Cendekiawan Yudi Latif mengungkapkan kegotongroyongan menjadi titik spiritualitas dari kemajemukan yang ada di Indonesia. Hal ini disampaikannya pada Stadium General Temu Kebangsaan Orang Muda di Gedung Kementerian Agama RI, Jalan MH Thamrin Jakarta Pusat, Jumat (28/4).
Ia menyebut warna-warna atau keberagaman di Indonesia sesungguhnya lahir dari nilai spiritualitas.
“Dalam ajaran agama, iman disebut dengan percaya. Percaya berasal dari kata ‘bercahaya.’ Jadi orang yang beriman memancarkan cahaya. Secara realitas kita beragam. Segala sesuatu juga berpasang-pasangan, tetapi saling membutuhkan, karena semuanya merupakan pancaran dari sumber cahaya, yaitu Tuhan,” kata penulis buku Negara Paripurna: Historitas, Rasionalitas, Aktualitas Pancasila.
Ia meneruskan, spiritualitas memancar ke dunia dengan berbagai warna. Orang melambangkan dengan warna tertentu, dan dengan warna tersebut orang menganggap Tuhan berpihak padanya.
“Itu tergantung warna atau bejana. Dalam konteks Indonesia, Tuhan hadir lewat bejana kesukuan dan kebangsaan. Karenanya kita bisa menjadi orang Sunda seratus persen, orang Jawa seratus persen, tetapi sekaligus orang Islam seratus persen,” lanjut Yudi di hadapan 120 orang muda dari berbagai suku dan agama.
Pancaran Tuhan akan terlihat bila hati yang melihatnya juga bersih karena di dalam hati yang gelap, satu-satunya yang terpancar hanyalah kegelapan. Sehingga untuk membuat cahaya Tuhan terlihat, hati kita harus dibersihkan. Karena cahaya itu akan terpantul dari hati yang bersih. Dan cara untuk membersihkan adalah dengan spiritualitas.
Yudi menambahkan, spiritualitas berasal dari kata spirtus. Spirtus pada masa lalu sering digunakan sebagai bahan bakar yang memancarkan cahaya.
“Spirtus itu berarti bercahaya. Dari gelap menjadi menyala kembali. Spirtus atau spiritualitas ini akan berdampak menyegarkan kembali jiwa kita,” tambahnya.
Spiritualitas terwujud apabila manusia mampu membangun relasi kasih sayang ke tiga arah, yakni kasih sayang terhadap dunia atas (Tuhan), tengah (sesama manusia), dan bawah (alam semesta).
“Mulai dari kosmologi Batak, atau Illagaligo di Makasar, semua bicara itu yaitu membangun kasih sayang dengan Tuhan, dengan sesama manusia, dan dengan alam semesta. Kalau ketiga ini menjadi satu kita menyebutnya gotong-royong,” papar Yudi.
Gotong royong juga diajarkan di semua suku yang ada di Indonesia. Ada ‘silih asah, silih asih, silih asuh’ di masyarakat Sunda. Lalu di Maluku ada semangat basudara. Orang Melayu ada istilah ‘asap di gunung garam di laut bertemu dalam belanga’. Di Jawa disebut ‘mamayu hayuning bawana’. Di Kristen disebut ‘kasih’. Dan dalam Islam disebut ‘rahmatan lil alamin’.
“Maka titik sentral dari Pancasila benar dan tepat, yaitu saling mengasihi satu sama lain dalam gotong royong,” tandasnya.