Oleh: Arif Mulyadi
Berbicara tentang masa depan bukanlah suatu perkara yang mudah. Ini disebabkan konsep masa depan dipengaruhi oleh pandangan dunia manusia itu sendiri. Dalam hal ini, terdapat dua pola pandangan dalam memandang masa depan : pertama, pandangan materialistis dan kedua, pandangan Islam.
Kelompok pandangan pertama melihat bahwa sistem penciptaan alam semesta tidaklah memiliki tujuan tertentu. Kebaikan dan keburukan, keadilan dan kezaliman, dipandang sebagai sesuatu yang tidak ada bedanya. Alam ini tidak peduli terhadap nilai-nilai dan tolok ukur yang universal. Dengan demikian, bagi kaum materialistis, alam tidak punya mata, telinga, akal, dan nalar, yang dengan itu ia bisa berpikir tentang nilai-nilai yang beraneka untuk mendukung dan menopang orang-orang yang berjalan di jalan kebenaran dan menghinakan mereka yang berjalan di jalan yang sesat.
Temuan-temuan sains yang menyebutkan bahwa sekumpulan bintang berjalan dengan cepat yang sedikit demi sedikit mendekati orbit bumi dan, pada titik tertentu, akhirnya akan bertabrakan dengan bumi dan meluluhlantakkannya kian memperkuat keyakinan mereka akan sia-sianya sistem penciptaan. Karena, pengetahuan menjadi suatu bumerang bagi dirinya sendiri. Termasuk di dalamnya penyusutan lapisan ozon, mencairnya kutub es di belahan lain bumi, usia planet bumi yang diperkirakan "tinggal empat puluh milyar tahun", kekeringan yang berkepanjangan, banjir di mana-mana, krisis pangan serta fenomena-fenomena alam lainnya semakin memperteguh pandangan materialistiknya.
Sementara pada saat yang sama, dalam tataran sosiologis, kehidupan manusia tampak carut marut dengan tingkat kejahatan yang beragam. Mulai dari peperangan, pembunuhan, pemerkosaan, serta kejahatan-kejahatan lain yang dilakukan manusia sendiri.
Ketakutan akan fenomena-fenomena alam serta kejahatan-kejahatan yang ditimbulkan manusia menjadikan pandangan mereka tentang masa depan sebagai sesuatu yang apatis, sia-sia, pesimistik, dan hampa dari harapan. Racun-racun atas pandangan seperti ini mereka suntikkan pada aliran musik, film, sastra, filsafat, dan lain-lain. Dengan sarana media massa yang menggurita, racun tersebut melanda pula kepada sebagian kaum Muslimin. Generasi muda kaum Muslimin tenggelam dalam fantasi-fantasi, pil-pil ekstasi, dan arus gaya hidup yang meninabobokan mereka akan sejarah masa depan. Ibadah menjadi sesuatu yang "dipaksakan" bukan suatu "kemerdekaan" dari Ar-Rahman.
Sebaliknya, dalam pandangan Islam, tatanan alam semesta berdasarkan suatu perencanaan yang mengagumkan, indah, dan bertujuan. Adalah mustahil bagi Tuhan menciptakan suatu tatanan alam semesta tanpa suatu rencana, tujuan, dan program.
Pandangan semacam ini menjadikan mereka semangat untuk terus berjuang mempertahankan kehidupan. Apa sebabnya ? Karena, di balik fenomena-fenomena alam yang serba menakutkan ataupun kejahatan-kejahatan manusia yang mengerikan, mereka yakin akan adanya Tangan Gaib yang menuntun mereka kepada masa depan yang mencerahkan. Masa ketika ada seorang, dengan luthf Allah, membawa keadilan untuk menggantikan kezaliman yang sudah lama melanda dunia. Kehadirannya memberkahi seluruh semesta alam sehingga setiap tempat mengeluarkan kekayaannya dari balik bumi. Inilah masa datangnya Ratu Adil, Juru Selamat. Dalam bahasa Islam, ajaran penantian akan datangnya Juru Selamat atau Ratu Adil itu disebut dengan Mahdiisme.
Filsafat Mahdiisme
Mahdiisme dalam wacana komunitas Muslim sesungguhnya merupakan sebuah tradisi dari pergerakan Islam di samping syahadah. Dengan kata lain, Mahdiisme dan syahadah merupakan tradisi "militansi " kaum Muslimin dalam mempersiapkan masa depan yang lebih baik. Di sekitarnya berdiri prinsip-prinsip dasar kaum Muslimin – seperti akidah, ibadah, eskatologi, dan ummah - yang akan memperkukuh harapan akan datangnya masa depan yang cerah bagi kaum Muslimin (A.Ezzati, 1990). Dari keyakinan Mahdiisme tersebut semestinya menampilkan kinerja positif dalam kehidupan kaum Muslimin yakni sikap hidup yang bercita-cita. Implikasi praktisnya adalah menampilkan etos kerja, etos ilmu, dan etos moral yang baik serta laras-lurus dengan Kehendak Yang Mahatinggi..
Di sini kerja bukan dipandang dalam spektrum sosio-ekonomis semata, namun mencakup makna-makna di luarnya, seperti mencari ilmu, mengajar, meneliti, serta aspek-aspek lain yang mendukung pengertian dari amal saleh. Sehingga penantian akan munculnya Imam Zaman, tidak melahirkan sikap-sikap yang bertolak belakang dengan Mahdiisme itu sendiri.
Penantian Positif
Merupakan suatu paradoks bila di tengah-tengah krisis yang melanda negeri ini yang timbul adalah sikap berpangku tangan atau saling menunggu komando. Padahal masa depan sudah di hadapan mata. Lahan-lahan amal saleh telah terhampar di hadapan kita. Agar termotivasi ada baiknya kita merenungkan kembali ayat berikut :
Dan katakanlah : "Beramallah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman akan melihat amal-amal kamu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu amalkan (QS At-Taubah, 9 : 105).
Apabila kita renungkan secara mendalam jelas ayat ini memberikan suatu pencerahan kepada pandangan masa depan kita sebagai manusia. Masa depan begitu optimistik sekiranya kita berpegang teguh kepada penantian Al-Mahdi. Mengapa tidak ? Karena toh saat kita menanti kehadiran kembali Imam Zaman itu pun tergolong ibadah (: penantian positif).
Alasan lain mengapa pernyataan bahwa "menanti kehadiran kembali Imam Zaman adalah termasuk ibadah" bisa dijumpai, paling tidak, pada dua noktah berikut :
Pertama, Allah menciptakan seluruh wujud ini bukanlah tanpa tujuan, tidak sia-sia. Ini merupakan refleksi dari Allah sebagai Zat Yang Mahaadil.
Kedua, sehingga, alam semesta berikut kejadian-kejadian yang ada pada ciptaan Allah ini berada pada tataran kebijakan Ilahi, berada pada sistem terbaik. Jika tidak yang terbaik, maka ini bertentangan dengan kemahaadilan Allah yang menciptakan semesta alam penuh tujuan..
Dengan dua alasan tersebut maka jelas kegaiban Al-Mahdi pun tidak lepas dari hikmah-hikmah yang mendalam. Hanya saja kita, sebagai manusia yang penuh kekurangan dan kelemahan, tidak mampu menguak tabir rahasia itu (Lihat tulisan Ustadz Hasan Rahmat, Imam Mahdi : Suatu Kajian Teks pada buletin Al-Jawad nomor ini juga).
Tentu saja kita memerlukan sikap yang konsisten (istiqamah*) dalam memahami hikmah-hikmah kegaiban Al-Mahdi as (semoga Allah mempercepat kemunculannya). Istiqamah tiada lain merupakan sikap hidup yang bercita-cita, sikap hidup yang memasa depan. Dengan demikian, kegagalan-kegagalan yang menjegal, kesulitan-kesulitan yang membelit, ataupun rintangan-rintangan yang menantang tiada lain merupakan wasilah (perantara) untuk mempertajam mata hati kita. Dari sana, kita akan mengevaluasi seluruh amal yang telah kita lakukan untuk selanjutnya menyempurnakan apa yang kurang.
Last but not least, "penderitaan" (dalam menanti kehadiran kembali Sang Imam) yang kita alami pada hakikatnya untuk mengasah sikap hidup kita yang penuh cita-cita untuk disaksikan oleh Imam Zaman, Muhammad Al-Mahdi Al-Muntazhar as. Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ali Muhammad wa ‘ajjil farajahum.[]
Wallahu a’lam bi shawwab
_________________
*Istiqamah mengandung tiga muatan makna : (1) Istiqamah dalam mempertahankan secara terus menerus kalimah syahadah; (2) istiqamah dalam kehendak yang benar; (3) istiqamah dalam ketaatan kepada Imam dan ibadah kepada Allah.