Arti dari kata fitrah adalah manusia dapat menemukan hakikat tanpa memerlukan penalaran atau argumentasi, (yang sederhana ataupun yang rumit). Manusia dengan gamblang mendapatkan hakikat tersebut. Umpamanya, jika manusia melihat sekuntum bunga yang indah dan semerbak baunya, ia mengakui pesona bunga tersebut. Dalam pencerapan ini, ia tidak melihat adanya penalaran. Dengan serta-merta berkata, “Bunga ini elok rupanya”, tanpa memerlukan argumentasi.
Pengenalan terhadap Tuhan (ma’rifatullah) juga merupakan bagian dari jenis pengetahuan fitri. Ketika seseorang menengok ke lubuk hatinya, ia akan melihat cahaya kebenaran. Ia akan mendengar seruan dari sudut sanubarinya. Seruan yang mengajaknya ke arah Sumber Awal, menghampiri ilmu dan kemahakuasaan-Nya di jagad, raya ini yang tanpa tandingan; Sumber Awal yang merupakan kesempurnaan mutlak dan mutlak sempurna. Dalam pengetahuan fitri ini, ia persis seperti melihat keelokan bunga yang tidak memerlukan argumentasi.
Bukti-bukti Hidup atas Kefitrahan Iman kepada Kebenaran;
Barangkali seseorang mengatakan bahwa semua ini hanyalah klaim-klaim belaka, dan metode-metode untuk membuktikan kefitrahan ma’rifatullah tidak tersedia. Kita mungkin dapat mengklaim bahwa kita temukan perasaan seperti ini dalam lubuk-hati kita, namun sekiranya ada seseorang yang enggan untuk menerima ungkapan semacam ini, bagaimana kita dapat memberikan jawaban kepadanya sehingga ia dapat menerima dengan puas?
Dalam menjawab ungkapan tersebut, sebenarnya kita memiliki pelbagai bukti yang tak terbilang jumlahnya dan dapat dijadikan sebagai dalil yang kuat atas kefitrahan tauhid. Begitu gamblangnya bukti-bukti tersebut sehingga mulut pengingkarnya dapat dibungkam.
Bukti-bukti ini dapat disimpulkan ke dalam enam bagian:
a. Fakta Sejarah
Fakta-fakta sejarah yang didasari oleh pernyataan para sejarawan klasik dunia menunjukkan bahwa agama tidak ada di tengah masyarakat. Namun, mereka percaya pada satu Sumber Awal, Ilmu dan Kuasa di jagad yang mereka sembah. Apabila kita menerima aksioma ini, sejarah ini memiliki kaidah universal yang mengatakan bahwa komunitas manusia sepanjang perjalanan sejarah senantiasa berada pada penyembahan akan kebenaran yang tidak mendatangkan kerugian bagi mereka. (pada setiap kaidah universal, terdapat pengecualian).
Will Durant, sejarawan Barat dalam History of Civilization, setelah menyebutkan hal-hal berkenaan dengan kondisi tanpa agama (dalam banyak masyarakat), mengakui suatu kebenaran, bahwa “Dengan adanya asumsi-asumsi yang telah kami sebutkan, kondisi tanpa-agama adalah sesuatu yang langka. Dan keyakinan kuno ini menyatakan bahwa agama adalah teladan yang diyakini oleh masyarakat secara umum dan sesuai dengan kebenaran, dan ini menurut pandangan seorang filsuf merupakan salah satu hukum dasar sejarah dan psikologi. Ia tidak merasa puas dengan satu teori yang mennyatakan bahwa seluruh agama berasal dari hal-hal sia-sia dan batil. Sebaliknya, ia tahu bahwa agama senantiasa bersama sejarah sejak dahulu.”[1]
Masih pada pembahasan yang sama, Durant menambahkan, “Di manakah letak sumber keutamaan yang sama sekali tidak akan pernah hilang dari sanubari manusia ini?”[2]
Dalam Pelajaran-Pelajaran Sejarah, berangkat dari rasa sedih dan geram, Durant berkata lebih tegas lagi, “Agama memiliki seribu jiwa. Setiap kali Anda membunuhnya, ia akan hidup kembali.”[3]
Apabila keyakinan kepada Allah Swt. atau agama memiliki dimensi adat, taqlid, dikte atau propaganda orang lain, niscaya ia tidak bersifat sedemikian umum dan serempak, serta terus berlanjut sepanjang perjalanan sejarah. Hal ini merupakan sebaikbaik bukti atas kefitrahan agama.
b. Argumentasi Para Arkeolog
Tanda-tanda forensik yang masih tersisa (yaitu, kondisi seluruh manusia sebelum adanya invensi tulisan dan penulisan), menunjukkan bahwa masyarakat pra-sejarah memiliki agama. Mereka percaya kepada Tuhan, dan bahkan Hari Kiamat atau kehidupan pasca kematian. Hal itu didasari oleh banyaknya benda-benda kesukaan mereka yang masih tertimbun, dan dapat dimanfaatkan oleh orang-orang yang hidup setelah mereka seperti; me-mumi-kan jasad orang-orang mati, dan membangun kuburan-kuburan berbentuk piramida yang dapat bertahan dalam waktu yang sangat lama untuk mengantisipasi mayat-mayat tersebut supaya tidak terkubur dan tertimbun. Semua ini adalah bukti atas kepercayaan masyarakat silam pada Sumber Awal (Tuhan) dan Hari Akhir (Kebangkitan).
Benar bahwa perilaku-perilaku yang menunjukkan kepercayaan religius mereka ini banyak tercemari oleh khurafat dan takhayul. Akan tetapi, karena pembahasan utama kita kali ini adalah pembuktian adanya kepercayaan religius pada masa-masa pra-sejarah, hal ini dapat dijadikan sebagai bukti yang tak terbantahkan.
c. Kajian-kajian Psikis dan Temuan-temuan Para Psikoanalis
Dimensi spiritual manusia dan kecenderungankecenderungan dasarnya adalah sebuah bukti yang gamblang atas kefitrahan kepercayaan religius. Empat perasaan yang popular (atau empat kecenderungan transendental) dan mendasar yang akhir-akhir ini diintroduksi oleh sebagian psikolog dan psikoanalis sebagai empat dimensi spiritual manusia. Empat perasaan tersebut adalah perasaan kognitif, perasaan estetik, perasaan etik dan perasaan religius.[4]
Di antara empat dimensi spritual manusia yang terkadang juga disebut sebagai kecenderungan kepada kesempurnaan mutlak, kecendrungan terakhir itu mengajak manusia kepada agama. Meyakini adanya Sumber Awal Yang Agung ini tidak memerlukan dalil terpisah. Barangkali, kepercayaan religius ini terkontaminasi dengan khurafat-khurafat, dan membuat seseorang menjadi penyembah berhala, matahari dan bulan. Akan tetapi, pembahasan kita terfokus pada dasar masalah. ( yakni adanya kecenderungan terhadap Tuhan, Sumber Awal, dan Hari Akhir).
d. Kekecewaan Terhadap Propaganda Penentang Agama
Kita menyaksikan propaganda intensif anti-agama dalam lintasan akhir-akhir kurun ini, khususnya yang merebak di belahan bumi Eropa dan berlangsung gencar. Ditinjau dari sisi penyebaran dan penggunaan pelbagai sarana, propaganda ini tidak tertandingi.
Tatkala gerakan sains Eropa (Renaissance) yang diusung oleh kaum cendikia dan politisi memberikan kekuatan kepada mereka untuk melepaskan diri dari hegemoni dan dominasi gereja, gelombang anti-agama[5] ini sedemikian hebat bangkit di Eropa sampai pesan-pesan ateisme muncul ke permukaan. Khususnya penetrasi yang dilakukan oleh para filsuf dan ilmuwan alam membantu mereka untuk mengoncang seluruh fondasi agama, sehingga keberadaan gereja menjadi terpuruk, figur-figur religius Eropa mengasingkan diri, keyakinan kepada wujud Tuhan, mukjizat, Hari Kebangkitan, kitab-kitab suci dipandang sebagai bagian dari khurafat. Akhirnya, mereka membagi perkembangan umat manusia ke dalam empat periode: periode legenda dan mitos, periode agama, periode filsafat, dan periode sains. Berdasarkan klasifikasi ini, masa agama telah lewat dan berlalu dari hadapan kita.
Dan sebagai konsekuensinya, dalam literatur-literatur sosiologi yang telah mengalami kemajuan pesat pada masa kini, disebutkan bahwa pada masa tersebut, masalah ini telah dianggap sebagai sebuah hukum pasti bahwa agama memiliki faktor natural. Kini faktor-faktor tersebut adalah kebodohan, rasa takut, hajat terhadap kehidupan sosial, dan atau masalah-masalah ekonomi. Tentunya, dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di antara para sosiolog.
Benar bahwa agama yang berkuasa pada masa itu adalah gereja Abad Pertengahan. Karena arbitari (penghakiman) yang tanpa belas kasihan dan perlakuan-perlakuan buruk mereka terhadap masyarakat secara umum dan para ahli ilmu alam secara khusus, ketenggelaman dalam gaya hidup aristokrat dan glamor, melupakan tekanan-tekanan yang sedang menimpa orang-orang tertindas. Merekalah yang harus bertanggung jawab atas segala perbuatan tersebut. Akan tetapi, anehnya masalah ini tidak hanya tertuju kepada paus dan gereja, tetapi malah merasuki seluruh agama dunia.
Kaum komunis juga -dengan tujuan melenyapkan agama- turun ke kancah dengan segenap kekuatan. Seluruh sarana propaganda dan pemikiran filsafat mereka dikerahkan untuk mewujudkan sasaran-sasaran propaganda. Mereka berupaya semaksimal mungkin memperkenalkan kepada masyarakat dunia bahwa agama adalah candu bagi masyarakat.
Namun, kita melihat gelombang raksasa anti-agama 101 tidak mampu memadamkan bara dan semangat agama yang mengakar pada lubuk hati manusia. Kecenderungan religius tumbuh bersemi, dan bahkan di negara-negara komunis sendiri. Informasi terakhir menunjukkan adanya peningkatan kecenderungan para penguasa di daerah-daerah ini kepada agama, khususnya kepada Islam. Bahkan di negara-negara komunis yang kendati masih berupaya untuk melenyapkan agama, justru menunjukkan hasil yang sebaliknya, halnya yang menggejala adalah gerakan penyebaran agama.
Masalah ini mengindikasikan dengan baik bahwa agama memiliki akar di dalam fitrah setiap manusia. Oleh karena itu, agama dapat menjaga dirinya dalam menghadapi gelombang propaganda yang menentang keberadaanya. Kalau bukan karena mengakarnya agama ini pada diri manusia, niscaya agama hingga kini sudah dilupakan orang.
e. Pengalaman Pribadi dalam Getimya Kehidupan
Alangkah banyaknya orang yang belajar tentang kebenaran dalam kehidupan mereka ketika ia menghadapi kesulitan-kesulitan yang menyita energi mereka, seperti badai cobaan hidup yang keras dan keterperangkapan dalam petaka. Dalam menghadapi semua ini, seluruh gerbang penyelamat lahiriah tertutup di hadapannya. Ketika itulah ia merasakan sisa-sisa harapan yang hangat dari kedalaman jiwa dan perhatiannya tertuju kepada Sumber Awal (Tuhan) yang mampu memecahkan seluruh kesulitan yang sedang dihadapinya. Hati bergantung kepada-Nya dan berupaya mencari pertolongan dari-Nya.
Bahkan kondisi ini pun dapat dirasakan oleh orang-orang yang berada dalam keadaan normal dan tidak memiliki kecenderungan religius. Mereka juga mengambil manfaat dari reaksi-reaksi ruh ini tatkala penyakit-penyakit akut dan kekalahankekalahan getir menerpa kehidupan mereka.
Semua ini adalah bukti nyata atas realitas yang ditegaskan oleh Al-Qur’an tentang kefitrahan ma’rijatullah dan keorisinilan kecenderungan religius pada diri manusia. Dari sudut hati dan lubuk jiwa yang paling dalam ia mendengarkan dengan kuat dan ekspresif seruan lembut dan penuh kasih, yang menuntunnya ke arah Realitas Agung Yang Mahatahu, Mahaperkasa, dan Mahatinggi, yang bernama Allah atau Tuhan. Boleh jadi seseorang memberikan nama lain atas-Nya. Persoalannya tidak terletak pada pemberian nama, tetapi terfokus pada iman kepada realitas tersebut.
Para pujangga merefleksikan inti persoalan ini dalam lirik-lirik syair mereka yang indah:
Tiada yang mengingkari gejolak cinta kepada-Mu,
Pelipur mata hati menatap keindahan-Mu,
Gundah dan nestapa tatkala berpisah dari-Mu,
Memerah dalam jiwaku terpatri bara cinta karena-Mu.
Atau dalam syair yang lain:
Dalam relung diriku, aku tak mengenal lelah jiwa siapa?
Aku redup dan Dia dalam kebisingan dan kegaduhan.
f. Kesaksian Para Ilmuan atas Kefitrahan Kecenderungan Religius
Masalah kefitrahan ma’rifatullah bukanlah masalah yang terbatas hanya pada ayat dan riwayat saja. Ucapan-ucapan para ilmuwan, filsuf non-Muslim dan para pujangga dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan dalam masalah ini.
Sebagai contoh, Einstein, ketika memberikan penjelasan detail seputar pembahasan ini berkata, “Satu keyakinan dan agama -tanpa kecuali- ada pada setiap orang. Aku menamakannya ‘Perasaan Religius Penciptaan’. Dalam agama ini, manusia merasakan dirinya begitu kecil tak berharga, menemukan tujuan-tujuan umat manusia dan keagungan yang bersemayam di balik (agama) dan fenomena semesta. Ia melihat dirinya sebagai satu jenis penjara. Terkadang ia ingin terbang meninggalkan sarang, dan seluruh keberadaan ditemukannya dalam bentuk satu realitas. “[6]
Pascal, seorang ilmuwan ternama, berkata, “Hati memiliki argumen-argumen yang tidak dapat dicapai oleh akal.”[7]
William James berkata, “Aku menerima dengan baik bahwa sumber kehidupan adalah religius (hati). Aku juga menerima bahwa formula dan tuntunan-tuntunan praktis filsafat tak ubahnya seperti subjek yang telah diterjemahkan dan teks aslinya diterjemahkan ke dalam bahasa yang lain.”[8]
Max Muller berkata, “Para pendahulu kita, sejak pertama kali menundukkan kepala ke haribaan Tuhan, mereka bahkan tidak mampu memberikan nama untuk Tuhan.”[9]
Di tempat lain, Muller menyampaikan keyakinannya yang bertentangan dengan pendapat main-stream. Ia berkata, “Agama dimulai dengan penyembahan terhadap alam, benda-benda, dan berhala. Setelah itu, penyembahan kepada Tuhan yang satu. Paleontologi (ilmu yang mengkaji tentang kehidupan masa prasejarah dengan menggunakan bukti-bukti forensik) membuktikan bahwa menyembah Tuhan yang satu telah berlangsung semenjak zaman dahulu.”[10]
Seorang ahli sejarah bernama Palutark berkata, “Sekiranya Anda memandang pelataran semesta ini, Anda akan jumpai banyak tempat yang di situ tidak ada data mengenai rekonstruksi, pembangunan, ilmu, industri, politik, dan negara. Akan tetapi, Anda tidak akan menjumpai tempat yang di situ tidak ada Tuhan.”[11]
Samuel Kning dalam bukunya Jame’eh-Syinasi (Sosiologi) berkata, “Seluruh umat manusia memiliki jenis agama. Meskipun para etnolog (ahli yang mengkaji tentang etnis, petualang dan muballig pertama Masehi menyebutkan adanya kaum yang tidak memiliki agama dan kepercayaan. Akan tetapi, setelah itu diketahui bahwa laporan-laporan mereka tidak memiliki landasan.
Penilaian mereka hanya berdasarkan pada indikasi yang beranggapan bahwa agama kaum ini serupa dengan agama mereka.”[12]
Pembahasan ini kami akhiri dengan meminjam ucapan Will Durant, sejarawan terkemuka kontemporer. Ia berkata, “Sekiranya kita tidak berpendapat bahwa agama memiliki akar-akar pada masa pra-sejarah, maka kita tidak akan mengenal sejarah dengan baik-seperti yang kita kenal sekarang ini.”[13]
[1] History of Civilization, Edisi Persia, jilid 1, hal. 87 dan 89.
[2] Idem.
[3] Fitrat, Syahid Mutahhari, hal. 153.
[4] Silakan rujuk Makalah Kuantaim, terjemahan Ir. Bayani, dalam buku, Hess-e Mazhabi ya bo’d-e Chahar-e Ruh-e Insani.
[5] Perlu diketahui bahwa agama yang dimaksud di sini adalah agama Kristen. Karena agama yang mendominasi lingkungan mereka kala itu adalah agama Kristen.
[6] Dnya-i keh Mibinam, dengan ringkasan, hal. 53.
[7] Sair-e Hekmat dar Orupa, jilid 2, hal. 14.
[8] Idem, hal. 321.
[9] Idem, hal. 31.
[10] Fitrat, Syahid Mutahhari, hal. 147.
[11] Muqaddameh-ye Nayayesh, hal. 31.
[12] Jame’eh-Shenasi, Samuel Kning, hal. 191.
[13] History of Civilizations, Edisi Persia, Tarikh-e Tamaddun, jilid 1, hal. 88; Tafsir Payam e Quran, jilid 3, hal. 120,
Oleh: Ayatullah Nashir Makarim Syirazi
source : http://hauzahmaya.com