Memang benar bahwa menurut pernyataan Al-Qur’an Allah Swt menghendaki kesucian Ahli Bait as dari segala noda dan dosa, tapi Al-Qur’an tidak menyebutkan Ahli Bait as yang dimaksud seperti Ahli Bait as yang diyakini oleh Syi’ah. Benarkah demikian?
Berhubungan dengan Ayat Tathhir, dimana Allah Swt berfirman:
“Hanya sesungguhnya Allah menghendaki untuk menghilangkan kotaran dari kalian Ahli Bait dan menyucikan kalian sesuci-sucinya.” (QS. Al-Ahzab : 33)
Minimalnya ada dua hal yang patut dicermati kala mengkaji ayat tersebut:
1. Apakah pengertian Ahli Bait dan di mana saja Bangsa Arab menggunakan kata ini?
2. Ayat ini turun berkenaan dengan siapa saja?
Pengertian Ahli Bait
Kata Ahli Bait terdiri dari dua bagian: Ahli (Ahl) dan Bait (Bait). Makna dua kata itu jelas sekali dan di sini kita tidak perlu menukil penjelasan para ahli Bahasa Arab. Kata ‘Ahl’ seringkali digunakan secara imbuhan pada kata lain, seperti Ahl Al-Amr yang berarti para pemimpin, Ahl Al-Injil yang berarti para pengikut kitab suci lnjil, Ahl Al-Kitab yang berarti para pengikut kitab-kitab samawi, Ahl Al-Islam yang berarti para pengikut agama Islam, Ahl Al-Rajul yang berarti orang-orang yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan lelaki tersebut, Ahl Al-Ma’ yang berarti spesies-spesies yang hidup di dalam air atau sekitamya, dan Ahl Al-Bait yang berarti orang-orang yang hidup bersama dalam satu rumah di bawah ikatan kekeluargaan.
Dengan memperhatikan penggunaan kata ‘Ahl’ di atas, maka dapat dikatakan bahwa setiap orang yang mempunyai ikatan atau kedekatan tersendiri dengan sesuatu yang menjadi sasaran imbuhannya disebut dengan ‘Ahl’ atau ahli bagi sesuatu tersebut. Karena itu, lbnu Mandzur di dalam kitab Lisan Al-‘Arab menyebutkan, ‘Ahl al-rajul akhasshu al-nasi bihi’; artinya, ahli seseorang adalah orang yang mempunyai hubungan paling khusus (istimewa) dengannya.
Dengan kata lain, setiap kali disebutkan Ahl Al-Rajul (ahli-nya sifulan) maka maksudnya adalah orang-orang yang bergantung padanya dan termasuk keluarga atau kerabatnya. Maka berdasarkan keterangan ini harus dikatakan bahwa Ahli Bait (Ahl Al-Bait/Ahlul Bait) mempunyai pengertian yang luas sehingga mencakup anak dan istri seseorang. Itulah kenapa Al-Qur’an secara gamblang menggunakan kata itu untuk istri Nabi Ibrahim as, yaitu ketika ia menceritakan kedatangan para malaikat kepadanya:
“Mereka (para malaikat) berkata, ‘Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? rahmat Allah dan keberkatan-Nya atas kalian Ahli Bait (istri Ibrahim), sesungguhnya Dia Maha Terpuji dan Maha Mulia.” (QS. Huud [11]: 73.)
Yang Dimaksud Dengan Ahli Bait oleh Ayat Tathhir
Setelah mengetahui pengertian kata Ahli Bait, sekarang saatnya untuk membahas siapa yang dimaksud dengan Ahli Bait oleh Ayat Tathhir? Selama tidak ada bukti yang membatasi makna kata ini untuk istri-istri atau anak-anak maka kata itu harus diartikan dalam pengertiannya yang luas tersebut, tapi ternyata ada bukti-bukti atau indikasi-indikasi kuat dan tak terbantahkan yang menyatakan bahwa maksud Ahli Bait dalam ayat ini tidak lain adalah Nabi Muhammad Saw, Ali as, Fathimah sa, Hasan as dan Husain as, sedangkan orang lain tidak termasuk di dalamnya (tidak termasuk sebagai Ahli Bait). Bukti dan indikasi yang kami maksud antara lain adalah:
1. Al-Bait berarti rumah tertentu.
Imbuhan ‘Al’ pada kata ‘Al-Bait’ bukan bermakna jenis atau keseluruhan; yakni, jenis rumah atau seluruh rumah. Melainkan berarti tertentu; yakni, rumah tertentu yang menjadi sasaran ayat tersebut. Alasannya, jika Al-Qur’an ingin menyebutkan rumah-rumah para istri Nabi Muhammad Saw maka semestinya ia menggunakan kata ‘Ahl Al-Buyut’ (ahli rumah-rumah), itulah kenapa kita lihat Al-Qur’an ketika berbicara tentang istri-istri beliau menggunakan kata jamak, bukan kata tunggal. Sebagai contoh, Al-Qur’an menyebutkan:
“Dan tetaplah kalian di rumah-rumah kalian serta jangan berhias seperti perhiasan orang-orang jahiliyah terdahulu.” (QS. Al-Ahzab [33]: 33.)
Sehubungan dengan ayat ini, setiap kamar istri Nabi Muhammad Saw terhitung satu rumah bagi dia, sementara di dalam Ayat Tathhir ada penekanan terhadap rumah satu rumah tertentu, terang saja kita harus memastikan rumah yang manakah itu, dan tidak bisa dikatakan bahwa rumah itu adalah salah satu rumah istri beliau; karena, jika memang salah satu rumah istri beliau yang dimaksudkan maka ayat ini betul-betul samar dan ambigu; rumah yang mana dari sekian rumah istri beliau. Selain itu, tiak ada bukti yang dapat memprioritaskan salah satu rumah atas rumah-rumah istri beliau yang lain.
Maka itu, tidak bisa tidak rumah yang dimaksud oleh Ayat Tathhir bukan rumah-rumah para istri Nabi Saw, sehingga tiada lain rumah itu adalah rumah putri beliau Fathimah Zahra sa yang juga merupakan rumah beliau, dan selain beliau di dalam rumah itu ada empat orang yang hidup bersama; yaitu, Fathimah Zahra sa, Amirul Mukminin Ali as, Imam Hasan as, dan Imam Husain as.
Hal ini didukung pula oleh hadis yang diriwayatkan oleh Suyuthi ketika menafsirkan ayat:
“-Yaitu- Di rumah-rumah, Allah memerintahkan untuk memuliakan dan menyebut nama-Nya, bertasbih di dalam rumah itu pada waktu pagi dan petang.” (QS Al-Nur [24]: 36)
Dia menuliskan, ‘Ketika ayat ini turun dan Rasulullah Saw membacakannya di Masjid, ada orang yang bangkit seraya bertanya kepada beliau, ‘Milik siapakah rumah-rumah yang agung ini?’ beliau menjawab, ‘Rumah para nabi.’ Ketika itu Abu Bakar bangkit menunjuk ke arah rumah Fathimah dan Ali seraya berkata, ‘Apakah rumah ini juga termasuk rumah-rumah agung itu?’ beliau bersabda, ‘lya, bahkan termasuk yang paling utama di antara rumah-rumah itu.’[1]
2. Kata ganti laki.
Di dalam surat Al-Ahzab dari ayat ke-20 sampai ayat ke-34, Al-Qur’an berbicara tentang istri-istri Nabi Muhammad Saw dan pada keseluruhan ayat itu ia menggunakan kata ganti perempuan yang kembali pada istri-istri beliau, dan itu sesuai dengan kaidah Bahasa Arab. Dalam pada itu, lebih dari 20 kata ganti perempuan yang telah digunakannya:
کنتن ، فتعالین ، أمتعکن ، أسرحکن ، تردن ، لستن ، اتقیتن ، فلاتخضعن ، قلن ، قرن فی بیوتکن ، تبرجن ، آتین ، أطعن ، واذکرن …
Tapi begitu surat Al-Ahzab ini sampai kepada Ayat Tathhir yang terletak persis di penghujung ayat ke-33, tiba-tiba pola pembicaraannya berubah dan sasaran bicaranya berganti dari perempuan menjadi laki-laki, ayat itu menyebutkan: (عنکم الرجس) dan (یطهرکم). Dengan demikian, perlu ketelitian lebih untuk memahami apa tujuan dari perubahan pola dan sasaran bicara ini?
Perubahan ini tidak punya arti lain kecuali bahwa yang dimaksud oleh Ayat Tathhir bukanlah istri-istri Nabi Saw, walau pun mereka menjadi pokok pembicaraan konteks ayat-ayat sebelum dan sesudahnya. Adapun kenapa sengaja dilakukan penyisipan topik ini di tengah konteks pembicaraan tentang istri-istri Nabi Saw akan kita bahas pada waktunya nanti.
3. Ahli Bait as Perspektif Nabi Muhammad Saw.
Banyak sekali bahkan mutawatir hadis Nabi Saw yang menjelaskan bahwa tidak ada yang dimaksud oleh ayat ini kecuali Nabi Saw dan penghuni rumah Fathimah Zahra sa; yakni, beliau sendiri, Amirul Mukminin Ali as, Imam Hasan as dan Imam Husain as. Hadis-hadis ini diriwayatkan oleh para sahabat Nabi Saw, antara lain: 1. Abu Sa’id Khudri 2. Anas bin Malik 3. Abu Ishaq 4. Watsilah bin Asqa’ 5. Abu Hurairah 6. Abu Hamra’ 7. Sa’ad bin Abi Waqash 8. Aisyah 9. Ummu Salamah dan 10. Ibnu Abbas.
Minimalnya, hadis-hadis itu menunjukkan bahwa Rasulullah Saw menjelaskan maksud Ahli Bait dalam ayat ini dengan dua cara yang masing-masing sangat menarik perhatian:
1. Menutupkan kain Kisa, Aba’ atau Qathifah di atas lima orang tersebut dan mencegah Ummu Salamah untuk masuk ke bawah kain itu padahal dia sangat menginginkannya. Ketika lima orang itu berada di bawah kain tersebut, Rasulullah Saw bersabda, ‘Ya Allah! mereka adalah Ahli Baitku. Ya Allah! hilangkan rijs (dosa dan kesalahan) dari mereka.’
2. Selama delapan bulan bahkan lebih, setiap kali Rasulullah Saw pergi ke Masjid untuk shalat subuh beliau menuju rumah Fahimah Zahra sa terlebih dulu dan mengajak mereka untuk shalat sambil membacakan Ayat Tathhir.
Dengan dua cara inilah pada waktu itu Rasulullah Saw menjelaskan siapa saja yang dimaksud dengan Ahli Bait as di dalam Ayat Tathhir. Selanjutnya kami akan menerjemahkan sebagian dari hadis-hadis itu secara ringkas:
Abu Sa’id Khudri meriwayatkan: ‘Rasulullah Saw bersabda, ‘Ayat ini berkenaan dengan aku, Ali, Fathimah, Hasan dan Husain.’
Ummu Salamah mengatakan, ‘Ayat ini turun di rumahku.
Tepatnya ketika Fathimah (sa) membawakan makanan untuk Nabi Saw, ketika itu pula beliau bersabda kepadanya, ‘Ajaklah anak pamanmu Ali dan kedua anakmu kemari.’ Fathimah Zahra menggandeng tangan kedua anaknya dan Ali berjalan di belakangnya, kemudian mereka semua masuk ke sisi Nabi Saw. Beliau memangku kedua cucunya, Ali duduk di sebelah kanan dan putri beliau Fathimah duduk di sebelah kiri beliau. Lima orang itu kemudian menyantap makanan yang dibuat dan dibawakan oleh putri Nabi Saw, tiba-tiba malaikat wahyu datang seraya menyampaikan Ayat Tathhir. Ketika itulah Nabi Saw mengambil kain Kisa’ yang biasa beliau gunakan untuk menutupi tubuhnya pada waktu malam, lalu beliau menutupi kelima orang itu dengan kain tersebut seraya mengeluarkan tangan dari kain dan mengangkatnya ke arah langit sambil tiga kali bersabda, ‘Ya Allah! mereka adalah Ahli Baitku. Ya Allah! hilangkan rijs (dosa dan kesalahan) dari mereka.’
Mendengar kalimat itu aku segera ingin masuk ke dalam kain Kisa tersebut supaya terliputi oleh keutamaan yang sama, karena itu aku langsung meraih ujung kain dan mengangkatnya untuk bisa bergabung di dalam, tapi Nabi Saw menarik kain itu dari tanganku. Aku pun bertanya kepada beliau, ‘Bukankah aku juga termasuk Ahli Baitmu?!’ beliau tanpa membenarkan pertanyaanku bersabda, ‘Engkau wanita yang baik dan termasuk dalam istri-istri Nabi.’
Muatan hadis yang tercantum dalam kitab-kitab hadis dan tafsir seluruhnya membuktikan bahwa kandungan Ayat Tathhir hanya untuk lima orang dan tidak lebih dari itu, bahkan orang yang paling mulia dan suci dari istri-istri Nabi Saw tidak termasuk dalam keutamaan ayat tersebut.
Rasulullah Saw selama empat puluh hari menurut sebuah riwayat, delapan dan sembilan bulan menurut riwayat-riwayat yang lain, setiap kali hendak pergi ke Masjid untuk shalat subuh beliau terlebih dulu menuju ke rumah Ali as seraya bersabda:
‘Shalat! Shalat! Hanya sesungguhnya Allah menghendaki untuk menghilangkan kotoran dari kalian Ahli Bait dan menyucikan kalian sesuci-sucinya.’[2]
Dengan adanya hadis-hadis ini, masih adakah kemungkinan lain untuk menafsirkan Ayat Tathhir?! Aneh sekali apa yang dilakukan oleh Ihsan Ilahi Dzahir ketua redaksi majalah Tarjuman Al-Hadis kota Lahore Pakistan, dari satu sisi dia mengaku dirinya sebagai penerjemah dan juru bicara hadis-hadis nabawi, tapi di sisi lain dengan penuh kelancangan dia mengabaikan seluruh hadis yang membuktikan keistimewaan Ayat Tathhir untuk lima orang di atas, lalu di dalam kitab Al-Syi’ah wa Ahl Al-Bait dia bersandar pada riwayat Ikrimah yang terhitung asing (Khariji) dan mengatakan, ‘Yang dimaksud oleh ayat ayat ini adalah istri-istri Nabi.’ Lalu dia juga mengatakan, ‘Anak keturunan Nabi juga secara majas termasuk dalam ayat ini.’
Hanya tinggal satu pertanyaan yang belum terjawab, yaitu kenapa Ayat Tathhir diselipkan di tengah konteks ayat-ayat yang berbicara tentang istri-istri Nabi Saw? Dan, seperti yang kami janjikan sebelumnya, kami akan menjawabnya sekarang.
Terkadang, ketika sedang membicarakan sebuah topik Al-Qur’an tiba-tiba meninggalkan pembicaraan itu dan beralih ke topik yang lain, tapi sejenak kemudian ia kembali membicarakan topik yang ditinggalkan. Salah satu contohnya dalam kisah Nabi Yusuf as, ketika pengkhianatan istri pembesar negeri Mesir terungkap, pembesar negeri itu menghadap ke arah istrinya seraya berkata:
“Maka tatkala suaminya melihat baju Yusuf koyak dari belakang, dia berkata, ‘Sesungguhnya perbuatan ini dari tipu daya kamu, sesungguhnya tipu daya kamu besar.” (QS. Yusuf [12]: 28)
Ketika sedang berbicara dengan istrinya, tiba-tiba dia mengalihkan arah pembicaraannya kepada Nabi Yusuf as seraya berkata:
“Yusuf, berpalinglah dari ini dan -engkau hai istriku- mohon ampunlah atas dosamu itu karena sesungguhnya engkau termasuk orang-orang yang bersalah.” (QS. Yusuf[12]: 29)
Adapun mengenai kenapa masalah Ahli Bait Nabi Saw disebutkan di sela-sela pembicaraan tentang istri-istri beliau, minimalnya ada dua alasan yang tepat untuk itu:
1. Ketika berbicara tentang istri-istri Nabi Saw, terkadang Allah Swt mengancam mereka seraya berfirman:
“Hai istri-istri Nabi, barangsiapa di antara kalian mengerjakan perbuatan keji yang terang akan dilipatgandakan siksaan baginya dua kali, dan yang demikian itu bagi Allah adalah mudah.” (QS. Al-Ahzab [33]: 30)
Dalam kondisi seperti ini, Allah Swt mengungkapkan kesempurnaan Ahli Bait as dan dengan itu Dia ingin menegaskan -kepada istri-istri Nabi Saw- bahwa keluarga suci beliau ini merupakan teladan paling baik bagi kalian dan alangkah baiknya jika kalian meneladani mereka.
2. Banyak sekali orang muslim pada awal sejarah Islam yang betul-betul sensitif terhadap Amirul Mukminin Ali as dan keluarga beliau. Tidak ada satu kabilah dan klan pun yang salah satu orangnya tidak terbunuh oleh beliau pada peperangan-peperangan Islam. Karena itu, banyak sekali dari mereka yang sakit hati pada beliau, lalu kebencian dan kedengkian ini mencuat setelah Nabi Muhammad Saw meninggal, maka muncullah kelompok-kelompok yang masing-masing ingin balas dendam kepada beliau.
Karena tingkat tinggi sensitivitas inilah Rasulullah Saw diperintahkan oleh Allah Swt untuk menyelipkan ayat tentang kesucian Ahli Bait as ini di sela ayat-ayat yang membicarakan istri-istri beliau, dengan demikian diharapkan masalah itu tidak begitu menonjol dan menambah tinggi sensitivitas mereka terhadap Ahli Bait as. Tapi kemudian untuk menyingkirkan kesalahpahaman, beliau Saw menjelaskan maksud Ahli Bait as di dalam Ayat Tathhir dengan sunnah dan hadis, sehingga tidak ada sedikit pun keraguan tentang masalah itu.
Ini mirip dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang yang berakal sehat dan berpengalaman, terkadang mereka menyimpan barang-barang berharga mereka di dalam rumah tepatnya di antara barang-barang yang pada umumnya tidak menarik perhatian orang asing, tapi pada saat yang sama penghuni rumah tahu persis apa yang ada di dalamnya.
Pada akhirnya, kami ingin mengakhiri pembahasan ini dengan menukil riwayat dari Sa’ad bin Abi Waqash:
Tirmidzi di dalam kitab hadis shohihnya meriwayatkan hadis dari Sa’ad bin Abi Waqash tentang kejadian Mubahalah, ketika itu Nabi Muhammad Saw memanggil Amirul Mukminin Ali as, Fathimah Zahra sa, Imam Hasan as, dan Imam Husain as seraya bersabda, ‘Ya Allah! merekakalah Ahliku.’
Di bagian lain dari kitab hadis shohihnya, Tirmidzi juga meriwayatkan sebuah hadis bahwa Nabi Muhammad Saw menyelimuti Imam Hasan as, Imam Husain as, Amirul Mukminin Ali as, dan Fathimah Zahra sa dengan kain seraya bersabda, ‘Ya Allah! Merekalah Ahli Baitku. Ya Allah! singkirkanlah rijs (dosa dan kesalahan) dari mereka dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya!’ ketika itu Ummu Salamah berkata kepada beliau, ‘Wahai Nabi Allah, apakah aku juga termasuk dari mereka (Ahli Bait)?’ beliau bersabda, ‘Tetaplah pada tempatmu (jangan masuk ke dalam kain Kisa), engkau adalah wanita yang baik.’[3]
Catatan :
[1] Al-Dur Al-Mantsur, jld. 6, hal. 203, tafsir surat Al-Nur; Ruh Al-Ma’ani, jld. 18, hal. 174.
[2] Untuk informasi lebih lanjut tentang referensi hadis-hadis yang tersebut di atas, Anda dapat melihat: Tafsir Al-Thobari, jld. 22, hal. 5-7; Al-Dur Al Al-Mantsur, jld. 5, hal. 198-199.
[3] Jami’ Al-Ushul, jld. 10, hal. 101-102.