REPUBLIKA.CO.ID, Sepuluh tahun lalu, Ismail Chartier memeluk Islam. Keputusannya memeluk Islam berawal dari kegagalan dirinya menjadi pegulat profesional.
Ismail besar dalam keluarga Katolik Irlandia di Manhattan. Namun, lingkungan tempat ia tinggal merupakan kawasan peredaran narkoba yang diawasi mafia Irlandia. Tak heran, Ismail kecil sudah akrab dengan kekerasan.
Ibu dan ayahnya merupakan generasi pertama Amerika-Irlandia. Sementara, ia dan saudaranya merupakan generasi kedua yang diwajibkan mempelajari budaya Irlandia.
Oleh orang tuanya, diajari tarian, musik, dan kebencian akan kependudukan Inggris di Irlandia Utara.
Memasuki usia ke-20 tahun, Chartier menjadi anggota tim gulat Universitas Arizona. Sayang, impiannya mejadi pegulat kandas lantaran cedera punggung berkepanjangan. "Saya ingat hari itu, pelatih mengatakan saya tidak bisa menjadi pegulat. Sejak itu, saya begitu emosional," kenangnya.
Namun, Chartier tidak ingin larut dalam amarah. Ia mencoba beralih pada agama, dan memulainya dengan mempelajari Kristen Ortodoks. Mengapa Ortodoks, karena ia menginginkan perspektif lain. Guna mencapai tujuannya itu, ia memutuskan berangkat ke Yunani. Di sana Chartier mempelajari ajaran Kristen Ortodoks selama satu tahun penuh.
Sepulangnya dari Yunani, ia justru mengalami perasaan putus asa. Hatinya tidak menerima prinsip Ortodoks. Chartier kemudian mengunjungi sinagog. Di sana ia mendapati bahwa Yahudi hanya mengakui satu Tuhan. "OK, saya ingin menjadi Yahudi," kata dia mantap.
Rabi Yahudi tidak begitu saja menerimanya. Karena, Chartier tidak memiliki darah Yahudi murni. Spontan rabi tersebut memintanya pergi. "Saya tidak percaya bahwa Tuhan membatasi agama-Nya hanya untuk satu bangsa. Semua manusia seharusnya berhak atas agama yang diturunkan-Nya," kata dia.
Selanjutnya, Ismail Chartier mengunjungi Nepal. Di sana ia punya harapan besar untuk mempelajari agama Buddha dan Hindu.
Satu kesempatan, ia mengunjungi sebuah perpustakaan dengan rak bertuliskan Islam. Dalam rak itu terdapat buku Elijah Wood, Rumi dan Ghazali. Lalu ada Alquran terjemahan bahasa Inggris.
"Pertama kali melihat, saya begitu antusias. Sepengetahuan saya, buku ini menjadi pedoman Muslim. Saya harus baca kitab ini," ujarnya.
Tidak mudah baginya untuk mempelajari Alquran. Ia terlebih dahulu mempelajari bahasa Arab. Ia katakan niatannya itu kepada istrinya yang selalu mendukungnya mencari kebenaran. "Saya tidak mau menjadi Kristen, saya ingin dan akan menjadi Muslim," kata Chartier.
Semenjak ia mempelajari Islam, ia begitu merasakan kedamaian dan ketenangan. Pertama kali dalam hidupnya, ia merasa memiliki hati nurani. "Amarah yang selalu membebaniku hilang seketika," ungkapnya.
Keputusannya memeluk Islam membuat keluarga besarnya marah besar. Chartier diasingkan oleh keluarganya. Walau begitu, ia tetap tenang menghadapi penolakan keluarganya. Prinsipnya, ia harus menjadi hamba yang baik dan tetap menghormati sikap keluarganya.
Tak butuh waktu lama, keluarga Chartier akhirnya menerima keputusannya itu. Hubungan mereka bahkan jauh lebih baik dari sebelumnya. Orang tuanya bahkan begitu sayang dengan anak-anaknya. "Saya percaya, rasa hormat itu menyembuhkan penyakit hati. Hormati orang lain, ketika anda menginginkan dihormati," kata Chartier.
Selanjutnya, Chartier mulai melangkah untuk berdakwah. Ia mendirikan organisasi yang bertujuan untuk menghindari anak-anak terjebak dalam kejahatan, seperti narkoba. "Islam menjadi rujukan organisasi ini," pungkas dia.
source : http://www.republika.co.id