Sebuah kisah nyata, seorang bayi hilang bersama orang tuanya di dalam rimba. Kedua orang tuanya meninggal dan anaknya atas kehendak Yang Maha Kuasa, sang bayi masih hidup dan dipelihara oleh segerombolan serigala. Delapan tahun kemudian, para peneliti hutan menemukannya dan membawa anak kecil ke peradaban manusia. Hal yang menyedihkan terjadi, anak kecil itu bagaikan seekor serigala. Ia berjalan dengan kedua kaki dan tangannya, menangis dengan mengaum bagaikan lolongan serigala. Demikian pula dengan makanan yang dia santap adalah makanan mentah layaknya makanan binatang liar. Tidak sampai satu tahun dia hidup bersama manusia, akhirnya anak malang ini mati karena kerinduannya yang sangat terhadap dunia bebas dan liar bersama para serigala. Ia tak mampu menjadi manusia yang sesungguhnya, yang bisa berfikir, berperilaku layaknya manusia, yang dibesarkan oleh orang tuanya.
Kisah nyata ini memberikan gambaran kepada kita bahwa kualitas anak kita sangat tergantung kepada input-input yang telah diberikan sejak dini oleh pengasuhnya. Seekor serigala tentunya akan mengajarkan bagaimana si anak hidup sesuai dengan kebiasaan binatang, sehingga si anak persis sama dengan binatang walaupun si anak punya potensi manusia seperti akal yang seharusnya bisa ia gunakan untuk berfikir, bersikap, bertingkah laku seperti manusia. Demikian pula dengan anak-anak yang dibesarkan oleh ibunya . Seorang ibu yang mempunyai kemampuan, ilmu-ilmu pengetahuan (Fase tumbuh kembang anak, ilmu-ilmu agama dan lain-lain), kesabaran dalam mendidik anak tentu akan lebih besar peluang keberhasilannya dalam mencetak anak yang unggul dibanding ibu yang tidak punya persiapan apa-apa dan tidak berupaya mencarinya serta menyerahkan sepenuhnya pada lingkungan sosialnya.
Seorang ibu yang kurang mengerti akan peran kualitasnya buat pendidikan anaknya akan sering memperdengarkan kata-kata yang buruk, jorok, cacian, hinaan dan bentakan. Dari contoh seperti ini, mungkinkah ia dengan mudah diseru kepada kebajikan? Jika selama hidupnya ia hanya mendengar kata-kata yang buruk dan jorok, jahat : bagaimana reaksinya ketika mendengarkan suara-suara kebajikan, suara adzan, pembacaan kalam Ilahi serta nasihat-nasihat orang tua sendiri?
Jika kita berharap agar anak-anak kita mendengarkan hal-hal yang baik, menyaksikan yang baik, memikirkan kebajikan dan kebenaran, maka tentunya harus ada input-input yang seperti itu yang diberikan oleh ibunya secara sadar dan terencana. Pola pikir, pola sikap serta kecenderungan-kecenderungan sesungguhnya sangat dipengaruhi oleh input-input yang diberikan sebelumnya. Semakin dini kita berikan input-input positif kepada anak kita maka semakin kuat tertanam dalah dirinya yang akan mempengaruhi kepribadiannya kelak.
Dalam sebuah sabda Rasulullah dikatakan bahwa anak adalah sebagai salah satu tabungan amal yang tetap akan mengalirkan pahala kepada orangtuanya sekalipun orangtuanya telah kembali ke hadirat Ilahi Robbi. Ibu mana yang tidak ingin memilikinya anak yang seperti itu? Anak seperti apakah yang bisa demikian? Apakah semua anak bisa menghadiahkan pahala seperti itu? Mereka adalah anak-anak yang unggul.
Anak Unggul
Ada 3 kriteria anak unggul :
1. Anak yang taqwa, yaitu anak yang setiap perbuatannya selalu menginginkan keridhoan Allah Swt, senantiasa menyenangkan hati orang tuanya dan disukai siapa saja. Sebagaimana sebuah doa yang terdapat dalam Al-Qur’an surat Al-Furqan :74, yang artinya :”Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati kami dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa.”
2. Anak yang cerdas, yaitu anak yang senantiasa mau belajar dan mencoba segala sesuatu serta yakin bahwa dia bisa dan tidak cepat menyerah.
3. Anak yang sehat, yaitu anak yang mau makan makanan yang halal dan baik (thayyib), menjaga kebersihan, cukup istirahat, dan olah raga.
Anak Unggul Era Islam
Pada era Islam kita mengenal sosok-sosok seperti Imam Syafi’i yang terkenal kefaqihannya, Abddullah bin Zubair yang sejak kecil tegar dalam membela kebenaran, mengerti batas antara bermain dengan belajar. Kita temukan pula Hasan dan Husen bin Ali bin Abi Thalib yang sangat santun di dalam menasehati orang, Abdullah bin Umar Abdul Aziz yang sangat berani menasehati seorang khalifah agar tidak menunda-nunda pengembalian hak kepada yang berhak menerimanya.
Bisakah anak unggul lahir dari ibu yang dalam menjalani Fungsi keibuannya “apa adanya” dalam mendidik anaknya? Tentu, saja tidak. Untuk bisa menghasilkan anak yang unggul diperlukan gambaran yang jelas hal-hal yang terkait dengan : anak kita mau kita jadikan apa, apa potensi anak kita, apa kelemahan anak kita, bagaimana mengembangkan potensinya, materi-materi apa saja yang urgen disampaikan, kapan diajarkannya, dengan cara seperti apa, bagaimana tehnik penyampaiannya dan lain-lain. Di sinilah letak pentingnya ibu senantiasa menimba ilmu baik ilmu-ilmu keislaman maupun ilmu gizi, ilmu perkembangan anak, psikologi anak. Ibu juga harus kreatif di dalam menciptakan berbagai cara dalam mengajarkan suatu hal pada anak, dalam mengatasi karakter buruk anak sehingga tercapai solusi yang pas, sehingga tidak memperparah keadaan. Sehingga dibutuhkan daya juang yang tinggi dari ibu tangguh untuk bisa meraih anak unggul. Dapatkah semua ibu menjadi ibu tangguh?Seperti apa? Apa syarat-syaratnya?
Memahami Potensi Ibu Untuk Tangguh
Siapapun yang memilik status ibu memiliki peluang untuk sukses dalam menjalani perannya sebagai ibu tangguh Karena Allah SWT telah memberikan potensi itu. Sudahkah ibu mengenal potensi diri? Marilah kita kenali lebih dalam potensi ibu. Dari penelaahan yang teliti, ditemukan dalam diri setiap manusia ada 3 macam potensi yaitu 1. Akal, 2. Kebutuhan-kebutuhan jasmani 3. Naluri-naluri.
Pertama, potensi akal (Aql). Manusia dibedakan dengan makhluk lain seperti hewan ataupun tumbuhan karena keberadaan akal ini dalam dirinya. Akal berfungsi untuk memahami sesuatu sehingga ia dapat menyimpulkan sesuatu baik itu benda ataupun perbuatan. Dengan akal ibu bisa berfikir terlebih dahulu sebelum berbuat sehingga bisa membedakan mana yang mubah (boleh), mana yang haram, makruh, sunnah serta yang mana yang wajib dilakukan. Banyak terdapat ayat-ayat Alqur’an yang berisi seruan agar manusia menggunakan akalnya. Dalam Alqur’an QS. Ar-Rum :22. Allah berfirman :”Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian terdapat tanda-tanda bagi orang yang mengetahui." Dalam surat yang lain Alllah berfirman:” Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apa dia diciptakan? Dia diciptakan dari air yang terpancar, yang keluar dari tulang sulbi dan tulang dada" (QS.At-Thoriq :5-6) dan juga dalam QS. Ali Imran : 190-191, QS. Al-Ghasiyyah : 17-20.
Kedua, Kebutuhan Jasmani (Hajatul Udhawiyyah). Dalam diri manusia termasuk ibu terdapat kebutuhan-kebutuhan jasmani seperti ingin makan, minum, buang hajat, tidur, istirahat. Karakteristik kebutuhan jasmani adalah munculnya dari dalam diri manusia itu sendiri. Manusia tidak pernah mengusahakan supaya bisa muncul rasa haus, lapar, ia akan muncul secara otomatis dari dalam tubuh. Ketika muncul rasa lapar atau haus misalnya maka akan mendorong manusia untuk memenuhi karena dalam jangka panjang bila tidak terpenuhi berakibat kematian. Sehingga pemenuhannya bersifat pasti.
Ketiga, Naluri-naluri (gharizah-gharizah) . Manusia dibekali 3 macam naluri yaitu naluri beragama, naluri mempertahankan diri dan naluri melestarikan jenis.
* Adapun penampakan naluri beragama adalah manusia ingin menyembah, mengagungkan ‘sesuatu’, merasa diri lemah dan serba kurang, merasa ada kekuatan ghaib yang menguasainya.
* Penampakan naluri mempertahankan diri antara lain : ingin diakui eksistensinya, ingin mempertahankan yang dimiliki, bekerja untuk bertahan hidup, cinta kekuasaan.
* Penampakan naluri melestarikan keturunan antara lain : ingin memiliki keturunan, tertarik dengan lawan jenis, cinta dan sayang anak, sifat-sifat keibuan dan kebapakan.
Naluri-naluri ini akan muncul dan mendorong manusia untuk memenuhi ketika ada pemicu atau perangsang dari luar tubuh manusia. Hanya saja ketika tidak terpenuhi maka tidak akan menyebabkan kematian. Ini yang membedakan dengan kebutuhan jasmani. Contoh seseorang perjaka, ketika melihat seorang gadis cantik maka muncullah naluri melestarikan keturunannya (muncul dari rangsangan luar bisa berupa fisik wanita itu sendiri, gambar-gambar porno, bacaan-bacaan, iklan TV dan lain-lain), maka ada keinginan untuk menikah. Karena kehendak Allah mungkin dia akan menemukan jodohnya dan menikah dan terpenuhi nalurinya. Tapi ketika tidak terpenuhipun karena memang belum bertemu jodohnya dan belum mampu, hal ini tidak berefek kematian pada orang yang bersangkutan. Islam menganjurkan agar berpuasa (lebih dekat dengan Allah agar terhindar dari berbuat maksiat), hal ini berarti mengalihkan naluri melestarikan jenis ke naluri beragama. Naluri-naluri ini selamanya tidak bisa dihilangkan dari dalam diri setiap manusia tapi bisa dialihkan seperti contoh di atas. Islam tidak mengajarkan supaya menghilangkan atau membungkam naluri, tetapi Islam mengatur pemenuhannya termasuk mengalihkannya.
Begitu juga peran sebagai Ibu, ini merupakan penampakan dari naluri melestarikan keturunan.
Disamping itu, ibu juga sudah memiliki kekuatan fisik. Subhanallah, seorang ibu kuat membawa anak dalam kandungannya, kemanapun ia hendak beraktivitas selama 9 bulan. Ibu juga rela bangun lebih dulu sekalipun tidurnya paling akhir karena ketika anaknya sudah tidur ia harus menyetrika, membaca buku untuk memperdalam dan menambah ilmunya. Seorang lbu juga tetap bisa melakukan kewajiban selain fungsi ibu pada waktu bersamaan seperti melayani suaminya, sholat. Ia melakukan pengajian, belanja untuk keperluan makan, mencuci dengan membawa anaknya. Sebagai penampakan dari naluri tadayyun, ibu ingin memiliki anak yang sholeh, orang-orang yang kuat keimanannya. Seorang ibu juga rela mengutamakan kepentingan anak daripada kepentingan dirinya.
Itulah potensi ibu untuk menjadi ibu tangguh yang telah diperoleh dari Allah secara cuma-cuma agar digunakan sebagai perangkat untuk mengabdi kepada-Nya. Potensi yang luar biasa itu sudahkah kita gunakan dan kita asah untuk mendidik anak ibu?
Ibu Tangguh
Pengertian ibu tangguh adalah Ibu yang mempunyai kepribadian Islam (Syakhkhshiyyah Islamiyyah) dan mampu menjalankan peran ibu. Ibu yang mempunyai kepribadian Islam akan selalu menjadikan Aqidah Islam sebagai landasan di dalam berfikir dan berbuat. Ia juga memahami potensi dirinya dan mampu mengoptimalkan dalam rangka mencetak anak unggul. Untuk menjadi ibu tangguh juga harus mengetahui dan menguasai konsep pendidikan anak.
Ibu yang tangguh ketika hendak melakukan suatu perbuatan apapun ia akan berfikir terlebih dahulu dengan akal yang sudah dianugerahkan Allah. Dalam perenungannya ia merasa lemah dan serba terbatas, ia sendiri tidak tahu berapa jumlah rambut di kepalanya, ia tidak bisa mengendalikan detak jantungnya, ia tidak tahu berapa jumlah air yang dikonsumsi selama hidupnya? Ia tidak tahu kenapa ada perasaan sayang sama anak dan suaminya? Kenapa ada perasaan benci? Mengapa kita ingin memiliki? Kenapa ada rasa takut dalam dirinya ?, Kenapa harus ada rasa lapar dan haus? Kenapa dan masih banyak beribu-ribu kenapa yang tidak bisa di jawabnya. Memang, tidak hanya ibu itu tapi manusia lainpun tidak akan mampu menjawabnya kecuali hanya dugaan-dugaan. Apalagi dalam hal-hal yang ghaib. Bagaimanakah setan itu? Seperti apakah malaikat itu? Kapan hari kiamat itu? Manusia tentu tidak bisa menjawabnya.
Berdasar kesadaran akan kelemahan dan serba kurangnya yang ia peroleh dari proses berfikir (proses aqliyyah) itu, maka akan dihasilkan pola pikir Islam, maka ia menyerahkan pengaturan hidupnya kepada hukum dan peraturan Allah. Dimana Allah Maha Tahu yang terbaik untuk hamba-hambanya. Ia punya keyakinan bahwa tunduk pada aturan produk manusia hanya akan mendatangkan kesengsaraan. Allah berfirman : “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu. Boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui sedangkan kalian tidak mengetahui” (QS. Al Baqarah : 216). Jadi ketika berfikir yang menggunakan akalnya selalu dilandasi dengan aqidah Islam yang dimilikinya, akan terwujudlah aqliyyah Islamiyyah (pola pikir Islam).
Ia akan selalu mencari tahu dengan proses berfikirnya (proses aqliyyah), Apakah perbuatannya dilarang Allah atau tidak. Kalau dilarang , maka akan ditinggalkan, jika boleh mungkin akan ia lakukan bila dibutuhkan. Sehingga tidak ada satupun baginya perbuatan yang bebas nilai. Suatu kaidah Syara : Setiap perbuatan manusia terikat pada hukum syara’ melekat dalam dirinya. Ia menyadari bahwa semua yang ada di dunia ini adalah makhluk ciptaan Allah, dan tujuan diciptakannya di bumi ini adalah beribadah kepada Allah. Ia akan hati-hati dalam menjalani kehidupan ini agar sesuai dengan kehendak Kekasihnya sekaligus Penciptanya. Ia juga yakin bahwa semua perbuatannya akan dimintai pertanggung jawaban kelak, baik yang ia lakukan sembunyi sembunyi maupun ketika dilihat orang. Semua tidak ada yang lepas dari pengawasan dan penglihatan Allah. Selalu terngiang-ngiang dalam ingatannya Firman Allah QS Ath Thur :21 yang artinya “Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakan”, QS. Almuddatsir :38, yang artinya :”Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya."
Ibu yang tangguh akan menggunakan akalnya untuk mengamati perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh anaknya. Bagaimana anak makan, minum, berbicara, bagaimana cara mengungkapkan rasa amarahnya, kegembiraannya, ekspresi wajahnya. Ia gunakan akalnya untuk menganalisa potensi yang dimiliki anaknya. Apakah anaknya punya rasa ingin tahu yang besar? Anak mudah menghafal, percaya diri, mudah adaptasi, aktif dan lain-lain. Ia juga berfikir keras tentang apa yang akan dilakukan dengan potensi yang dimiliki anaknya. Dengan akalnya dia juga akan membuat langkah-langkah perbaikan secara sistematis disertai dengan pemilihan cara dan penggunaan sarana yang tepat, sehingga ia tidak malas berfikir, selalu penasaran, banyak bertanya untuk kemajuan pendidikan anaknya.
Ibu yang tangguh ketika memenuhi tuntutan kebutuhan jasmaninya (makan, minum) maupun naluri-nalurinya (memiliki harta, memiliki anak), tak lepas pula ia mengikatkan dengan Aqidah Islam. Dari sini akan lahir apa yang disebut pola sikap Islam (nafsiyyah Islamiyyah) Misalnya dalam memenuhi salah satu naluri melestarikan jenisnya (gharizah nau’), ia mengkaitkan aktifitasnya dalam mendidik anak dengan keyakinanya (aqidahnya). Ia sadar bahwa anak adalah amanah dari Allah yang harus dipertanggung jawabkan, maka akan melahirkan sikap bahwa ia akan melakukan penjagaan terhadap anak tersebut dan akan mendidiknya sebaik-baiknya sebagai kehendak Sang Pemberi Amanah. Contoh nafsiyyah Islam yang lain adalah Ibu senantiasa berupaya sungguh-sungguh agar kebutuhan anaknya terpenuhi (gizi makan, minum dan lain-lain), ibu selalu menginginkan kehidupan anaknya menjadi sholeh, ingin anaknya memiliki prestasi yang membanggakan, ingin kehidupan anaknya lebih baik dari dirinya, ibu memiliki kasih sayang yang luas.
Proses pengkaitan antara dorongan yang muncul dari kebutuhan jasmani serta naluri ini disebut nafsiyyah Islamiyyah. Ibu yang memiliki pola pikir Islam (Aqliyyah Islam) dan pola sikap Islam (Nafsiyyah Islam) disebut berkepribadian Islam atau bersyakhshiyyah Islam.
Ibu yang beraqliyyah Islam, dalam menjalani step-step mendidik, mengarahkan anaknya selalu ia lekatkan dengan perintah robbnya dan akan mencari bagaimana Islam memberikan petunjuk di dalam mendidik anak usia dini. Ketika menjumpai anaknya berbuat salah, ia berfikir dulu sebelum mengambil sikap apapun. Ia cermati, kenapa si anak melakukan aktivitas yang menurut orangtua salah? Apakah perbuatan itu dia sengaja atau tidak, dia tahu apa tidak bahwa perbuatan itu salah, apakah fatal atau tidak akibatnya, apakah anak hanya meniru orang lain yang tanpa mengerti maksudnya?. Apakah ibu layak memarahi ketika ternyata perbuatan itu tidak disengaja oleh anak atau hanya meniru tanpa tahu maknanya? Misalnya anak berkata kotor saat masih balita. Pada anak usia dini, ia juga menyadari bahwa proses berfikir belumlah sempurna, tepatkah ibu menghukum anak dengan pukulan? Ibu yang tangguh akan berfikir bahwa belum waktunya kita memberikan hukuman fisik semacam pukulan karena ia tahu bahwa tuntunan hadits membolehkan orangtua menghukum secara fisik ketika umur anak mencapai 10 tahun, itupun ketika cara-cara lain sudah tidak mempan. Ia akan bertindak cukup dengan menjelaskan pada anak tentang efek tidak disenangi pada orang lain. Seberapa besarnya kesalahan anak usia dininya, dia akan cari solusi yang pas dan tidak melanggar hukum Allah, agar tidak berefek buruk pada anaknya kelak di kemudian hari.
Demikian pula ketika anak menghilangkan barang berharga seperti handphone. Ibu tangguh akan memilih bertanya kepada anak, kemana tadi HP di bawa? Hal ini memungkinkan masih bisa dirunut sehingga mungkin diketemukan dari pada marahin anak dengan berteriak-teriak, karena dengan marah tidak bisa HP kembali dan anakpun akan menerima pelajaran buruk yaitu marah bila dikecewakan orang nantinya. Ibu juga tidak akan menipu atau berbohong pada anak, karena hal itu tidak diperkenankan oleh Alloh. Ibu yang punya pola pikir Islam akan memahami apa saja yang dibolehkan dan yang tidak diperbolehkan saat mendidik anak.
Ibu yang beraqliyyah Islam dia akan memahami konsep Ibu di dalam Islam, bahwa Ibu merupakan pendidik pertama dan utama bagi anaknya, dan ini merupakan kewajibannya yang tidak digantikan oleh siapa pun. Ia juga akan mampu menghukumi fakta didasarkan pada aqidah Islam, misalkan air kencing anaknya yang belum makan selain ASI ketika mengenai bajunya. Ia juga tidak berupaya untuk menghilangkan hambatan-hambatan dalam mendidik anaknya. Yah, ia akan jadi ibu yang tangguh, yang memiliki daya juang yang tinggi demi masa depan anak dan ummat manusia secara keseluruhan.
source : http://islamic-center.or.id