Memahami dan mengelaborasi prinsip-prinsip teoretis persatuan Islam, tak diragukan lagi, merupakan tugas yang sangat penting. Namun, secara praktis, perwujudan akibat-akibat dari rangkaian prinsip tersebut, bagaimana pun, acapkali diabaikan.
Makalah ringkas berikut ini menyuguhkan daftar yang memuat sepuluh cara praktis untuk menghidupkan dan mengembangkan budaya persatuan. Semua itu meliputi perluasan batas-batas toleransi, tidak memfokuskan diri pada perincian poin-poin yang diperselisihkan, serta melampaui batas-batas kesukuan (etnis). Melalui upaya praktis dalam arah ini, diharapkan seruan al-Quran untuk membangun persatuan Islam dapat diwujudkan.
Panorama yang terhampar senantiasa mengundang rasa takjub: orang-orang yang beribadah haji, yang berasal dari latar belakang dan suku yang berbeda-beda, saling berdiri bahu membahu dalam balutan selembar kain putih bersahaja seraya menanggalkan seluruh jenis penghalang duniawi -seperti kekayaan, profesi, asal-usul geografis, kelas sosial, pendidikan, atau apapun yang sejenisnya. Gambaran abadi seputar ibadah haji ini telah menjadi perlambang dari persatuan umat [Islam] dalam keragamannya ini.
Namun, sekalipun kita mengarah pada perjalanan ini seumur hidup, tetap saja muncul tantangan: bagaimana kita mempertahankan budaya persatuan yang begitu mencolok dalam ibadah haji ini? Bagaimana kita menjaga keutuhan ikatan persaudaran laki-laki dan perempuan untuk mencapai tujuan-tujuan kita sebagai umat (ummah), khususnya di Amerika Utara, di mana keragaman kita bahkan jauh lebih mencolok ketimbang di kawasan manapun di dunia?
1. Memahami persatuan kaum Muslim bukan sebagai sebuah pilihan
Ungkapan yang menyatakan bahwa kaum Muslim telah mereduksi Islam menjadi serangkaian ritual belaka serta mengabaikan ajaran-ajaran pentingnya barangkali sudah menjadi klise. Kendati memang penting untuk melaksanakan lima rukun Islam, misalnya, namun kita juga tidak dapat mengabaikan aspek-aspek dasar keimanan lainnya yang menekankan persaudaran (brotherhood/sisterhood).
Menurut al-Quran dan hadis nabi Muhammad Saw, persatuan kaum Muslim merupakan sebuah kewajiban (fardh). Perhatikanlah rujukan-rujukan di bawah ini:
Al-Quran menyatakan:
Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. (QS. al-Hujurat [49]: 10)
Juga menyatakan:
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (QS. Ali Imran [3]: 103)
Dalam sebuah hadis, diriwayatkan, "Dalam kecintaan, kebaikan, dan kasih sayang antara satu sama lain, orang-orang yang beriman ibarat anggota tubuh manusia; manakala salah satu anggota tubuh terluka, maka anggota tubuh lainnya akan ikut merasakannya dengan mengalami demam."
2. Merefleksikan ibadah haji sebagai momen persatuan kaum Muslim
Manfaatkanlah momen ini secara personal, juga dalam kehidupan keluarga dan komunitas Anda, untuk mengingatkan kaum Muslim tentang bagaimana ibadah haji menjadi faktor pemersatu kaum Muslim. Adakanlah pertemuan keluarga untuk membicarakan topik ini. Selenggarakanlah seminar di masjid Anda untuk membahas tentang bagaimana ibadah haji menjadi simbol yang sangat indah bagi persatuan kaum Muslim. Pastikan para pembicara dalam seminar yang Anda selenggarakan itu terdiri dari kalangan yang pernah menunaikan ibadah haji dan dapat membuktikan fakta ini. Juga, bincangkan tentang bagaimana mempraktikkan pelajaran-pelajaran seputar persatuan yang tercermin dari ibadah haji di tengah komunitas Anda sepanjang tahun, yang diakhiri dengan merumuskan sebuah rencana-aksi yang dapat diimplementasikan.
3. Belajar Bertoleransi terhadap Sudut Pandang Lain
Bukankah menarik kala kita dapat menghadiri kelas-kelas di kampus atau berbicara dengan para rekan kerja serta mendiskusikan sejumlah isu seraya siap untuk berbeda pendapat dengan mereka? Namun, sewaktu sebagian dari kita melangkah memasuki masjid atau sarana komunitas Muslim, seluruh toleransi semacam itu tampaknya telah dicampakkan jauh-jauh.
Bertolak belakang dengan kepercayaan umum, Islam merupakan keimanan yang ekstensif dan luas, dan Anda dapat menjumpai sebentang ranah pandangan ilmiah seputar beragam isu, mulai dari bagaimana menempatkan tangan kita dalam shalat hingga apakah kaum Muslim seyogianya berpartisipasi dalam proses politik di Amerika atau tidak. Jika para ulama kita, baik di masa lalu maupun pada masa sekarang, telah memperlihatkan toleransi semacam itu terhadap perbedaan pandangan seputar berbagai isu, lantas siapakah kita -sebagai Muslim rata-rata yang tidak memiliki tingkat pengetahuan yang sama dengan mereka- sehingga cenderung mengekspresikan sikap intoleran terhadap sudut pandang lain?
Untuk memahami poin ini secara mendalam, saya rekomendasikan untuk membaca buku karya Dr. Yusuf al-Qardhawi yang berjudul Islamic Awakening Between Rejection and Extremism.
4. Belajar Mengritik tanpa Melukai Perasaan
Cara sejumlah Muslim mengritik satu sama lain mengesankan bahwa mereka sedang membicarakan musuh Islam ketimbang saudara seagama mereka sendiri. Jenis perilaku bebal ini merupakan sebuah cara yang niscaya akan menciptakan kemarahan, rasa sakit hati, dan perselisihan. Ini bukanlah rute perjalanan menuju persatuan.
Kita harus mempelajari adab (etiket) mengritik yang santun, apakah itu ditujukan pada individu Muslim ataupun para pemimpin kita. Memahami dan mengimplementasikan hal ini tidak hanya akan membantu memecahkan masalah secara praktis, tapi juga akan memunculkan kepekaan yang lebih besar terhadap [pentingnya] persaudaraan di tengah komunitas.
Jika Anda merasa bahwa sikap kritis Anda terhadap seseorang di masa lalu tergolong kasar atau melukai perasaan, doakanlah saudara Anda itu -karena Rasulullah saw mengatakan bahwa doa menambah kecintaan di antara manusia- serta temuilah dirinya untuk meminta maaf.
4. Terdapat apa yang disebut dengan "fikih prioritas"
Fikih prioritas secara esensial bermakna bahwa terdapat sejumlah aspek dalam Islam yang lebih penting ketimbang yang lain. Sebagai contoh, tentunya lebih penting bagi kaum Muslim untuk mendirikan shalat ketimbang apakah di dalam masjid harus ada tirai pemisah antara laki-laki dan perempuan atau tidak.
Mengetahui apa yang seharusnya menjadi prioritas akan membantu kita terhindar dari menjadikan isu-isu keimanan sekunder sebagai faktor perpecahan di tengah komunitas. Para pemimpin umat Islam pada khususnya, seyogianya tidak hanya memahami hal ini melainkan juga menjelmakannya di tengah komunitas mereka di belahan Amerika Utara, sehingga perbedaan-perbedaan kecil tidak sampai menghancurkan gagasan persatuan umat Islam.
5. Jangan Menuduh Kafir Siapapun
Fenomena menuduh saudara seimannya sebagai kafir yang benar-benar mengerikan ini harus diakhiri sekarang juga jika kita ingin menciptakan iklim yang kondusif bagi persatuan. Tuduhan kafir merupakan cara yang meyakinkan untuk mengucilkan individu dari komunitas Muslim. Kita harus ingat bahwa kaum Muslim di Amerika Utara berasal dari berbagai latar belakang sosio-ekonomi dan budaya, entah mereka dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan Islam ataupun dikarenakan pindah agama (menjadi Muslim). Jika seseorang mengungkapkan sejumlah gagasan yang tidak sejalan dengan nilai-nilai Islam, maka koreksilah dirinya dengan cara lembut. Tuduhan kafir hanya akan menyulut kebebalan, kegusaran, dan kekeraskepalaan, sekaligus menghina dan mempermalukan mereka.
Rasulullah Saw mengingatkan bahwa jika seseorang menuduh selainnya sebagai kafir dan orang yang dicap semacam itu bukanlah seorang kafir, maka individu yang melontarkan tuduhan itu dianggap kafir. Berdasarkan peringatan ini, tidakkah menyedihkan bahwa sekarang ini terdapat sebuah organisasi di Mesir yang menyebut dirinya "Kelompok yang Mengkafirkan Selainnya" (Jamaa'ah al-Takfir wa al-Hijrah).
6. Merangkul Semua Kalangan dengan Melintasi Batas-batas Kesukuan
Alhamdulillah, praktik jahiliyah berupa upaya mendirikan masjid-masjid yang bernuansa kesukuan di Amerika Utara, perlahan tapi pasti, mulai lenyap. Kendati demikian, jalan yang harus ditempuh masih cukup panjang. Seluruh institusi, fungsi, dan komunitas pada umumnya harus menjadi lebih beragam secara etnis dan terbuka terhadap kalangan yang membutuhkan serta memperhatikan seluruh Muslim tanpa melihat latar belakangnya. Para pemimpin dan individu Muslim memiliki kewajiban untuk meyakinkan bahwa tak seorang Muslim pun, tanpa menghiraukan latar belakang kesukuannya, merasa disisihkan dari komunitas, tidak dipedulikan, atau diabaikan.
Ini hanya dapat dilakukan oleh para pemimpin dan individu Muslim dengan menempuh langkah pertama dan merangkul kaum Muslim yang barangkali secara tradisional dikucilkan lantaran adanya semangat kesukuan dalam masjid atau institusi lain. Tentunya itu tidak cukup dilakukan hanya dengan membuka pintu bagi semua kalangan. Sebuah ikhtiar langsung harus dilakukan untuk mendapatlan umpan balik, masukkan, dan dukungan dari seluruh kaum Muslim sehingga mereka merasa menjadi bagian dari komunitas.
Selain itu, cara yang lebih personal dalam merangkul semua pihak adalah dengan mengundang kaum Muslim dari berbagai latar belakang [kesukuan] untuk sama-sama menyantap hidangan di rumah Anda. Bila memungkinkan, perluaslah pula undangan makan bersama Anda ke kalangan non-Muslim guna mengenyahkan aral yang melintang serta berbagi [nilai-nilai] Islam.
7. Mencamkan Nasihat yang Maktub dalam Surah al-Hujurat
Surah ke-49 dalam al-Quran al-Karim menyuguhkan tuntunan yang agung seputar jenis perilaku yang seyogianya dihindari kaum Muslim demi tegaknya persatuan Umat Islam. Sebagai contoh, Allah mengimbau kita semua untuk menjauhi perbuatan saling ejek, sikap melecehkan, dan berburuk sangka. Semua itu merupakan ihwal yang cenderung memecah belah umat serta menciptakan kebencian, melukai perasaan, dan perselisihan.
Diskusikanlah tema-tema yang maktub dalam surah al-Hujurat sekaitan dengan perilaku seorang Muslim dalam pertemuan keluarga, ceramah-ceramah, obrolan, lingkaran studi, dan kelas-kelas, baik dengan kawula muda maupun tua di tengah komunitas Anda demi berbagi kearifan Ilahi ini dengan semua kalangan.
Kapan pun Anda ingat bahwa Anda telah melakukan ghibah (membicarakan keburukan) seorang Muslim maupun non-Muslim, camkanlah bahwa Anda mesti meminta maaf kepadanya. Melakukan hal ini merupakan prasyarat untuk menghapus dosa tersebut.
8. Berbagi Kiat-kiat tersebut dengan Audiens yang Lebih Luas
Bagilah kiat-kiat yang disebutkan di atas dengan saudara sesama Muslim di tengah komunitas Anda. Hal ini dapat ditempuh dengan menyarankan kepada khatib (penceramah) shalat Jumat dan Ied untuk memanfaatkan topik dalam artikel ini sebagai bahan ceramahnya. Atau, Anda dapat mencetak dan membagi-bagikannya kepada para jamaah shalat, atau menerbitkannya dalam buletin berkala masjid setempat. Penting pula untuk mendiskusikannya di kalangan Muslim dari berbagai latar belakang guna menghidupkan proses berpikir dan merenung di tengah kaum Muslim.
9. Panjatkanlah Doa Persatuan
Mintalah imam Anda untuk menekankan persatuan sebagai suatu kewajiban Islami dalam khutbahnya serta menyarankan cara-cara praktis yang dapat ditempuh di negeri atau dalam organisasi keislaman Anda. Juga, imbaulah kaum Muslim untuk beribadah haji serta memanjatkan doa khusus bagi persatuan umat Islam. Manakala orang-orang yang berhaji kembali dari ibadahnya di tanah suci, Nabi Saw mengimbau kita untuk menyambut mereka dan meminta mereka untuk memanjatkan doa. Ini merupakan kesempatan lain untuk meminta [dipanjatkannya] doa bagi persatuan umat Islam.
Akhirnya, pastikan bahwa Anda sebagai individu tidak hanya mengupayakan persatuan melainkan juga memanjatkan doa untuknya. Karena, hasil akhir dari seluruh upaya berada di Tangan Allah Swt. (IRIB Indonesia/Taqrib/SL)
source : irib