Takabur atau kibir juga bisa disebabkan oleh perasaan yang justru kerdil dan hina. Orang yang berperasaan demikian akan cenderung berusaha untuk menebusnya dan membalas orang lain yang dinilainya telah menganggap dirinya hina. Tentang ini dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Imam Jakfar Al-Shadiq AS berkata;
ما من رجل تكبَّر أو تجبَّر إلاَّ لذلَّة وجدها في نفسه.
“Tak ada orang takabur atau merasa besar kecuali ada kehinaan yang dia temukan dalam dirinya.”[1]
Kibir dapat disebuhkan antara lain dengan mengatasi penyebabnya;
Jika penyebabnya adalah perasaan hina dan kerdil, misalnya, maka penderitanya harus menyadari dan mengingat bahwa Allah SWT menciptakan manusia dalam keadaan mulia, sebagaimana disebutkan dalam firmanNya;
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُم مِّنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا.
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.”[2]
ذُقْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْكَرِيمُ.
“Rasakanlah, sesungguhnya kamu orang yang perkasa lagi mulia.”[3]
Dia harus menyadari bahwa faktor kehinaan manusia hanya kufur dan maksiat kepada Allah. Kehinaan yang sejati bukanlah karena kelemahan ekonomi, atau minim dan tak adanya anak dan keturunan, atau kelemahan fisik, atau keburukan rupa, atau tidak adanya pangkat dan kedudukan duniawi.
Jika penyebab kibir adalah kefasikan maka dia harus meninggalkan kefasikan. Jika penyebab kibir adalah rasa takjub pada diri maka hendaknya dia memperhatikan segala aib dan kekurangannya yang jumlah jauh lebih banyak daripada kelebihannya, atau bahkan bisa jadi apa yang dianggapnya kelebihan itu ternyata justru aib dan kekurangan, misalnya jika kesuksesannya dalam status ekonomi dan sosial didapat dengan cara culas dan aniaya lalu dia merasa cerdik dan pemberani.
Seandainyapun rasa takjubnya itu berkenaan dengan sesuatu yang memang merupakan suatu kelebihan maka hendaknya dia mengingat masa depan yang tak jelas baginya. Takjub demikian bahkan bisa menjadi salah satu penyebab dia akan kehilangan kelebihan itu di masa mendatang. Tentang ini, sebagai dinukil dalam Mishbah Al-Shyari’ah, Imam Jakfar Al-Shadiq as berkata;
العَجب كلُّ العجب ممَّن يُعْجب بعمله وهو لا يدري بما يُختَم له. فمن اُعجب بنفسه وفعله فقد ضلَّ عن نهج الرشاد، وادَّعى ما ليس له، والمدّعي من غير حقٍّ كاذب وإن خفي دعواه وطال دهره، فإنَّه أوَّل ما يُفعَل بالمعجب نزع ما أُعجب به ; ليعلم أنَّه عاجز حقير ويشهد على نفسه; لتكون الحُجَّة عليه أوكد كما فُعِلَ بإبليس.
“Yang paling mengherankan adalah orang yang takjub kepada amal perbuatannya padahal dia tidak mengetahui apa yang akan menjadi penutupan baginya. Maka siapa yang takjub pada diri dan perbuatannya maka dia telah menyimpang dari jalan yang lurus, dan mengakui sesuatu yang tidak ada padanya. Orang yang tak benar dalam pengakuan adalah pendusta, meskipun pengakuannya itu tersembunyi dan lama jangka waktunya. Sesungguhnya apa yang pertama kali dilakukan terhadap orang yang takjub (pada dirinya) ialah pencabutan apa yang dia takjub kepadanya agar hujjah terhadapnya menjadi lebih kuat sebagaimana yang telah dilakukan terhadap Iblis.”[4]
Kibir adalah penyakit yang sangat rawan menimpa para ulama non-rabbani. Ulama rabbani adalah ulama yang memiliki dua karakteristik sebagai berikut;
Pertama, ilmu yang dimilikinya menjurus pada makrifat akan dirinya dan Tuhannya. Dalam riwayat disebutkan;
مَنْ عرف نفسه فقد عرف ربَّه.
“Barangsiapa mengetahui dirinya maka dia sungguh telah bermakrifat kepada Tuhannya.”[5]
Pengetahuan demikian jelas akan membuat pemiliknya merendah dan khusyuk, karena dengan menyelami dirinya maka akan terungkap baginya berbagai kekurangan dirinya dalam jumlahnya tak terkira, dan akan terlihat pula keagungan Tuhan yang tiada taranya.
(Bersambung)
CATATAN :
[1] Al-Kafi, jilid 2, hal. 312.
[2] QS. Al-Isra’ [17]: 70.
[3] QS. Al-Dukhkhan [44]: 49.
[4] Al-Mahajjah, jilid 6, hal. 275.