Indonesian
Saturday 20th of April 2024
0
نفر 0

Hijab Akal dan Peran Akal

Hijab Akal dan Peran Akal


Dalam masalah keyakinan dan ideologi,  menerima suatu nilai benar atau salah (keberadaan dan ketiadaan) serta baik dan buruk (keharusan dan ketidakharusan) mestilah terlebih dahulu lewat pemikiran dan penganalisaan logikal serta argumen rasional. Al-Qur’an dalam hal ini senantiasa mengajak untuk berpikir, bertadabbur, dan menjauhi taqlid buta dalam berbagai masalah akidah dan keyakinan, serta memandang sangat buruk orang-orang yang tidak menggunakan akalnya (Q.S : Yunus :100).
 
Sedemikian pentingnya peran pemikiran dan analisa rasional sehingga akal yang menjalankan fungsi tersebut dalam riwayat disebutkan sebagai maujud yang paling dicintai Tuhan dan menjadi parameter untuk pahala dan dosa anak-anak Adam.  Ia juga merupakan hujah batin bagi manusia. Imam Shadiq as berkata: “Ketika Tuhan menciptakan akal, Tuhan berkata padanya: menghadaplah, maka akal menghadap, kemudian berkata padanya: membelakanglah, maka akal membelakang, kemudian Tuhan berkata: “Demi kemuliaanku dan keagunganku, tidak aku ciptakan makhluk yang lebih kucintai darimu, denganmu Aku mengambil, denganmu Aku memberi, dan denganmu Aku mengumpulkan (membangkitkan) (Bihâr al-Anwâr Juz 196)
 
Demikian pentingnya fungsi akal bagi manusia maka Al-Qur’an menekankan pada manusia untuk memanfaatkan nikmat besar Tuhan ini dengan cara mengajak manusia menghilangkan dan menghancurkan berhala-berhala yang menjadi penghalang penggunaan  akal supaya akal mampu mengutarakan argumen-argumen  rasional.
 
Membatasi pandangan pada realitas empirik
Sebagian orang membatasi realitas dengan hal dan perkara yang hanya bisa dijangkau oleh persepsi inderawi. Yakni sesuatu itu sama dengan dapat terinderai. Mereka lupa bahwa pada dirinya sendiri terdapat sesuatu yang tidak terinderai. Bukankah ruh dan jiwa itu sendiri adalah substansi yang tidak terinderai? Bukankah juga fenomena kejiwaan, seperti cinta, benci, sayang, dendam, rindu, dan perkara-perkara kejiwaan lainnya bukanlah hal yang terinderai?
 
Ayat-ayat suci Al-Qur’an yang berbicara tentang fenomena penerimaan manusia yang terbatas pada hal-hal yang terinderai saja seperti ayat berikut ini:
 
 1. “Dan berkata orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami (hari akhirat), mengapa tidak diturunkan atas kami malaikat atau kami melihat (dengan mata lahiriah) Tuhan kami…” (Q.S: Al-Furqan :21).

  2.  “Dan ingatlah ketika kamu (Bani Israil) berkata wahai Musa! kami tidak akan beriman padamu hingga kami melihat Allah secara jelas (dengan mata lahiriah)…” (Q.S : Al-Baqarah :55).
 
Orang-orang seperti ini berpandangan empirisme, menolak pandangan-pandangan yang tidak dijangkau oleh panca indera dan pengalaman empirik, yakni mereka tidak meyakini adanya wujud-wujud non-materi dan gaib dari panca indera. Fenomena keyakinan seperti ini sudah ada sejak awal sejarah kehidupan umat manusia dan mencapai puncaknya pada zaman kita sekarang ini dimana pengaruhnya nampak pada prilaku serta sikap hidup masyarakat materialisme.
 
Mengikuti dengan tanpa argumen (taqlid buta)
Terdapat ayat Al-Qur’an yang mencela taqlid buta dan melarang manusia dari perbuatan tersebut, seperti: “Apakah Kami mendatangkan kitab pada mereka sebelumnya dan mereka berpegang? Bahkan mereka berkata sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami dalam satu ummah (tradisi, budaya, kepercayaan), dan sesungguhnya kami juga mendapat petunjuk untuk mengikuti mereka. Dan demikian tidak Kami mengutus dari sebelum kamu dalam suatu Qaryah (daerah) dari seorang pengingat kecuali berkata orang-orang kaya diantara mereka sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami dalam suatu ummah dan sesungguhnya kami melanjutkan peninggalan-peninggalan mereka. (Nabi-nabi mereka) berkata : apakah jika aku membawa petunjuk yang lebih memberi hidayah padamu dari apa yang kamu dapati dari bapak-bapak kamu (kamu juga akan tetap mengingkari)? Mereka berkata (ya!) sesungguhnya kami dengan apa yang kamu diutus dengannya adalah kafir” (Q.S As-Zukhruf : 21-24). Orang-orang seperti ini tidak lagi menggunakan logika dan rasio akalnya, tetapi mereka hanya mencukupkan diri dengan apa yang mereka dapatkan dalam bentuk budaya, tradisi,  dan kepercayaan dari nenek-nenek moyang mereka, meskipun pada dasarnya tradisi dan budaya tersebut sangat bertolak belakang dengan akal sehat mereka.
 
Tapi perlu juga kami kemukakan di sini bahwa taqlid yang dicela oleh agama adalah taqlid buta yang tak berdasar, yang tak memiliki manfaat memperbaiki kehidupan individu dan masyarakat. Sebab tak bisa dipungkiri bahwa dalam kehidupan kita, taqlid itu sendiri banyak memiliki peran dalam menyelesaikan berbagai masalah. Dan merupakan tabiat manusia bahwa taqlid dari orang jahil kepada orang berilmu merupakan keharusan, dan sesuai dengan logika serta akal. Misalnya taqlid orang sakit pada dokter, taqlid orang yang membutuhkan bangunan rumah pada arsitektur, dan dalam konteks agama taqlid orang-orang yang tak belajar fiqhi secara khusus dan mendalam (sampai maqam mujtahid) pada marja taqlid (fuqaha). Model dan cara taqlid seperti ini tidak dicela oleh akal, bahkan akal menjadi dasar logis bertaqlid dalam konteks tersebut.
 
Mengikuti hawa nafsu
Al-Qur’an juga melarang manusia mengikuti hawa nafsu, sebab dengan mengikutinya akal dan rasio menjadi tertutup. Ayat-ayat yang berkenan masalah ini seperti: “Tapi orang-orang zhalim dengan tanpa ilmu  mengikuti hawa nafsu mereka, maka siapa yang dapat memberi petunjuk pada orang yang Allah telah sesatkan? Dan bagi mereka tidak ada lagi penolong” (Q.S Ar-Rum :29). Dan ayat: “Maka jika mereka tidak mengijabah  kamu  (menerima usulan kamu), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanya mengikuti hawa nafsu mereka. Dan siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang mengikuti hawa nafsunya dan tidak menerima petunjuk dan hidayah Tuhan? Dan sesungguhnya Allah tidak akan memberi petunjuk pada orang-orang zhalim” (Q.S : Al-Qishas :50). Pada dasarnya sangat banyak orang-orang yang dengan pikiran dan akalnya mengetahui prinsip-prinsip kebenaran dan kebaikan yang dibawa oleh para nabi-nabi Tuhan alaihimussalam, tetapi karena kepentingan dan kecenderungan mereka untuk mengikuti hawa nafsu mereka, maka kebenaran dan kebaikan yang cahayanya sangat terang ini ditolak dan diabaikan.
 
Kerja dan Tugas Akal
Adapun pekerjaan akal dalam hal kemampuan berargumen dan berdalil, terdapat ayat-ayat Al-Qur’an dalam masalah-masalah tersebut, misalnya kemampuan akal memberi pendekatan yang bersifat rasio dengan sifat inderawi melalui penganalogian. Ayat yang berkenan hal ini seperti: “Kemudian hati-hati kamu sesudah itu keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi, sebab sesungguhnya sebagian dari pada batu, ada yang terbelah dan darinya mengalir sungai-sungai, dan sesungguhnya sebagian lagi dari pada batu, ada yang terpecah dan keluar darinya air, dan sebagian lagi terjatuh dan terjerembab karena takutnya pada Tuhan , (dan adapun hati-hati kamu sama sekali tidak pernah bergetar karena takut pada Tuhan, dan juga tidak pernah menjadi sumber ilmu, pengetahuan dan kasih sayang kemanusiaan), dan Allah tidak pernah lalai dari apa yang kamu lakukan” (Q.S : Al-Baqarah: 74).
 
Juga terdapat ayat-ayat Al-Qur’an yang mengajak berdalil dan berargumen rasional dengan cara memperlihatkan kelemahan dan kekurangan apa yang diperbuat manusia dalam masalah dan subyek tersebut. Seperti ayat: “Katakanlah siapakah Tuhan langit dan bumi? Katakanlah Allah! (kemudian) Katakanlah apakah kamu mengambil auliya (wali-wali) selain Tuhan, yang mana mereka itu tidak memiliki manfaat dan mudharat bagi diri mereka sendiri (sehingga bagaimana hal itu bisa sampai padamu?!) Katakanlah apakah sama orang buta dengan orang melihat? Ataukah sama kegelapan dan cahaya? Apakah mereka menjadikan untuk Allah sekutu-sekutu dikarenakan mereka (sekutu-sekutu tersebut) seperti Tuhan mempunyai suatu ciptaan, dan ciptaan ini serupa mereka?! Katakanlah Allah pencipta segala sesuatu dan Dia adalah Esa serta maha menang” (Q.S : Ar-Ra’d:16). Dan mari kita simak ayat lain yang serupa tentang hal ini dalam kisah Nabi Ibrahim as: “Berkata mereka siapa yang melakukan ini pada tuhan-tuhan kami? Sesungguhnya dia niscaya orang-orang zhalim. Kami dengar seorang pemuda yang dia menyebut tentang berhala-berhala, disebut padanya (namanya) Ibrahim. Berkata mereka datangkanlah ia disaksikan masyarakat, sehingga mereka menyaksikan. Berkata mereka apakah engkau yang melakukan ini pada tuhan-tuhan kami wahai Ibrahim? Berkata (Nabi Ibrahim as)  yang melakukannya adalah yang paling besar di antara mereka ini, maka bertanyalah kamu pada mereka jika mereka  berbicara? Maka merujuk mereka dalam diri mereka, maka berkata mereka sesungguhnya kamu orang-orang zhalim. Kemudian mereka berbalik atas kepala-kepala mereka (menarik kembali pendapatnya, dan melupakan secara keseluruhan  kata hatinya), pada hakikatnya kamu tahu bahwa mereka ini tidak berbicara. Berkata (Ibrahim as) apakah kamu menyembah selain Allah yang tidak memberi manfaat pada kamu sedikitpun dan juga tidak memberi mudharat pada kamu? Uffi atas kamu, dan mengapa kamu menyembah selain Allah, apakah kamu tidak berakal? (Q.S: Al-Anbiyaa:59-67). Yakni apa yang diperbuat manusia dalam masalah ini tidak lain karena akal dan logika sehat mereka tidak bekerja dan berfungsi, sehingga mengambil sekutu untuk Tuhan yang mana sekutu tersebut sendiri tidak mampu memberikan manfaat pada diri mereka sendiri dan juga tidak mampu membuat mudharat pada diri mereka sendiri, apa lagi pada manusia dan makhluk-makhluk Tuhan lainnya.
 
Salah satu cara Al-Qur’an untuk membangunkan akal manusia supaya befungsi dan berpikir logis serta berargumen untuk menundukkan pihak lawan adalah menukar dalil sebelumnya dengan dalil lainnya  sesuai starata pihak yang dihadapi, dan cara ini   dapat kita saksikan contohnya dalam ayat: “Apakah tidak kamu lihat kepada orang yang berhujah dengan Nabi Ibrahim tentang Tuhannya? Sebab Tuhan telah memberikan padanya mulk (kekuasaan) (dan karenanya dia menjadi congkak dan takabbur), ketika berkata Ibrahim as: Tuhanku adalah yang menghidupkan dan mematikan, berkata (Namrud) aku menghidupkan dan mematikan (dan untuk membuktikan ucapannya dia memerintahkan pada pengawalnya untuk mengeluarkan dua orang narapidananya, satu diantaranya dia bebaskan dan biarkan hidup dan satu lagi dia tidak biarkan hidup dan dibunuhnya), Nabi Ibrahim as berkata sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari ufuk Timur (dan jika benar apa yang kamu katakana bahwa kamu adalah hakim alam eksistensi dan Tuhan), maka terbitkanlah kamu matahari itu dari ufuk Barat, (dalam keadaan ini) Namrud yang kafir tersebut tinggal dalam keadaan terperanjat, dan Allah tidak memberi petunjuk pada kaum yang zhalim” (Q.S:Al-Baqarah:258). Tapi meskipun ayat-ayat Al-Qur’an telah memberikan hidayahnya dan petunjuknya pada akal manusia, namun jika manusianya itu sendiri tidak mau menuruti dan mengikuti pikiran dan renungan akalnya, dia selamanya akan tetap dalam kegelapan dan kezhaliman, sebab manusia sendiri yang mempunyai kemampuan untuk merubah nasibnya dengan ikhtiar dan pilihannya.
 
Masih banyak masalah-masalah dimana ayat Al-Qur’an mencahayai akal manusia supaya manusia mau mengikuti akal dan rasio sehatnya yang dapat membawanya pada kebenaran hakiki dan kesempurnaan akhir. Namun tentu pembahasan ini tidak akan sedemikian luasnya, sebab pembahasan kita ini terbatas dan bukan proporsi bahasan seluas masalah-masalah tersebut.
 
Dan diakhir pembahasan ini kami membawakan beberapa hadits maksumin berkenan tentang akal dan kebaikannya. Seseorang bertanya pada Abu Abdillah as : “Aku berkata padanya (Abu Abdillah as) apakah akal itu”? Beliau menjawab: “Apa yang dengannya Rahman (Tuhan maha Rahman) disembah dan apa yang dengannya jinan (jamaknya surga) diusahakan (untuk diperoleh)” (Al-Kâfi, 111). Dan juga hadits dari Nabi Saw dimana beliau bersabda: “Tegaknya seseorang adalah akalnya, dan tidak ada agama bagi orang yang tidak berakal” (Bihâr al-Anwâr, juz 194). Barkata imam Shadiq as: “Barang siapa yang berakal maka baginya agama, dan barang siapa punya agama maka masuk surga” (Bihâr al-Anwâr, 191).
 
Dari cahaya sabda dan perkataan maksumin as tersebut di atas, maka dapat kita pahami bahwa dasar dan landasan untuk menerima agama dan parameter kebenaran suatu keyakinan dan akidah agama, tidak lain adalah akal yang merupakan anugerah termulia Tuhan pada manusia.

0
0% (نفر 0)
 
نظر شما در مورد این مطلب ؟
 
امتیاز شما به این مطلب ؟
اشتراک گذاری در شبکه های اجتماعی:

latest article

Senyummu Mampu Merubah Segalanya !
Warga Inggris Protes Arogansi Arab Saudi
Muslim di Antigonish Kanada Berlebaran di Gereja Katolik
MENGAPA BERTAWASHUL KEPADA PARA KEKASIH ALLAH DILARANG?
Iran, Syiah dan Fitnah-fitnah Murahan Itu
Saudi Hancurkan 23 Peninggalan Bersejarah di Yaman
Putra KH. Jalaluddin Rahmat Terpilih Menjadi Khadim di Haram Imam Ridha As
Silaturrahim Memanjangkan Umur
Keabsahan Revolusi Imam Husein Menurut Ahlu Sunnah
Irfan Teoritik Ibn ‘Arabî dalam Pandangan Mullâ Shadrâ(1)

 
user comment