Para pendeta Kristen meyakini bahwa Yesus Kristus tidak meninggalkan satu pun kitab samawi; bahkan, para muridnyalah , beberapa lama setelah ia wafat, memutuskan untuk melakukan pekerjaan ini. Pada akhirnya mereka menulis risalah berkenaan dengan perbuatan dan ucapan Kristus.
Namun disayangkan semenjak awal tulisan-tulisan ini selama masa 100 tahun menjadi sasaran distorsi dan alterasi, pelalaian dan penambahan oleh kekaisaran Roma yang haus darah, yang tidak memiliki maksud selain menghancurkan asas ajaran Kristian dan menganjurkan takhayul dan pemujaan terhadap berhala.
Dalam masa yang cukup lama, kebijakan kekaisaran meninggalkan kesan yang mendalam pada asas dan dasar ajaran Kristen. Pemimpin-pemimpin agama dibunuh dan ditahan, kitab-kitab agama dibakar, para penyebar bid’ah memasuki seminari-seminari dan mulai menyebarkan ajaran palsu di gereja pada waktu itu. Masyarakat agama dilbubarkan, beranda-beranda dan majelis-majelis dihancurkan dan diratakan dengan tanah.
Melalui kegiatan mereka selama 300 tahun, kekaisaran secara resmi meruntuhkan tatanan ajaran Kristen, menimpakan kerusakan yang tak dapat diperbaiki setelahnya. Sebagai hasilnya, memandang kejadian-kejadian ini, tidak seorang pun yang dapat dengan sebenar-benarnya optimis terhadap Injil (Bible atau Gospel). Untuk menjelaskan perkara ini, kami akan mempersembahkan kasus-kasus sejarah dari para kaisar ini.
Trajanus
Setelah naik kekuasaan pada tahun 98 M, kebijakannya adalah menghilangkan ajaran Kristen dengan menggunakan program yang sistematis. Ia memalsukan dan membangun beberapa aturan bagi ajaran Kristen. Hokum-hukum dipaksakan untuk waktu beberapa lama. Para hakim secara umum yang mencoba memotivasi kaum Kristian untuk tetap bertahan dengan iman mereka, dibunuh semuanya.
Situasi semakin genting pada tahun 155 M, Policarpe, yang merupakan salah seorang yang pendiri dari kalangan gereja, dibakar di alun-alun kota Izmir.[1]
Marcus Aurelius
Ia memutuskan untuk memusnahkan ajaran Kristen dengan kekerasan dan kekejaman. Untuk melaksanakan tujuan kejinya ini, ia membunuh banyak Kristian di Afrika dan provinsi-provinsi yang berada dalam kekuasaan kekaisaran. Prahara, wabah, paceklik, invasi asing dan bencana lainnya, yang datang melanda masyarakat pada masa rezim kaisar ini, menghasut untuk menghabisi orang-orang Kristen. Setiap hari, sekelompok Kristian ditahan. Sebagai hasilnya, orang-orang terbaik gereja dari Lyon dan Vienna dan para pendiri gereja lainnya ditahan.
Metellus, putra Attalos, yang merupakan kampiun dalam masalah-masalah teologi dan dalam penegakan kembali aspek-aspek gereja, disiksa, diadili dan pada akhirnya mati dengan tragis.[2]
Decius
Menurut Miller, ulama Kristen, seluruh tindakan yang diambil oleh Decius untuk membinasakan gereja kaum Krisitan lebih mujarab ketimbang yang dilakukan oleh kaisar-kaisar Roma yang lain. Lantaran ia melancarkan kampanye kekejaman dan penyerangannya secara tak terduga, banyak kaum Kristian ditangkap tiba-tiba secara umum mengingkari iman mereka.[3]
Valerianus
Setelah sukses menggantikan Decius sebagai kaisar, ia mengancam membunuh seluruh uskup besar yang tidak sepakat dengannya. Ia menggantung para uskup besar Carthage, orang-orang Siprus. Selama dua tahun masa kekuasaannya, ia memerintahkan seluruh pendeta dibunuh, bangsawan Kristen untuk dibunuh jika mereka tetap mempertahankan keimanan mereka.[4]
Deuclocian
Tatkala ia naik takhta kekuasaan, penyembahan berhala hidup kembali. Para penulis pagan telah menghasut masyarakat umum untuk menentang -orang Kristen. Galerius yang hampir menggantikan kaisar, mendorong Deuclocian untuk mengeluarkan sebuah titah untuk mengeyahkan seluruh jejak gereja. Untuk memberlakukan perintah ini, seluruh beranda dihancurkan, kitab-kitab Kristian dibakar dan selurh kaum Kristian yang tidak mempersembahkan cindera mata pengorbanan kepada kaisar akan disiksa atau dibunuh.
Kendati penindasan ini tidak berlangsung lama di bagian barat kekaisaran, namun masa ini merupakan masa yang paling nestapa dan terlecehkan yang harus diderita gereja selama ini.[5]
Menimbang bencana-bencana ini, bagaimana seseorang tidak meyakini bahwa Perjanjian Baru tidak dihancurkan atau dirubah selama jangka waktu ini?
Konstantin yang Jahat
Mengikuti seluruh kejahatan dan agresi yang dilakukan terhadap dasar ajaran Kristen ini, pada tahun 312 M, Konstantin menjadi Kaisar Roma. Ia mengakhiri penindasan dan siksaan, namun melalui interfensinya yang konstan terhadap masalah-masalah agama, mengambil julukan sebagai kepala gereja, dan sebagai pendiri Dewan Ecumenical daerah Nicea (Ecumenical Council), ia memberikan pukulan telak kepada ajaran Kristen yang sudah luka.[6]
Terlepas dari ia seorang jahat dan melakukan perbuatan keji dan memalukan, ia tidak terlalu keras terhadap ajaran politheisme; ia bahkan memaksa kaum Krisian untuk menyesuaikan denganyna dalam pikiran dan perbuatan. Ia tidak menaruh perhatian terhadap keberatan dan kritik para uskup yang telah berkumpul pada Ecumenical Council of Nicea yang datang dari seluruh penjuru kekaisaran Roma (sasaran kritikan mereka seputar masalah kerancuan teks Perjanjian Baru). Alih-alih mengkajinya, ia malah memerintahkan membakar lembaran kritikan tersebut.[7]
Apakah kekuasaan dan pengawasan orang yang keji semacam itu, yang keimanannya dipertanyakan, membantu memecahkan masalah yang dihadapi oleh ajaran Kristen atau sebaliknya telah meminjamkan kepercayaan lebih kepada argumen-argumen dan bukti yang menujukkan kurangnya nilai kredit atas apa yang tersisa?
Untuk mencapai tujuan politiknya, Konstantin memaksa orang-orang Krisitian menjadi sebuah kesatuan yang terpaksa dan mencegah mereka mengekspresikan pikiran dan gagasan mereka. Ia sangat empatik atas apa saja yang terlintas dalam benaknya. Oleh karena itu, tidak jelas atas apa yang dilakukannya terhadap Perjanjian Baru, termasuk kitab-kitab Injil lainnya.
Apakah orang keji yang memiliki diragukan memiliki iman, yang tidak memiliki tujan selain mendapatkan ambisi-ambisinya, melembagakan bid’ah dan distorsi atas orang-orang Musyrik Roma atau menghancurkan mereka? Tidak ada keraguan tentang hal itu, sepanjang berkenaan dengan hubungannya dengan politeisme, ia tidak akan membiarkan ajaran Kristen tidak ternodai darinya? Bagaimanapun, seluruh versi yang ada dari Perjanjian Baru yang dimiliki orang Kristen adalah berasal dari awal atau pertengahan abad keempat (325-350 M) dan tidak ada jejak yang jelas bahwa manuskrip-manuskrip itu berasal dari masa sebelum Konstantin. Juga tidak jelas apa yang telah terjadi pada kitab tersebut melalui ragam permainan politik dan gejolak yang beragam.[8]
Memandang situasi semacam ini, dapatkah kebenaran Injil dan keyaikan Kristian dapat dipercaya dan jika apa yang diketahui sekarang ini sebagai Kitab Suci Injil dapat dikenal sebagai karya asli para murid atau jika kebenaran dan otensitasnya diragukan oleh setiap orang yang berpikir netral? Sebuah kehidupan yang menyaksikan kenyataan bahwa apasaja yang dikenal hari ini sebagai Perjanjian Baru adalah tidak dapat diyakini kebenaran dan otensitasnya dan bahwa bagian-bagian yang ditemukan dari manuskrip-manuskrip yang berasal dari masa-masa awal Kristen adalah sama sekali berbeda dengan Perjanjian Baru yang sekarang.
Dr. John Alder, seorang misionaris Amerika yang terkenal di Iran, telah menulis dalam bukunya yang berjudul Archaeology of the Holy Scripture, “Dalam puing-puing Exir Hincus, dua gulungan lontar telah ditemukan yang berisikan ucapan-ucapan yang diatributkan kepada Yesus Kristus, namun kebanyakan dari ucapan itu berbeda dari apa yang kita baca dalam Perjanjian Baru.”
Penemuan gulungan-gulungan naskah kuno Perjanjian Baru tersebut secara jelas menunjukkan bahwa Gospels yang sekarang telah mengalami perubahan dan berada pada bentuknya sekarang setelah berada di tangan para Paus dan sejumlah bapa suci. Singkatnya, harus dikatakan bahwa Perjanjian Baru yang secara konstan berada pada kemurahan peristiwa dan manipulasi-manipulasi misterius sama sekali tidak dapat diandalkan dan dipercaya serta tidak dapat dipandang sebagai karya para murid Yesus.
[1] History of the Church, hal-hal. 152-157
[2] Idem, hal-hal. 166-177
[3] History of the Church, hal. 179-180
[4] History of the Church, hal. 181
[5] History of the Church, hal. 182-183
[6] History of the Church, hal. 232-245
[7] History of the Church, hal. 233-242, 248
[8] Archaeolgy of the Holy Scripture- John alder