemukan teks hadis semacam itu, baik yang dinukil oleh penulis-penulis abad ke-2 atau pun abad ke-3 H. dan seandainya hadis itu sahih, niscaya sudah ada sejak masa terdahulu.
Keempat, setiap firqah berupaya menyisipkan - pada penghujung najis - dengan riwayat yang sesuai dengannya. Perawi ahlusunnah, misalnya, mengartikan firqah Najiyah sebagai kelompok ahlusunnah. Mu'tazilah berasumsi bahwa yang dimaksud firqah Najiyah adalah kelompok Mu'tazilah dan begitu seterusnya.
Berkata Badhawi:"Sungguh terdapat penyimpangan besar yang diperbuat oleh penganalisis sejarah firqah dalam menyebutkan (sekte-sekte tertentu ke dalam trend-trend principle hingga mencapai) jumlah 73 firqah. Mereka mengabaikan kenyataan bahwa berpecahnya kaum muslim tidak berakhir pada periode mereka saja, melainkan - sudah barang tentu - akan bermunculah firqah-firqah baru secara terus-menerus di masa mendatang.
Jadi, anggapan mereka ini jelas keliru, karena tidak memperhitungkan dengan cermat akan munculnya firqah-firqah baru dalam Islam untuk masa kemudian.(Madzahibul Islamiyah, juz 1, hal 34). Tak pelak lagi, alas an-alasan yang dikemukakan diatas tidaklah dapat dibenarkan, melainkan alas an keempatlah yang dapat dibenarkan.
Adapun alas an pertama, bukti yang dituangkan senada dengan pernyataan hadis itu sendiri, namun tidak menjelaskan alasan ketidaksahihan hadis itu. Dan mengenai alasan kedua, alasan yang segera terbayang setelah memahami ungkapannya, adalah bahwa Nabi saw tak berkuasa untuk ber-tanabbu' dengan peristiwa-peristiwa yang akan terjadi dimasa mendatang, tetapi alasan ini pun batil dan tidak dapat diterima, karena adanya kesaksian dari kitab-kitab kumpulan hadis Shahih dan Sunan yang kandungan isinya menjelaskan bagaimana Nabi saw ber-tanbbu' mengenai pelbagai peristiwa yang akan terjadi pada umatnya dengan izin Allah Swt.(Mafahimul Qur'an, juz 3, hal 503-508).
Mengamati ungkapan diatas tampaknya si penulis bermaksud lain, yaitu Nabi saw tidak sepatutnya mengetengahkan Tanabbu' seperti itu, karena tidak disukai dan membahayakan umatnya. Tapi, alasan itu juga tidak dapat diterima lantaran Tanabbu'-tanabbu' lainnya yang serupa itu sering dituangkan oleh Nabi saw. Nabi saw bertanabbu' dengan masa depan suram yang ditujukan bagi Dzul Khuwaishirah dari kelompok Khawarij. Ia berkata kepada Nabi saw:"berlaku adil." Nabi saw berkata:"celakalah kamu, siapa lagi yang akan berbuat adil, jika aku tidak. Sungguh, kamu orang yang merugi." - Umar bin Khaththab yang saat itu hadir, berkata:"Ya Rasulullah, perkenankanlah aku untuk memenggal lehernya."beliau berkata:"biarkan dia, karena ia mempunyai pengikut, seorang diantara kalian akan meremehkan amalan shalatnya dan puasanya. Bila membaca Al Qur'an, bacaan mereka tidak akan mampu melampaui kerongkongannya. Mereka menjauh dari Islam, seperti anak panah melesat dari busurnya. Sementara bila diteliti ujung panahnya, tak ada bekas yang tampak padanya."(At Taj, kitab Al Fitan, juz 5, hal 286).
Lantas, apa bedanya antara Tanabbu' itu serta yang serupa itu yang dituturkan dalam hadis-hadis Nabi saw, dan bertanabbu' dengan berpecahnya umat yang mencapai beberapa firqah itu. Mengenai alasannya yang ketiga, sangat aneh sekali. Sebabnya, beberapa hadis tentang itu telah diriwayatkan oleh Abu Dawud (202-275 H) dalam Sunan-nya, At Turmudzi (209-279 H) meriwayatkan dalam Shahih-nya, Ibnu Majah (218-276) dalam Sunan-nya, Ahmad bin Hambal (…241 H) dalam Musnad-nya. Kesemuanya itu adalah tokoh-tokoh ulama ahli hadis abad ke-3 hijriyah. Berikut ini sebagian hadis yang disandarkan kepada mereka:
1. Abu Dawud meriwayatkan, dalam kitab As Sunnah, dari Abu Hurairah bahwa Rasul saw bersabda:"Umat Yahudi telah berpecah menjadi 71 atau 72 firqah. Umat Nasrani berpecah menjadi 71 atau 72 firqah, sedangkan umatku akan berpecah menjadi 73 firqah." Kemudian diriwayatkan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan bahwa Rasul saw pernah berpidato di hadapan kami, katanya:"Ketahuilah, bahwa umat sebelum kalian dari kelompok Ahlul Kitab telah berpecah menjadi 72 millah, Millah ini (umat Islam - penerj.) akan berpecah menjadi 73 golongan, yang 72 masuk Neraka, sedangkan satu golongan masuk Surga, yaitu Al Jama'ah."(Sunan Abu Dawud, juz 4, kitab As Sunnah, hal 198).
2. At Turmudzi meriwayatkan dari Abu Hurairah bab yang mengupas hadis Iftiraq. Dan diriwayatkan dari Abdullah bin Umar bahwa Rasul saw bersabda:"sesungguhnya akan datang atas umatku, sebagaimana yang telah dialami bani Israil, persis seperti itu, sehingga jika terjadi diantara mereka mendatangi (kepada) ibunya (melakukan coitus - penerj.) secara terang-terangan, niscaya pada umatku akan berlaku demikian juga. Bani Israil telah berpecah menjadi 72 millah, sedangkan umatku akan berpecah menjadi 73 millah. Kesemuanya masuk Neraka kecuali satu golongan (millah)." Mereka bertanya:"siapa mereka itu, Ya Rasulullah?" Ma ana 'alaihi wa ash habi", jawab beliau saw. (Sunan At Turmudzi, juz 5, kitab Al Iman, hal 26, hadis 2641).
3. Ibnu Majah meriwayatkan pula, dalam bab berpecahnya umat, dari Abu Hurairah bahwa Rasul saw bersabda:"Umat Yahudi telah berpecah menjadi 71 firqah, sementara umatku akan berpecah menjadi 73 firqah." Diriwayatkan oleh Auf bin Malik bahwa Rasul saw bersabda:"Umat Yahudi telah berpecah menjadi 71 firqah, satu firqah masuk Surga, sedangkan yang 70 golongan masuk Neraka. Umat Nashrani telah berpecah menjadi 72 firqah, yang 71 golongan masuk Neraka, dan satu firqah masuk Surga. Dan demi jiwa Muhammad berada di tangannya. Sungguh, umatku akan berpecah menjadi 73 firqah, satu firqah masuk Surga, dan yang 72 golongan masuk Neraka." Lalu mereka bertanya:"siapakah mereka ya Rasulullah?" "Al Jama'ah" jawab beliau. Kurang lebih hadis serupa itu diriwayatkan oleh Anas bin Malik.(Sunan Ibnu Majah, juz 2, hal 479, bab Iftiraqul Umam).
4. Ahmad bin Hambal meriwayatkan dari Abu Hurairah. Redaksinya senada dengan yang telah kami kutip sebelum ini. (Musnad Ahmad, juz 2, hal 332). Sebagaimana juga dirawikan oleh Anas bin Malik. Redaksinya serupa dengan yang kami tuturkan sebelumnya.( Musnad Ahmad, juz 3, hal 120).