Isu tahrif (distorsi) Al-Qur'an selalu dituduhkan kepada Syiah, meskipun masalah tahrif ini telah dibantah oleh para ulama Syiah di setiap masa dan generasi sejak ratusan tahun yang lalu.
"Muhammad Anis
Syiah dan Tuduhan Tahrif al-Quran
Setelah membaca tanggapan Bung Fahmi Salim di Eramuslim, saya melihat meskipun ia mengkritik tulisan Bung Haidar Bagir di Republika, namun ia menyampaikannya dengan cukup santun. Tetapi, saat berbicara tentang Syiah, tampak sekali bahwa ia terlalu pede dengan hanya bermodalkan kutipan-kutipan dari satu atau dua buku bacaan.
Tulisannya tersebut menggambarkan betapa tidak mengertinya ia tentang mazhab Syiah. Pun menunjukkan betapa sempit dan terkungkungnya pengetahuannya hanya pada pandangan kelompoknya sendiri, dan kurangnya kemauannya untuk belajar tentang pandangan mazhab lain secara proporsional. Sebagaimana kata Jalaluddin Rumi dalam Matsnawi, "Untuk berbicara, orang harus lebih dahulu mendengar. Maka, belajarlah berbicara dengan mendengar".
Karenanya, sebelum berkomentar dan menilai mazhab Syiah, semestinyalah ia belajar atau minimal mendengar terlebih dahulu dengan baik tentang mazhab ini dari sumbernya secara adil. Karena, sebagaimana kata Ibn Hajar al-Haitsami, "Mazhab kami benar, tetapi mengandung kekeliruan. Mazhab selain kami keliru, tetapi mengandung kebenaran."
Tahrif Al-Qur'an
Isu tahrif (distorsi) Al-Qur'an selalu dituduhkan kepada Syiah, meskipun masalah tahrif ini telah dibantah oleh para ulama Syiah di setiap masa dan generasi sejak ratusan tahun yang lalu.
Mengenai pernyataan Adnan al-Bahrani yang dikutip Bung Fahmi, semakin memperlihatkan kepedeannya dengan hanya membaca buku kutipan. Padahal, kalau ia mau, buku ini dengan mudah bisa diperoleh di internet. Buku Adnan tersebut berjudul asli 'Masyariq asy-Syamus ad-Duriyah fi Ahaqiyah Madzhab al-Akhbariyah'. Di dalamnya, Adnan mengatakan bahwa persoalan tahrif tersebut merupakan "konsensus firqah al-muhiqah dan sesuatu yang asasi dalam mazhab mereka" (hal. 126). Sayangnya, kata 'firqah al-muhiqah' kemudian diartikan sebagai Syiah secara umum. Padahal, jelas maksud Adnan hanya sebagian, yaitu merujuk kepada kaum Syiah Akhbariyah, sebagaimana yang tertera gamblang dalam judul bukunya. Selain itu, pada halaman berikutnya, Adnan mengatakan bahwa ulama-ulama Syiah seperti al-Murtadha, ash-Shaduq, dan sebagainya menentang isu tahrif tersebut. Ini menunjukkan bahwa Adnan tidak memaksudkan pernyataannya itu untuk Syiah secara umum.
Mengenai an-Nuri dalam kitabnya 'Fashlul Khitab' itu, lagi-lagi Bung Fahmi kepedean dengan hanya mengutip tulisan Ahmad Sa'ad Al-Ghamidi. Berikut saya kutipkan pernyataan murid an-Nuri, Syaikh Agha Buzurg Tahrani, yang menuturkan bahwa an-Nuri berkata, "Saya telah keliru memberi judul buku tersebut. Semestinya saya beri judul: Fashlul Khitab fi Adami Tahrif al-Kitab. Karena, dalam buku ini saya telah membuktikan bahwa Al-Quran adalah wahyu Ilahi yang tidak mengandung tahrif, baik penambahan maupun pengurangan, sejak dia dikumpulkan hingga sekarang. Sedangkan kumpulan pertama Al-Quran sampai kepada kita dengan tingkat kemutawatiran yang meyakinkan. Saya telah lalai untuk menjelaskan dengan tegas di banyak tempat dalam kitab tersebut, sehingga banyak kritik dan celaan yang ditujukan kepada saya. Bahkan, karena kelalaian tersebut, penegasannya menjadi sebaliknya. Saya hanya memberi isyarat tentang tujuan saya yang sebenarnya pada halaman 22. Sebab, yang penting adalah keyakinan bahwa tidak ada ayat lain selain yang terdapat dalam Al-Quran di tangan kita".[Syaikh Rasul Ja'fariyan, "Ukdzubah Tahrif al-Qur'an Baina asy-Syiah wa as-Sunnah", hal. 137]
Mengenai riwayat-riwayat lainnya, sebagian mesti dipahami sebagai tahrif maknawi (distorsi kontekstual), bukan tahrif lughawi (distorsi tekstual). Hal ini tampak pada riwayat dari Imam Muhammad al-Baqir, "Di antara ulah mereka yang suka membuang Al-Qur'an adalah membiarkan huruf-hurufnya, tetapi mengubah hukum-hukumnya."[Al-Kulaini, Al-Kafi, jil. 8, hal. 53]
Namun demikian, bila ada riwayat yang mengindikasikan tahrif lughawi, maka hal ini telah dibantah oleh jumhur ulama Syiah. Sayid Muhsin al-Amin mengatakan tentang tahrif yang dinisbatkan pada Syiah, "Itu adalah bohong dan dusta. Para ulama Syiah dan para muhadis mereka menyatakan yang sebaliknya." [Sayid Muhsin al-Amin, yan asy-Syi'ah, jil. 1, hal. 46 dan 51]
Bahkan hal ini ditegaskan pula oleh seorang ulama besar Ahlusunah, Rahmatullah al-Hindi, "Sesungguhnya Al-Qur'an al-Majid, di kalangan jumhur Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah, adalah terjaga dari perubahan dan pergantian. Apabila ada di antara mereka yang mengatakan adanya tahrif pada Al-Qur'an, maka yang demikian itu telah mereka tolak dan tidak mereka terima." [Rahmatullah al-Hindi, Izh-harul Haq, jil. 2, hal. 128]
Saya senang mendengar bahwa isu tahrif di kalangan Ahlusunah, seperti riwayat Ibnu Majah tersebut, telah dibantah oleh Bung Fahmi. Untuk itu, saya juga menunggu argumen bantahan lanjutan untuk riwayat-riwayat Ahlusunah berikut:
1. Khudzaifah berkata, "Pada masa Nabi, Saya pernah membaca Surat Al-Ahzab. Tujuh puluh ayat darinya saya sudah agak lupa bunyinya, namun saya tidak mendapatinya di dalam Al-Qur'an yang ada saat ini."[Suyuthi, Durr al-Mantsur, jil. 5, hal. 180]
2. Ibn Mas'ud telah membuang surat Muawidzatain (an-Nas dan al-Falaq) dari mushafnya dan mengatakan bahwa keduanya tidak termasuk ayat Al-Qur'an. [Al-Haitsami, Majma az-Zawa'id, jil. 7, hal 149; Suyuthi, Al-Itqan, jil. 1, hal. 79]
3. Umar bin Khattab berkata, "Apabila bukan karena orang-orang akan mengatakan bahwa Umar menambah ayat ke dalam Kitabullah, maka akan aku tulis ayat rajam dengan tanganku sendiri." [Shahih Bukhari, bab Syahadah Indal Hakim Fi Wilayatil Qadha; Suyuthi, Al-Itqan, jil. 2, hal. 25 dan 26; Asy-Syaukani, Nailul Authar, jil. 5, hal. 105; Tafsir Ibnu Katsir, jil. 3, hal. 260]
Laknat Bani Umayah Terhadap Ali bin Abi Thalib Sekali lagi, Bung Fahmi terlalu pede dengan hanya mengutip tulisan Shallabi. Mengenai Al-Madaini yang kata Shallabi dinilai tak bisa dipercaya oleh hampir semua pakar dan imam hadis Ahlusunah, adz-Dzahabi dalam kitabnya Siyar A'lami Nubala justru berkata sebaliknya, "Ia memiliki pengetahuan yang menakjubkan tentang sejarah, peperangan, nasab, dan peristiwa-peristiwa di tanah Arab. Ia jujur (shadiq) dalam menyampaikannya. Ia seorang alim dalam isu seputar penaklukan (futuh), peperangan (maghazi), dan syair. Ia seorang yang jujur (shadiq) dalam hal itu."
Saya rasa Bung Fahmi tentu tahu bahwa Adz-Dzahabi adalah salah seorang imam rijal hadis Ahlusunah kenamaan. Namun demikian, saya juga ingin menambahkan riwayat tentang pelaknatan Ali tersebut dari sumber-sumber yang lain, di antaranya:
1. Suyuthi berkata, "Pada zaman Bani Umayyah terdapat lebih dari tujuh puluh ribu mimbar untuk melaknat Ali bin Abi Thalib, sebagaimana yang telah ditetapkan Muawiyah." [Ibn Abil Hadid al-Mu'tazili, Syarh Nahjul Balaghah, jil. 1, hal. 356].
2. Ibn Abdu Rabbih berkata, "Ketika Muawiyah melaknat Ali dalam khutbahnya di Masjid Madinah, Ummu Salamah segera menyurati Muawiyah, "Sungguh engkau telah melaknat Ali bin Abi Thalib. Padahal, aku bersaksi, Allah dan Rasul-Nya mencintainya." Namun, Muawiyah tidak peduli dengan kata-kata Ummu Salamah itu. [Ibn Abdu Rabbih, Al-Iqdu al-Farid, jil. 2, hal. 301 dan jil. 3, hal. 127].
3. Yaqut al-Hamawi berkata, "Atas perintah Muawiyah, Ali dilaknat selama masa kekuasaan Bani Umayyah dari Timur hingga Barat, di mimbar-mimbar masjid." [Yaqut al-Hamawi, Mu'jam al-Buldan, jil. 1, hal. 191]
Sebagai penutup, saya ingin mengatakan kepada Bung Fahmi bahwa persatuan itu bukan dibentuk dengan cara memaksa untuk sama. Ini namanya hegemoni dan sewenang-wenang. Persatuan dan persaudaraan hanya bisa terwujud melalui sikap toleran terhadap perbedaan. Selain itu, negeri ini juga bukan negara agama, sehingga tidak semestinya diklaim sebagai milik mazhab tertentu. Wallahu a'lam.
*Kandidat Doktor Pemikiran Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
source : www.abna.ir