selama ini jika mendengarkan informasi mengenai Palestina, dibenak kita yang terbetik adalah gerakan intifadah, HAMAS dan Fatah, sementara ada kelompok milisi lainnya yang tidak kalah berperannya dalam upaya memperjuangkan kemerdekaan Palestina, yaitu PFLP: Popular Front for the Liberation of Palestine.
Dalam bahasa arabnya: Al-Jabhah al-Sha`biyyah li-Taḥrir Filasṭin ( ﺍﻟﺠﺒﻬﺔ ﺍﻟﺸﻌﺒﻴﺔ ﻟﺘﺤﺮﻳﺮ ﻓﻠﺴﻄﻴﻦ).
Organisasi ini adalah organisasi pergerakan terbesar kedua di PLO setelah Fatah. Lahir tahun 1967 jauh sebelum HAMAS dibentuk. Sampai saat ini PFLP merupakan gerakan militan rakyat Palestina yg masih sering merepotkan Israel. Media Indonesia jarang mengangkat mengenai keberadaan faksi ini, karena aliran faksi ini adalah Komunisme [Marxisme-Leninisme].
PFLP tumbuh dari Harakat al- Qawmiyyin al- Arab , atau Gerakan Nasionalis Arab ( ANM ) , didirikan pada tahun 1953 oleh Dr George Habash , seorang Kristen Palestina , dari Lida . Pada tahun 1948 , berusia 19 tahun Habash , seorang mahasiswa kedokteran , pergi ke rumahnya kota Lida selama 1948 saat Perang Arab-Israel untuk membantu keluarganya . Sementara ia ada di sana , Angkatan Pertahanan Israel menyerang kota dan sebagai hasilnya sebagian besar penduduk sipil terpaksa meninggalkan , dan berbaris selama tiga hari tanpa makanan atau air sampai mereka tiba di garis depan Arab .
Habash menyelesaikan pendidikan kedokteran di Lebanon di Universitas Amerika di Beirut , lulus pada tahun 1951 .
Dalam sebuah wawancara dengan wartawan AS John K. Cooley , Habash mengidentifikasi kekalahan Arab oleh Zionis Israel - Inggris -AS merupakan keterbelakangan kita sendiri di dunia Arab. Dia menyerukan total pembangunan kembali masyarakat Arab menjadi masyarakat abad kedua puluh .
ANM ini didirikan pada semangat nasionalis, "Pandangan Che guevara dari manusia revolusioner", "Sebuah generasi baru manusia harus muncul , antara orang-orang Arab seperti di tempat lain . Ini berarti menerapkan segala daya manusia untuk realisasi", kata habash.
Pembentukan PFLP
ANM membentuk cabang-cabang bawah tanah di beberapa negara Arab, termasuk Libya, Arab Saudi dan Kuwait yang saat itu masih di bawah pemerintahan Inggris. ANM didirikan Abtal al-Audah sebagai kelompok komando pada tahun 1966. Setelah "Perang Enam Hari" pada Juni 1967, kelompok ini bergabung pada bulan Agustus dengan dua kelompok lain, "Youth for Revenge" dan Ahmed Jibri yang didukung Palestina Liberation Front, untuk membentuk PFLP, dengan Habash sebagai pemimpinnya.
Pada awal 1968, PFLP telah melatih sekitar 3000 gerilyawan. Di dukungan keuangan oleh Suriah serta bermarkas di sana. Salah satu kamp pelatihan berbasis di as-Salt, Yordania.
Pada tahun 1969, PFLP menyatakan dirinya sebuah organisasi Marxis-Leninis, tetapi tetap setia kepada Pan Arabisme, melihat perjuangan Palestina sebagai bagian dari pemberontakan yang lebih luas terhadap imperialisme Barat, yang juga bertujuan untuk menyatukan dunia Arab dengan menggulingkan rezim "reaksioner". Hal ini diterbitkan surat kabar, al-Hadaf (The Target, or Goal), dengan editorial Ghassan Kanafani.
Operasi PFLP menjadi terkenal di akhir 1960-an dan awal 1970-an untuk serangkaian serangan bersenjata dan pembajakan pesawat, termasuk pada target non-Israel. Brigade Abu Ali Mustapha juga mengaku bertanggung jawab atas beberapa serangan bunuh diri selama Intifada Al-Aqsa
Perpecahan Organisasi
Pada tahun 1967, Palestinian Popular Struggle Front (PPSF) memisahkan diri dari PFLP.
Pada tahun 1968, Ahmed Jibril memisahkan diri dari PFLP untuk membentuk PFLP- General Command (PFLP-GC).
Pada tahun 1969, Front Demokratik untuk Pembebasan Palestina (DFLP) memisahkan diri dan seolah-olah beraliran "Maois", organisasi di bawah Nayef Hawatmeh dan Yasser Abd Rabbo awalnya bernama PDFLP.
Pada tahun 1972, Front Revolusi Rakyat untuk Pembebasan Palestina (PFRLP) dibentuk setelah memisahkan diri dari PFLP.
Pada tahun 1975 Wadie Haddad wakil dari George Habas diusir dari PFLP karena menolak perintah untuk menghentikan serangan dan operasi penculikan di luar negeri. Haddad juga telah diidentifikasi dalam sebuah dokumen arsip Soviet sebagai agen intelijen KGB.
Profil Dr. George Habash
Habash lahir 1 Agustus 1925 di kota Lydd, Palestina. Saat itu, Palestina masih di bawah jajahan Inggris. Masa kecil Habash sangat dipengaruhi situasi negerinya kala itu. Dalam kurun waktu 1936-1939, Palestina bergolak dalam revolusi pembebasan nasional melawan kolonialisme Inggris. Kejadian itu membekas dalam benak Habash.
Tahun 1944, Habash mendaftar di American University of Beirut (AUB) di Beirut, Lebanon. Di sana ia mengambil jurusan kedokteran. Selama belajar di Universitas, Habash sangat dipengaruhi oleh ide-ide gerakan nasionalis, terutama yang ditiupkan oleh kelompok diskusi “‘Urwah al-Wuthqa”.
Tahun 1948, saat Habash masih belajar di Beirut, sebanyak 700.000-an orang rakyat Palestina, termasuk keluarga Habash, diusir dari rumah mereka oleh Israel. Peristiwa itu dikenang sebagai Hari Nakba (Kehancuran). Bersamaan dengan itu, kaum zionis bekerjasama dengan Haganah, cikal bakal Militer Israel, mengosongkan kota Lydd dengan mengusir paksa penduduknya. Dalam kejadian itu, sebanyak 426 rakyat Palestina dibantai oleh pasukan zionis, termasuk 176 orang yang mencari perlindungan di Masjid Dahmas.
Sebagai respon atas kejahatan Israel itu, Habash bersama sejumlah mahasiswa Mesir berusaha menggalang aksi-aksi pembalasan. Mereka melancarkan pengeboman berskala kecil terhadap Israel di Lebanon dan Suriah. Saat itu, perlawanan Habash lebih banyak didorong oleh dendam.
Tahun 1951, setelah tamat dari Universitas Beirut, Habash bersama dengan Wadi’ Haddad—kelak juga menjadi pendiri FPLP—mendirikan klinik kesehatan bagi pengungsi Palestina di Yordania. Di sini Habash menyaksikan penderitaan rakyat Palestina di pengungsian.
Sejak itu, ia meyakini bahwa pendudukan Israel hanya bisa diakhiri dengan jalan kekerasan. Untuk itu, Habash bersama kawan-kawannya bekas mahasiswa AUB mendirikan Harakat Al-Qawmeyon Al-Arab atau Gerakan Nasionalis Arab (ANM). Gerakan ini berhasil memicu lahirnya organisasi serupa di berbagai negara Arab. Dalam perkembangannya, gerakan ini banyak dipengaruhi oleh gerakan Nasserisme.
Terpikat dengan gerakan Nasserisme, Habash dan kawan-kawannya pernah berusaha mempengaruhi dan menyatukan Partai Bath, partai yang mendengungkan Sosialisme Arab. Sayang, di mata Habash, partai ini menolak perjuangan bersenjata dan jalan kekerasan.
Tahun 1967, menyusul kekalahan negara-negara Arab dalam perang melawan Israel, Habash pun mendirikan Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina (PFLP). Organisasi ini segera berkembang pesat; menjadi organisasi terbesar kedua setelah Fatah (Yasser Arafat).
Secara ideologi, PFLP sangat dipengaruhi oleh nasionalisme Arab dan Marxisme-Leninisme. Sebagian besar generasi pembentuk PFLP dipengaruhi oleh pemikiran Franz Fanon, Lenin, Mao Zedong, Ho Chi Minh, dan Che Guevara. Bagi PFLP, pembebasan Palestina tidak mungkin berhasil tanpa pembebasan Arab secara keseluruhan dari sisa-sisa feodalisme dan penjajahan barat.
Dalam perkembangannya, PFLP makin dipengaruhi oleh model Revolusi Tiongkok dan perlawanan rakyat Vietnam. Di tahun 1969, Habash mengungkapkan, sejak 1967 kami menemukan kebenaran yang tak terbantahkan, bahwa pembebasan Palestina harus mengikuti contoh Tiongkok dan Vietnam.
Menjelang tahun 1970-an, PFLP terkenal ke seantero dunia karena aksi pembajakan pesawat. Aksi pertama dilakukan pada bulan Agustus 1969 terhadap pesawat Boeing 707 milik maskapai Trans World Airlines saat terbang dari Roma menuju Athena. Salah satu pelaku aksi pembajakan ini adalah Laila Khalid, pejuang perempuan PFLP. Aksi kedua dilakukan September 1970 terhadap pesawat El Ai milik Israel.
Mengenai taktik ini, Habash menjelaskan, membajak pesawat lebih berdampak ketimbang membunuh ratusan tentara Israel di medan pertempuran. Dengan taktik pembajakan itu, PFLP berharap mendapat perhatian dunia terkait persoalan Palestina. Maklum, saat itu Perdana Menteri Israel Golda Meir menyangkal keberadaan bangsa Palestina.
Tahun 1972, Habash sangat terpukul atas kematian seorang kawannya, Ghassan Kanafani, yang dibunuh oleh agen Mossad. Sejak itu Habash mulai menderita stroke. Ia sendiri berulangkali menjadi sasaran pembunuhan oleh agen-agen Israel.
Dalam hal politik, Habash bukan tipe kiri yang kaku. Baginya, sepanjang punya tujuan yang sama bagi pembebasan Palestina, maka kerjasama dimungkinkan. Hal itulah yang menyebabkan PFLP sempat menjadi bagian dari Organisasi Pembebasan Palestina (PLO).
Namun, di tahun 1974, Habash membekukan keanggotaan PFLP di PLO setelah mengetahui Arafat bekerja untuk ‘solusi dua negara’. Padahal, FPFLP memperjuangkan pembebasan nasional Palestina. Namun, di tahun yang sama, Habash mendorong pembentukan “Rejectionist Front”, yang menyerukan pengorbanan terhadap setiap jengkal tanah Palestina.
Pada tahun 1987, sehubungan dengan meletusnya gerakan “intifadah”, Habash menyerukan perlunya persatuan nasional bagi seluruh kekuatan politik di Palestina dalam kerangka pembebasan nasional. Ini kemudian ditindaklanjuti dengan Kongres Nasional Palestina di Aljazair, 1988. Ia juga menuntut agar kontradiksi di kalangan kekuatan atau faksi-faksi politik di Palestina diselesaikan secara demokratis.
Tahun 1993, Yasser Arafat mewakili PLO menandatangani Perjanjian Oslo. Perjanjian ini menempatkan Palestina sebagai pemerintahan terbatas, yang disebut Otorita Palestina, yang hanya membawahi Jalur Gaza dan Tepi Barat.
Bagi Habash, perjanjian Oslo telah menghianati tujuan awal perjuangan pembebasan Palestina, yakni mengusir Israel dan mendirikan negara Palestina yang merdeka dan demokratis. Habash pun menuding Arafat telah menjual gerakan pembebasan Palestina.
Sebagai konsekuensinya, FPFLP bersama dengan 10 faksi lainnya, termasuk Hamas, membentuk ‘Blok 10’ untuk menolak perjanjian Oslo. Sejak terbentuknya Otorita Palestina, Habash bersumpah tidak akan pernah menginjakkan kaki di wilayah yang dibawahi oleh Otorita Palestina dan menolak mengakuinya.
Memang, seperti dicatat oleh As’ad AbuKhalil, seorang professor politik di California State University, George Habash adalah antitesa dari Yasser Arafat. “Habash dikenal sangat jujur, sementara Arafat kurang jujur; Habash dikenal konsisten, sementara Arafat kurang konsisten; Habash sangat teguh pada prinsip, sementara Arafat agak licik; Habash sangat sederhana, sedangkan Arafat sangat arogan; Habash toleran dengan perbedaan pendapat, sedangkan Arafat sangat otokratis,” katanya.
Meskipun belum sukses mengusir Israel dari tanah Palestina, Habash tak pernah patah semangat. Bagi As’ad AbuKhalil, Habash mewakili sosok pejuang Palestina yang patut dicontoh. Ia mendedikasikan hidupnya, bahkan setiap detiknya, bagi pembebasan Palestina dan menegakkan martabat kemanusiaan.
Tanggal 26 Januari 2008 lalu, George Habash menghembuskan nafas terakhirnya. Habash—yang juga dikenal dengan nama Al Hakim—meninggal di usia 81 tahun. Jutaan rakyat Palestina menangis begitu mendengar kepergiannya.
Presiden Palestina Mahmoud Abbas mengumumkan masa berkabung nasional selama tiga hari. Pemimpin Hamas, Ismail Haneya, menyebut Habash telah menyerahkan hidupnya dengan berjuang untuk rakyat Palestina. Sementara kelompok Jihad Islam menyebut Habash sebagai tipe pemimpin sejati.
source : abna24