Oleh : Akmal Kamil Hari ini, 18 Dzul-Hijjah kaum Muslimin merayakan sebuah hari raya, bahkan merupakan hari raya terbesar di antara hari-hari raya Islam, seperti Idul Fitri dan Idul Qurban. Hari itu adalah hari imamah, khilafah dan hari kesempurnaan agama dan kemanusiaan. Hari dimana Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As dinobatkan sebagai imam dan khalifah kaum Muslimin pasca Rasulullah Saw. Hari itu sepanjang perjalanan sejarah kaum Muslimin dikenal sebagai hari Ghadir.
Apabila Ghadir bermakna kembalinya ingatan pada perubahan besar dalam sejarah umat manusia, di tengah budaya kaum Muslimin, hari Ghadir layak untuk diperingati sebagai hari raya akbar umat manusia khususnya bagi kaum Muslimin.
Lantaran perubahan besar dalam sejarah umat manusia berlangsung pada hari ini. Dan sebagaimana kita mendengar dari lisan riwayat, bahwa pada hari ini kesempurnaan agama dan kebahagiaan manusia telah distempel dan dijamin.
Seluruh agama-agama samawi, sebagai pendahulu agama Islam telah sempurna pada hari Ghadir. Dan Tuhan semesta alam (Rabbul ‘Alamin) telah rela dengan agama Islam.
“Pada hari ini Aku telah sempurnakan agamamu untukmu dan telah Kulengkapi nikmatKu atasmu dan Aku ridha Islam sebagai agamamu.” (Qs. al-Maidah [5]:3)[1]
Dan tidak satu pun peristiwa yang lebih signifikan melebihi sempurnanya agama pada kehidupan manusia. Dan oleh sebab itu, tidak ada hari yang lebih layak untuk diperingati dan dimeriahkan melebihi hari Ghadir.
Dan persis dengan alasan yang sama, Rasulullah Saw pada hari ini ia umumkan sebagai hari ied dan meminta kepada kaum Muslimin untuk menyampaikan ucapan selamat kepadanya.
Rasulullah Saw bersabda:
“Berikan ucapan selamat kepadaku, berikan ucapan selamat kepadaku. Sesungguhnya Allah mengkhususkan kepadaku kenabian (nubuwwah) dan kepemimpinan (imamah) kepada keluargaku.”[2]
Dan ia juga bersabda:
“Hari Ghadir merupakan hari ied yang paling afdhal. Pada hari itu, Allah Swt menugaskan kepadaku untuk memperingatinya dengan melantik saudaraku ‘Ali ibn Abi Thalib bagi umatku; sehingga selepasku mereka menemukan hidayah. Allah Swt menyempurnakan agama dan melengkapkan nikmat bagi umatku pada hari itu dan ridha Islam sebagai agama merekanya.”[3]
Oleh karena itu, memperhatikan hari Ghadir sebagai salah satu hari ‘ied dalam Islam memiliki akar pada masa Rasulullah Saw. Dan Rasulullah Saw mengumumkan pada hari itu sebagai hari ‘ied dan ia pada hakikatnya merupakan pencetus hari ‘ied ini.
Selepas Rasulullah Saw, para imam maksum sangat memberikan perhatian khusus terhadap hari Ghadir sebagai hari ‘ied.
Amirul Mukminin ‘Ali As pada hari Ghadir yang bertepatan dengan hari Jum’at menyampaikan khutbah. Dan khutbah tersebut adalah sebagai berikut:
“Semoga Allah Swt merahmati kalian! Hari ini bagikanlah kepada keluarga kalian uang belanja. Dan bersikap santunlah kepada saudara-saudara kalian, dan bersyukurlah kepada Allah Swt yang telah menganugerahkan nikmat ini kepada kalian. Senantiasalah kalian bersama sehingga Allah Swt mengumpulkan orang-orang yang berpisah di antara kalian. Berbuat baiklah kepada sesama kalian, sehingga Allah Swt mendatangkan rahmat dengan keakraban dan perkumpulan ini.
Dan demikianlah Allah Swt menganugerahkan nikmat kepada kalian, ganjaran atas ‘ied hari ini dilipatgandakan atas hari-hari ied yang lain. Dan di antara nikmatnya adalah bahwa sesama kalian hendaknya saling membimibng. Berbuat baik pada hari ini akan memperbanyak rizki dan memanjangkan usia. Bersikap pemurah pada hari ini akan mendatangkan cinta dan kasih Tuhan.”[4]
Sebagaimana kita ketahui bahwa pada masa khilafah Amirul Mukminin ‘Ali As banyak di antara sahabat Rasulullah Saw ikut hadir dalam perayaan Ghadir. Dan mereka mendengar sabda Imam ‘Ali ini; apabila ‘ied tidak pasti bagi mereka, niscaya mereka akan menyampaikan protes.
Selepas Amirul Mukminin As, sejauh yang dapat direkam oleh para perawi, para imam maksum sangat memberikan perhatian terhadap hari ‘Ied ini. Mereka merayakan dan memeriahkan hari tersebut. Pada hari ini mereka menunaikan puasa. Dan mereka meminta kepada para sahabat dan kerabatnya untuk menunaikan puasa juga sebagaimana mereka.
Tsiqâtul Islâm Kulaini dalam al-Kâfi, yang meriwayatkan dari Salim:
Aku berkata kepada Imam Shadiq As: “Apakah kaum Muslimin memiliki hari ‘ied selain hari Jum’at, ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha?”
Ia bersabda: “Iya, ‘Idul akbar (hari raya yang paling besar).”
Aku bertanya lagi: “Hari apa itu wahai Imam?”
Imam bersabda: “Hari tatkala Rasulullah Saw menetapkan wilâyah Amirul Mukminin As dan bersabda: “Man kuntu mawlahu, fa ‘Aliyun mawlahu.”[5]
Dan juga diriwayatkan dari Hasan ibn Rasyid yang mengajukan pertanyaan kepada Imam Shadiq As. Ia berkata: “Semoga diriku menjadi tebusanmu wahai Imam! Apakah kaum Muslimin memiliki ‘ied selain ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha?”
Imam bersabda: “Iya. Lebih besar dan lebih utama dari keduanya.”
Aku berkata: “Hari apakah itu wahai Imam?”
Imam bersabda: “Hari ketika wilâyah Amirul Mukminin ‘Ali As ditetapkan.”
Aku berkata: “Semoga diriku menjadi tebusanmu!” Pada hari ini, apa yang harus kami lakukan?”
Imam As bersabda: “Berpuasa dan bershalawat ke atas Nabi Saw dan keluarganya. Tunjukanlah rasa penyesalan dari orang-orang yang engkau tindas. Para nabi Ilahi memerintahkan kepada para khalifah mereka bahwa pada hari penetapan khalifah dirayakan sebagai hari ‘ied.”
Aku berkata: “Apa ganjaran bagi orangyang mengerjakan puasa pada hari ini?”
Imam As bersabda: “Ganjarannya adalah sebanding dengan enam ratus bulan berpuasa.”[6]
Demikian juga, Furat ibn Ibrahim meriwayatkan dalam kitab tafsirnya bahwa Imam Shadiq As ditanya: “Apakah kaum Muslimin memiliki ‘ied yang lebih utama daripada ‘Idul Fitri, ‘Idul Adha dan hari Jum’at dan hari ‘Arafah?”
Imam As bersabda: “Iya. Lebih utama, lebih mulia dan lebih besar dari seluruh ied di sisi Allah. Dan hari itu adalah hari dimana Allah Swt menyempurnakan agama-Nya, dan menurunkan wahyu kepada Nabi-Nya:
“Pada hari ini Aku telah sempurnakan agamamu untukmu dan telah Kulengkapi nikmatKu atasmu dan Aku ridha Islam sebagai agamamu.” (Qs. al-Maidah [5]:3)
Seorang perawi berkata: “Hari apakah itu?”
Imam bersabda: “Para Nabi Bani Israel tatkala menetapkan khalifah dan pengganti mereka, mereka merayakannya sebagai hari ied. Dan hari ‘ied untuk kaum Muslimin adalah hari dimana Rasulullah Saw menetapkan wilayah Imam ‘Ali As. Dan pelbagai ayat turun berkaitan dengannya, dan menyempurnakan agama dan melengkapkan nikmat-Nya atas kaum Mukminin.”[7]
Demikian juga, ia bersabda: “Hari ini adalah hari ibadah, hari shalat dan hari memanjatkan syukur. Lantaran Allah Swt telah menganugerahkan nikmat wilâyah kami kepada kalian. Aku ingin engkau laksanakan puasa pada hari ini.”[8]
Dalam sebuah riwayat yang bersumber dari Fayyadh ibn Muhammad ibn ‘Umar Thusi, bahwa ia datang menghadap Imam Ridha As.
Aku melihat Imam sedang menjamu para sahabatnya dengan ifthâr (buka puasa) di rumahnya. Dan ia mengirimkan kepada mereka beragam hadiah berupa pakaian dan bahkan sepatu dan cincin. Di kediamannya, terdapat suasana yang berbeda.
Aku melihat para pembantu Imam memperbaharui semua yang mereka punyai dan bahkan temasuk peralatan-peralatan yang mereka gunakan sehari-hari.
Imam As menyampaikan khutbah tentang kemuliaan dan keutamaan hari itu kepada para hadirin.[9]
Terlepas dari itu, yang dapat kita manfaatkan dari catatan sejarah bahwa kaum Muslimin sepanjang perjalanan sejarah yang berbeda memeriahkan dan merayakan hari Ghadir.
Abu Raihan Biruni dalam kitab al-آtsar al-Bâqiyah menulis:
“Hari kedelapan belas merupakan hari raya (‘Ied) Ghadir Khum. Dan nama itu merupakan nama sebuah tempat dimana Rasulullah Saw selepas Hajjatul Wida’ berhenti dan mengumpulkan perlengkapan unta-unta dan mengambil lengan ‘Ali ibn Abi Thalib As. Kemudian ia menaiki mimbar (tumpukan kumpulan perlengkapan unta, AK) dan bersabda: “Barang siapa yang menjadikan aku sebagai mawlanya, maka ‘Ali adalah mawlanya.”[10]
Dan Mas’ud dalam kitabnya at-Tanbih wa al-Asyrâf menulis:
“Putra-putri ‘Ali dan Syi’ah-nya merayakan dan memeriahkan hari ini (Ghadir).[11]
Dan Ibn Talha Syafi’i dalam kitabnya Mathâlib as-Su’ul menulis:
“Dan hari ini, disebut sebagai hari Ghadir Khum dan merupakan hari raya. Lantaran pada hari itu merupakan hari dimana Rasulullah Saw menetapkannya (‘Ali) pada kedudukan yang tinggi. Dan hanya ialah yang dapat mencapai kedudukan ini di antara semua orang.”[12]
Tsa’alabi dalam kitab Tsamâratul Qulûb, menyebut malam hari Ghadir termasuk malam yang paling khusus, menuliskan: “Malam hari Ghadir merupakan malam dimana Rasulullah Saw pada keesokan harinya yaitu pada hari Ghadir Khum menaiki mimbar yang terbuat dari pelana-pelana unta dan bersabda:
Orang-orang Syi’ah merayakan malam itu dan mengerjakan ibadah-ibadah pada malam hari itu.”[13]
Demikian juga, Ibn Khallaqan dalam Syarh Hali al-Musta’li Fathimi ibn al-Mustanshir menulis:
“Pada hari raya (‘Ied) Ghadir yaitu bertepatan dengan tanggal 18 Dzulhijjah 487 H, orang-orang memberikan baiat kepadanya.”[14]
Dan dalam Syarh Hâl al-Mustanshir Fâthimi menulis:
“Ia wafat pada Kamis malam dua belas hari tersisa dari bulan Dzulhijjah 487 H dan malam ini adalah malam ‘Idul Ghadir yaitu malam 18 Dzulhijjah adalah ‘Idul Ghadir Khum.”[15]
Sebagaimana yang kita saksikan dalam berbagai riwayat dan ucapan para sejarawan, hari Ghadir merupakan tahun-tahun terakhir usia Rasulullah Saw yaitu tahun ia menetapkan wilâyah Amirul Mukminin ‘Ali As dikenal sebagai hari raya dan pada tahun itu dan pada sahara itu juga Idul Ghadir, tersebar dari mulut ke mulut di sepanjang sejarah dan negeri-negeri Islam.
Dari persfektif sejarah, pada masa Imam Shadiq As wafat tahun 148, pada masa Imam Ridha As wafat tahun 203, pada masa ghaibah sughrah yaitu masa dimana Furat ibn Ibrahim Kufi dan Kulaini Razi hidup, pada masa Mas’udi wafat tahun 345, Tsa’alabi Naisyaburi wafat tahun 429, Talha Syafi’i wafat tahun 654, dan Abu Raihan Biruni wafat tahun 430 H, hari ini dianggap sebagai hari raya.
Dari sisi menjuntainya letak geografis, pada daerah-daerah Timur dunia Islam yaitu pada sekeliling an-nahr (daerah-daerah seperti Iran, Afghanistan, Tajikistan, Kazakstan, AK) yang merupakan tempat tinggal Abu Raihan dan Naisyabur yang merupakan tempat lahir Tsa’alabi, hingga kota kelahiran dan bermukim Kulaini, dan hingga kota Baghdad kota kelahiran dan besarnya Mas’udi, hingga Halab tempat tinggal dan wafatnya Ibn Thalha Syafi’i dan Mesir yang menjadi tempat tinggal dan wafatnya Ibn Khallaqan, orang-orang di tempat-tempat ini mengetahui tentang hari raya Ghadir dan mereka merayakan hari besar itu.
Hal ini apabila kita berasumsi bahwa masing-masing pembesar ini memberikan berita ini kepada orang-orang di sekitarnya; sementara kita ketahui bahwa pertama sebagian orang-orang seperti Mas’udi dan Biruni mengelilingi hampir seluruh negeri-negeri Islam; yang kedua dalam tulisan-tulisan mereka hari ini disebutkan sebagai hari raya kaum Muslimin.
Adab-adab dan Amalan ‘Idul Ghadir Unsur asasi dalam menemukan setiap hari raya, di antara bangsa-bangsa, kejadian-kejadian yang memberikan kebahagiaan dan keceriaan, terjadi dalam lintasan perjalanan waktu, muatan kejadiannya telah dibuat berbeda sebelum dan setelahnya.
Kemudian masyarakat menyebut hari itu sebagai hari raya (‘ied) , selaras dan sejalan dengan budaya dan ajaran mereka, dan memperingatinya sepanjang abad dan zaman.
Dalam kultur dan budaya Islam, unsur asasi ini, disebut sebagai anugerah. Dan setiap insan berakal, ia memandang dirinya wajib untuk menyampaikan rasa syukur atas kebaikan yang diterimanya.
Atas alasan ini, salah satu tata-cara umum agama Islam dalam perayaan-perayaan ini adalah penetapan ibadah dan amalan-amalan khusus yang menjadi penyebab semakin mendekatnya manusia kepada Tuhan semesta alam – sang pemberi nikmat sejati.
Pada hari Ghadir juga sebagaimana ied-ied yang lain, orang-orang dianjurkan dan diprogramkan untuk mengerjakan ibadah-ibadah dan mengadakan perayaan-perayaan khusus.
Adab-adab hari raya besar ini memiliki dua tipologi nyata:
1. Adab-adab hari raya Ghadir tidak dapat disamakan atau dibandingkan dengan adab-adab hari-hari besar Islam; sedemikian sehingga dapat dikatakan: apa yang diriwayatkan tentang adab-adab pada hari Ghadir, termasuk model umum seluruh amal kebaikan, perbuatan-perbuatan terpuji, dan sebuah kehidupan ideal dalam skala personal atau sosial.
2. Menurut riwayat yang sampai ditangan kita dari para maksum As dalam masalah ini, masing-masing perbuatan memiliki nilai-nilai yang tinggi, dan atas alasan ini mendapatkan ganjaran yang melimpah.
Oleh karena itu, hari Ghadir merupakan hari yang sangat bernilai dan hidup dan harus dirayakan.
Dan satu-satunya jalan untuk memperingati dan memuliakan hari ini, mengerjakan adab-adab yang telah dicontohkan oleh Ahlul Bait As.
Adab-adab ‘Idul Ghadir dalam Beberapa Fokus Umum
Amal Saleh Kendati seluruh adab-adab hari raya Ghadir masing-masing merupakan amal saleh. Akan tetapi dalam sebuah aturan umum dan sebagai pendahuluan adab-adab ini yang terdapat dalam riwayat: “Setiap perbuatan baik (amal saleh) sama dengan perbuatan baik selama delapan puluh bulan.”[16]
Oleh karena itu, hari Ghadir merupakan memiliki peran seperti bulan Ramadhan dan malam Qadhar.
Dari sini, dapat disebutkan bahwa amal saleh pada hari-hari dan malam-malam ini senantiasa berada pada keadaan terbuka. Pada saat-saat ini, layak kiranya bagi insan untuk memanfaatkan waktu ini secara maksimal sehingga ia dapat mengerjakan kebaikan dan amal saleh.
Menggemarkan Ibadah Imam Ridha As bersabda: “Ghadir merupakan hari dimana Allah Swt akan menambahkan rizki terhadap orang-orang yang beribadah pada hari itu.”[17]
Definisi ibadah secara umum adalah seluruh perbuatan dilakukan dengan niat qurbah (mendekatkan diri) dan akan menjadi penyebab dekatnya hamba kepada Tuhan.
Dalam budaya Islam ibadah bermakna, dapat berbentuk perbuatan-perbuatan mubah; artinya apabila insan dalam perbuatan-perbuatan biasa dengan niat taqarrub dan untuk meraup keridhaan Allah, seluruh perbuatan kesehariaannya terhitung sebagai ibadah.
Ibadah yang dinasihatkan untuk dikerjakan pada hari Ghadir termasuk seluruh jenis ibadah yang kita kenal dalam Islam. Mengerjakan shalat, berpuasa, mandi, berdoa, memanjatkan puji dan syukur, berziarah, menyampaikan shalawat dan mengekspresikan barâ’at (berlindung) dari musuh-musuh, masing-masing merupakan satu adab dari adab-adab hari penuh berkah ini.
Berpuasa Puasa merupakan sebuah bentuk ibadah disamping bersifat wajib pada bulan Ramadhan, juga ada yang bersifat mustahab yang dilakukan setiap hari sepanjang tahun, selain hari-hari Idul Fitri dan Idul Qurban.
Akan tetapi pada beberapa hari tertentu sangat dianjurkan untuk dilakukan. Dan riwayat-riwayat mengatakan nilai-nilai yang tinggi yang dikandung puasa-puasa tersebut. Dan salah satu puasa tersebut adalah puasa hari Ghadir.
Para Imam Maksum As tidak hanya mengharuskan diri mereka untuk berpuasa pada hari ini, akan tetapi mereka juga mengajurkan kepada para kerabat dan sahabatnya untuk mengikuti mereka berpuasa.
Demikian juga, dari riwayat yang dapat dimanfaatkan bahwa puasa pada hari ini adalah sunnah Rasulullah Saw yang diwariskan kepada kita.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa barang siapa berpuasa pada hari ke-18 Dzulhijjah, Allah Swt akan mencatatkan ganjaran sebanyak enam ratus tahun puasa.[18]
Imam Shadiq As dalam sebuah riwayat, sembari memberikan nasihat kepada orang-orang untuk berpuasa pada hari ini, ia bersabda: “Puasa pada hari ini sebanding dengan puasa selama enam ratus bulan.”[19]
Dan dalam riwayat yang lain, ia bersabda: “Puasa hari Ghadir Khum, sebanding amalan seratus haji dan seratus umrah di sisi Allah Swt.”[20]
Demikian juga ia bersabda: “Puasa pada hari Ghadir Khum, sebanding dengan puasa seumur dunia; apabila seseorang dapat hidup selama itu dan melakukan ibadah puasa seumur dunia.”[21]
Shalat Demikian juga kebanyakan hari dan keadaan-keadaan khusus, ia mengerjakan shalat khusus untuk hari dan keadaan-keadaan itu. Dan untuk hari Ghadir dianjurkan melaksanakan beberapa jenis shalat beserta adab-adab khususnya.
Sayid Ibn Thawus Ra dalam kitab monumentalnya Iqbâl al-A’mâl menukil amalan tiga shalat hari Ghadir dari Imam Shadiq As.
Menurut salah satu riwayat ini, Hadrat Shadiq As bersabda: “Hari ini merupakan hari dimana Allah Swt mewajibkan ke atas seluruh orang-orang beriman untuk menghormatinya. Lantaran pada hari ini, Allah Swt menyempurnakan agama-Nya dan melengkapkan nikmat atas mereka, dan mengulang janji serta akad yang diambil dari mereka semenjak awal penciptaan dan setelah itu mereka lupakan, lalu memberikan taufik kepada mereka supaya mereka menerimanya dan tidak termasuk sebagai orang-orang yang ingkar.”[22]
Yang dimaksud ikrar (mitsâq) dalam hadits mulia ini adalah ikrar yang disebutkan dalam al-Qur’an ayat 172 surah al-A’raf. Dalam surah ini, Allah Swt berfirman: “Dan ingatlah tatkala Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Benar (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (Kami lakukan demikian itu) agar di hari kiamat kalian tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lalai terhadap ini (ke-Esaan Tuhan).”
Ikrar (mitsâq) ini adalah mitsâq yang diambil Tuhan atas tauhid dan keesaan dalam ibadah dari umat manusia.
Oleh karena itu, dari hadits ini dapat dikatakan bahwa Tuhan sebagaimana Ia mengambil janji dan ikrar dari manusia untuk menyembah Tuhan dan mengesakan-Nya, Ia juga mengambil janji dan ikrar dari manusia dalam hal wilayah.
Ikrar atas tauhid, apapun bentuknya, juga berlaku dalam masalah wilayah.
Apabila ada orang yang ingin seperti orang yang bersama Rasulullah Saw pada hari itu, berperilaku jujur sebagai sahabat Amirul Mukminin terhadap Allah dan Rasul-Nya, dan pada saat yang bersamaan, ingin seperti orang yang syahid di sisi Rasulullah Saw, Amirul Mukminin As, Imam Hasan dan Imam Husain As, dan seperti orang yang berada di bawah panji Hadrat Mahdi Ajf di dalam kemahnya, dan dari kalangan orang-orang besar dan selamat, mendekati datangnya waktu Zuhur – yaitu saat-saat tatkala Rasulullah Saw beserta sahabat-sahabatnya tiba di Ghadir Khum – ia mengerjakan dua rakaat shalat, dan selepas shalat, ia mengerjakan sujud syukur dan seratus kali membaca: “
(Syukur hanya kepada Allah)[23]
Kemudian Hadrat memanjatkan doa yang panjang dan mengajarkan kepada para hadirin ketika itu selepas mengerjakan shalat. Doa ini secara asasi memiliki beberapa fokus umum:
1. Pengakuan terhadap akidah yang sehat dan benar Islam, seperti tauhid dan nubuwwah;
2. Bersyukur dan berterima kasih atas nikmat wilayah;
3. Harapan untuk gigih dan istiqamah di jalan kebenaran (haq);
Di antara salah satu untaian doa ini kita membaca:
Tuhanku! Dengan kemurahan dan kelembutanMu yang membuat kami mendapatkan taufik untuk menyambut seruan nabiMu dan membenarkannya; Kami beriman kepada Amirul Mukminin dan mengingkari thagut dan para penyembah berhala. Setelah Engkau memilih kami untuk berwilayah, jadikan mereka sebagai wali kami dan dikumpulkan bersama para pemimpin kami di hari Masyhar, dimana kami dengan keyakinan yang kami tambatkan kepada mereka, kami pasrah kepada urusan mereka, lahir dan batin, syahid dan ghaib, hidup dan matinya mereka, dan kami rela dan ridha atas kepemimpinan mereka.
Mereka memadai menjadi wasilah antara kami dan Tuhan, tidak perlu kepada yang lain. Kami tidak menghendaki pengganti mereka, kami tidak mengambil selain mereka untuk menjadi teman setia dan tempat curahan rahasia-rahasia kami.[24]
Dalam frase yang lain dari doa ini disebutkan:
Tuhanku aku bersaksi bahwa agama kami adalah agama Muhammad dan keluarga Muhammad dan ucapan kami adalah ucapan mereka.
Agama kami adalah agama mereka. Apa yang kami ucapkan adalah apa yang mereka sabdakan dan mengikuti apa yang mereka ikut.
Apa saja yang mereka ingkari, kami turut mengingkarinya. Apa saja yang mereka cintai, kami juga mencintainya. Dan dengan siapa pun mereka bermusuhan, maka akan juga menjadi musuh kami. Siapa saja yang dilaknat oleh mereka, akan menjadi sasaran laknat kami. Dari siapa saja mereka muak, kami juga akan merasa muak. Dan kami mengirimkan rahmat kepada siapa saja yang mereka kirimin rahmat.[25]
Shalat ini merupakan manisfestasi ruh yang mengetahui anugerah Ilahi dan bersyukur secara hakiki dari segala nikmat yang diterima. Mendirikan shalat ini pada waktu menjelang shalat Zuhur pada hari Ghadir merupakan perlambang supaya orang yang mengerjakan shalat menjadi tahu bahwa pada saat-saat ini Malaikat Jibril Amin turun untuk menyampaikan pesan Ilahi.[26] Pesan yang merupakan pesan utama dan asasi. Turunnya Malaikat pembawa wahyu ini adalah membawa berita gembira kepada umat manusia berupa wilâyah.
Wilâyah merupakan penjamin kelestarian agama dan jiwa syariat dan menjadi penopang tauhid, risalah, pembela keutamaan takwa dalam komunitas umat manusia; utama karena menegakkan keadilan merupakan tujuan asli diutusnya seluruh rasul-rasul Ilahi dan diturunkannya kitab-kitab samawi. Dan menegakkan keadilan adalah sebagai tanggung jawab mereka. (Qs. al-Hadid [57]:25)
Utama lantaran apabila tidak disampaikan berarti pesan Ilahi (secara keseluruhan, AK) tidak disampaikan. (Qs. al-Maidah [5]:3)
Orang-orang yang mengerjakan shalat memberikan perhatian pada semua hal ini dan dengan maksud untuk menyampaikan rasa syukur, ia bersujud di atas tanah. Dan dalam keadaan bersyukur ia merapatkan keningnya di atas tanah dan dengan kerendahan hati bertawassul menengadahkan tangannya ke haribaan Tuhan yang senantiasa menjaganya pada kedudukan tinggi ini, dan terlepas dahaganya dari mata air rahmat pada seluruh kehidupannya. Dan demikianlah ia akan sederajat dengan para sahabat Rasulullah Saw dan satu kubu dengan para mujahid masa-masa awal Islam. Ia akan beserta dengan para syuhada yang berada di samping Amirul Mukminin, Imam Hasan, Imam Husain yang memeluk para syuhada dan ibarat seseorang yang menebaskan pedang di bawah panji Imam Mahdi Ajf dan berposko di kemahnya.
Berziarah Ziarah merupakan sumber mata air yang meyemburkan air kepada para perindu yang terlupakan untuk melepas dahaganya. Dan memenuhi jiwanya dengan kebeningan dan mensucikan ruhnya dari panasnya perpisahan dalam arus kedekatan (qurb).
Ziarah merupakan buah rahmat dan ganjaran yang diberikan kepada para salik atas kesabaran yang??? . Doa ziarah adalah nasib yang tak terbaca dan media kucuran rahmat.
Apa yang dibacakan oleh para peziarah di Haram para Maksum As sebenarnya merupakan kumpulan keinginan dan kecintaan. Serta ajaran-ajaran benar yang ditunjukkan kepada para peziarah tatkala bersua dan bercengkerama dengan para Imam Maksum, dan meminta penegasan dari mereka.
Dan hal ini merupakan kebiasaan para salafusshaleh yang menjadi kenang-kenangan bagi kita.
Hari Ghadir merupakan hari wilayah dan wisayah. Hari yang merupakan milik Amirul Mukminin As dan dimeriahkan dengan namanya yang agung.
Dari sini, salah satu adab yang terpenting hari Ghadir adalah mengulang ikrar dan baiat, menciptakan hubungan maknawi dengan sang pemilik wilayah.
Orang-orang Syiah merindukan dapat berdiri di hadapan washi Rasulullah Saw dan menuruti perintahnya untuk memberikan baiat kepada khalifahnya. Dan setiap tahun, ia memperbaharui ikrar ini dan di haribaan Gerbang Ilmu Nabi, ia demonstrasikan imannya, dan membubuhkan stempel Imam Hammam pada surat keyakinannya.
Dalam sebuah riwayat dari Imam Ridha As yang bersabda: “Dimanapun kalian berada, cobalah untuk merayakannya di sekitar Haram Hadrat Amirul Mukminin As. Karena Tuhan pada hari ini mengampuni dosa-dosa orang beriman selama enam ratus tahun. Dan melebihi dua kali pahala bulan Ramadhan, malam Qadhar, dan malam Idul Fitri, yang membebaskan orang-orang beriman dari neraka.”[27]
Apabila kita tidak dapat berziarah secara langsung di hadapan Haramnya, kita dapat berziarah dari kejauhan.
Diriwayatkan dari para imam suci bahwa pada hari Ghadir terdapat tiga ziarah. Dan ketiga ziarah tersebut dapat dibaca dari dekat atau dari tempat yang jauh.
Yang paling tersohor dari ketiga ziarah itu adalah doa ziarah AminuLlah yang pendek dan ringkas dari sisi matan (isi) sahih dan sarat dengan makna.
Dalam doa ziarah ini (AminuLlah), kita alamatkan kepada Amirul Mukminin As:
“Salam padamu wahai Amin dan Hujjatullah di muka bumi,
Aku bersaksi bahwa wahai Amirul Mukminin bahwa engkau telah berjuang di jalan Allah dengan sebenar-benarnya perjuangan (jihad), engkau telah mengamalkan kitab Allah dan mengikuti sunnah Rasulullah Saw; hingga Allah Swt mengganjarimu dengan sebaik-baik ganjaran, dan Ia memanggilmu dari dekat dan menempatkan ruh agungmu di samping-Nya. Dan meski engkau memiliki seluruh burhan bagi seluruh makhluk, Allah dengan kesaksianmu, Ia telah menamatkan hujjah atas musuh-musuhmu.
”Tuhanku! Hati-hati orang yang khusyuk takjub kepadaMu, jalan ke arah para perindu ke kediamanMu terbuka; Mereka yang berhajat kepadaMu, memiliki ayat-ayat yang jelas. Hati mereka yang diperuntukkan untukMu, kosong selainMu. Bagi mereka yang menghendakiMu, suaranya meninggi. Dan gerbang ijabah terbuka baginya. Dan ia yang berkata jujur denganMu doanya terkabulkan. Taubat adalah ia yang kembali kepadaMu dan diterima. Barang siapa yang luruh air matanya karena takut kepadaMu, rahmat mengucur ke atasnya sebanyak cucuran air matanya; barang siapa yang mencari pertolongan dariMu, Engkau akan menolongnya; barang siapa yang ingin bantuanMu, Engkau akan membantunya; Engkau memenuhi janji yang Engkau berikan kepada para hambaMu, barang siapa yang menginginkanMu, Engkau akan mengindahkan kesalahan-kesalahannya.[28]
Berbuat Kebajikan Salah satu adab Idul Ghadir adalah berbuat ihsan dan kebaikan kepada orang-orang Mukmin. Trdapat banyak riwayat yang datang dari para Imam As dalam bagian ini. Di antara tanda-tanda pentingnya ihsan (berbuat kebajikan) pada hari ini di antaranya:
Pertama: Dalam hadits dan riwayat, dengan tema yang beragam, dianjurkan untuk berbuat ihsan. Infaq, ihsan, menolong, muwasat, memberikan hadiah, bertamu, memberi makan, memberikan buka puasa, mengasihi dan mencintai serta berusaha memenuhi hajat-hajat orang beriman merupakan tanda-tanda yang dianjurkan dalam riwayat untuk dilakukan.
Kedua: Dinasihatkan, barang siapa yang tidak memiliki harta untuk berbuat ihsan, hendaknya ia meminjamnya dari orang lain. Imam ‘Ali As bersabda: “Barang siapa yang meminjam uang sehingga ia dapat membantu saudara mukminnya, aku menjamin bahwa apabila ia masih hidup, ia mampu membayar utang tersebut; dan apabila ia tidak dapat menunaikan hutangnya, lepas tanggung jawabnya.[29]
Sementara kita ketahui dari perspektif syariah bahwa berhutang bukanlah merupakan sebuah perbuatan yang baik, dan Islam sangat menghargai hak-hak manusia.
Pada suatu Jum’at yang bertepatan dengan hari Ghadir, Baginda Amirul Mukminin As menyampaikan khutbah. Khutbah yang disampaikan oleh Amirul Mukminin As di antaranya:
“Semoga Tuhan merahmati kalian! Tatkala kalian beranjak meninggalkan tempat ini dan bertebaran di mana-mana, tunaikanlah uang belanja keluarga kalian, berbuat baiklah kepada saudara-saudara kalian, dan bersyukurlah kepada Allah Swt yang telah menganugerahkan nikmat kepada kalian. Berbuat baik pada hari ini akan menambahkan rezki dan memanjangkan umur. Dan sayangilah orang lain – semampu kalian – karena hal itu akan menurunkan rahmat dan cinta Tuhan. Apa yang dianugerahkan Tuhan kepadamu, berbagilah dengan saudaramu.
Bersilaturahmilah kalian dengan suka dan cita. Dan bersyukurlah kepada Tuhan atas anugerah yang diberikan kepadamu. Dan kepada orang-orang yang mengharapkanmu, berilah bantuan lebih banyak kepadanya. Sehingga kalian dapat berlaku secara adil di antara orang-orang papah dan lemah.
Pada hari ini berinfak dengan satu Dirham setara dengan dua ratus Dirham, dan lebih banyak dari itu apabila Tuhan menghendaki.
Barang siapa yang lebih dahulu berbuat baik kepada saudaranya, dan dengan antusias berbuat ihsan, maka ia akan mendapatkan ganjaran seperti ganjaran orang yang melakukan puasa pada hari ini.[30]
Merayakan dan Memeriahkan Adalah terpuji bagi insan mukmin untuk berbeda pada hari ini ketimbang hari-hari biasanya – dalam batasan normal dan syar’i - ia hadapi hari ini dengan penuh keceriaan dan kegembiraan. Di antara tanda-tanda keceriaan yang terdapat dalam riwayat, adalah mandi, menggunakan minyak wangi, menghias dan mendandani diri, membersihkan rumah, mengenakan pakaian baru, merasa bangga dan suci, bersilaturahmi, menyampaikan ucapan selamat, berjabat tangan dan saling membagikan uang belanja.
Bergembira pada hari Ghadir, di samping sebagai contoh atas berbagi simpati dan empati dengan Ahli Bait, juga telah dianjurkan dan ditegaskan.
Imam Shadiq As dalam sebuah riwayat, setelah ia memaparkan peristiwa Ghadir dan menyebutkan sebagian adab-adab hari bahagia ini, ia bersabda: “Makan dan minumlah. Kendati ada orang-orang yang menyampaikan duka dan nestapa – semoga Tuhan melipatgandakan duka dan nestapanya – bergembiralah dan meriahkanlah hari ini.[31]
Adalah baik manakala seseorang berduka dan bersedih lantaran meninggalnya orang-orang yang dicintainya atau musibah yang menimpanya; pada hari ini ia tepikan pakaian hitam itu sebagai alamat duka. Imam Ridha As bersabda: “Hari ini adalah hari untuk mengenakan pakaian-pakaian baru dan menepikan pakaian-pakaian hitam.”[32]
Orang yang mengenakan pakaian-pakaian terbaik yang dimilikinya merupakan sebuah perbuatan terpuji. Imam Ridha As bersabda:
“Hari ini adalah hari berindah-indah. Barang siapa yang menghias dirinya demi memuliakan hari ini, Allah Swt akan mengampuni dosa besar dan dosa kecil yang pernah dilakukannya. Dan Ia akan menugaskan seorang malaikat untuk menulis kebaikan baginya hingga tahun yang lain. derajatnya akan ditinggikan dan apabila ia meninggal pada waktu ini, ia meninggal dalam keadaan syahid, dan apabila ia hidup, ia akan mendapatkan kebahagiaan.[33]
Demikian juga, adalah layak bagi seorang mukmin untuk bertemu dengan saudara seiman dengan riang dan gembira dan berusaha untuk menggembirakan semua orang.
Imam Ridha As bersabda:
“Hari ini adalah hari untuk tersenyum di hadapan orang-orang beriman. Barang siapa yang membagi senyuman kepada saudaranya, Allah Swt akan menatapnya dengan penuh rahmat pada hari kiamat. Memenuhi segala hajat yang dimilikinya dan membangunkan sebuah istana yang bergerbang putih untuknya dan membuat wajahnya penuh keceriaan.[34]
Doa Berdoa merupakan salah satu ibadah yang terbesar yang disyariatkan dalam agama suci Islam. Doa adalah ibadah yang ditegaskan dalam al-Qur’an, “Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepadaku, niscaya akan kuperkenankan bagimu.” Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk ke neraka dalam keadaan hina dina.” (Qs. al-Mu’min [40]:60)
Doa adalah cengkerama manusia dengan Tuhannya, Sang Pencipta seluruh wujud. Doa menjadi penyebab timbulnya perhatian dan inayah Tuhan kepada para hambanya.
Al-Qur’an Karim menyebutkan:
“Katakanlah sekiranya kalau bukan dua kalian, Tuhanku tidak akan memperhatikan kalian.” (Qs. Al-Furqan [25]:77)
Doa merupakan hal yang urgen dalam kehidupan manusia. Kehidupan tanpa doa ibarat gelombang yang bergemuruh dan pada akhirnya terhempas pada rawa-rawa dunia. Doa adalah senandung kehidupan atau denting genta kafilah yang beranjak menuju tujuannya. Kehidupan bak tunas, dengan doa tunas itu tumbuh bersemi dan menuai buah.
Oleh karena itu, terlepas dari apakah manusia memiliki hajat, atau telah terpenuhi hajatnya, doa merupakan program dawam dan selalu menjadi keperluan insan beriman; akan tetapi terkadang terdapat suasana dan keadaan khusus dimana doa mampu menyingkapnya, membuahkan hasil dan memberikan aroma manis terhadap wujud manusia.
Hari Ghadir merupakan waktu yang terbaik dan keadaan khusus untuk berdoa.
Imam Ridha As bersabda: “Hari Ghadir adalah hari dimana doa diterima (mustajabah).[35]
Atas alasan ini, di samping terdapat doa-doa yang dinukil dari riwayat pada ta’qib-ta’qib shalat mustahab dan berbagai acara pada hari ini. Juga terdapat doa yang dibacakan secara terpisah.
Fokus Doa-doa Ghadir Fokus utama dalam doa-doa hari Ghadir adalah nikmat wilayah. Orang yang memanjatkan doa pada hari ini, dengan penjelasan yanga beragam, bercengkerama dengan Tuhannya ihwal nikmat agung ini.
Terkadang ia bersyukur kepada Tuhan atas nikmat agung ini yang telah dianugerahkan kepadanya. Terkadang ia meminta kepada Tuhan untuk tidak mengambil nikmat ini darinya dan sepanjang hayatnya ia mempertahankan nikmat ini dengan kokoh dan gigih.
Terkadang ia meminta kepada Tuhan sebagaimana Ia menganugerahkan karamah ini kepadanya dan menganggap layak baginya untuk menerima wilayah ini, ia meminta juga kepada Tuhan untuk memaafkan kesalahannya dan mengampuni dosa-dosanya.
Terkadang ia meminta untuk supaya Tuhan memberikannya taufik supaya ia memenuhi tuntutan-tuntutan wilayah ini; ketaatan murni dari wali yang merupakan syarat utama wilayah ini. Dan memberikan taufik kepadanya hingga ia memusuhi orang yang memusuhi para Imam Maksum As dan bersahabat dengan orang-orang yang bersahabat dengan para Imam Maksum As.
Dalam untaian doa waktu pagi hari Ghadir yang dikenal sebagai doa Zinat, kita membaca:
“Kami adalah pecinta ‘Ali dan pecinta orang-orang yang mencintai ‘Ali As; sebagaimana Engkau memerintahkan kami untuk mencintainya dan memusuhi musuh-musuhnya. Barang siapa yang membencinya, kami turut membencinya. Murka mereka kepadanya, murka kami kepada mereka. Mencinta mereka yang mencintanya.[36]
Dan terkadang menyebut kedudukan dan derajat para Imam Maksum As. Dan dengan menyebut mereka membuat hati menjadi bersih cingklong. Dan menyaksikan dari dekat puncak keagungan para awliya. Dan dengan mengirim salam berkelanjutan, ruh akan bersambung dengan ruh-ruh mereka yang suci dan terapung di samudera yang tak terbatas akan keutamaan manusia.
Dalam salah satu doa hari Ghadir Khum, kita membaca:
“Tuhanku! Sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad; Mereka adalah imam para pemimpin, pengajak pada kebahagiaan, bintang gemintang gemerlap, dan tanda-tanda yang terang. Merekalah yang mengatur urusan seluruh hambaMu, rukun-rukun negara, mukjizat yang dengannya orang-orang diuji, bahtera penyelamat yang berlayar di atas gelombang lautan.
Tuhanku! Sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad; penjaga ilmu, singgasana tauhid dan pengesaan Tuhan, tiang agama dan sumber-sumber keteladanan, Mereka yang Engkau pilih di antara ciptaan-ciptaanMu dan hamba-hambaMu. Mereka adalah orang-orang bertakwa dan suci, orang-orang mulia dan baik; gerbang yang menjadi tempat ujian manusia; barang siapa yang memasukinya akan selamat dan barang siapa yang memalingkan diri, akan terjungkal.
Tuhanku! Sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad; Ahli dzikir yang Engkau firmankan adalah mereka tempat kami bertanya, keluarga yang Engkau titahkan untuk kami cintai, yang Engkau wajibkan untuk ditunaikan hak-haknya dan surga yang Engkau anugerahkan kepada mereka yang mengikutinya.
Tuhanku! Sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad; lantaran mereka mendawuhkan untuk mentaatimu dan tidak bermaksiat kepadamu, dan mengajak hamba-hambaMu untuk mengesakanMu.[37]
Persaudaraan Islam Salah satu kebanggaan Islam adalah menciptakan hubungan yang paling kokoh di antara orang-orang yang secara lahir tidak memiliki hubungan satu dengan yang lain. Persaudaraan adalah hubungan yang paling lekat dan terajut di antara dua orang.
Cinta persaudaraan merupakan cinta yang paling kokoh dan kuat di antara seluruh bangsa; akan tetapi di antara bangsa Arab – khususnya pada masa-masa lampau – persaudaraan memiliki penghormatan yang lebih; sedemikian sehingga menjadi kriteria hak dan batil, antara benar dan salah.
Dalam tradisi ini, saudara memiliki kebenaran dan harus ditakyid dan harus bangkit untuk membantunya; meski pada hakikatnya ia adalah seorang zalim dan pelanggar hak. Dan barang siapa yang menentangnya, ia harus dikalahkan; kendai ia berada pada kubu yang benar.
Dalam lingkungan seperti ini, Islam dengan definisi yang baru tentang persaudaraan membidik kepercayaan yang batil dan tidak benar ini. Dan menawarkan sebuah definisi baru sebagai berikut:
“Sesungguhnya setiap mukmin itu bersaudara”(Qs. al-Hujurât [49]:10)
Oleh karena itu, insan non-mukmin dalam keluarga (Islam, AK) ini adalah seorang asing; walau ia lahir dan besar dalam keluarga ini.
Persaudaraan ini merupakan kaidah yang dibangun oleh al-Qur’an. Berdasarkan kaidah ini, seluruh orang-orang mukmin dalam keluarga besar ini adalah saudara.
Rasulullah Saw dalam dua periode – pra dan pasca hijrah – dengan maksud untuk menjaga keselarasan kaum Muslimin dan menghadapi kesulitan-kesulitan yang mengancam pemerintahan baru dan masyarakat Islam, ia memberikan ainiyyat terhadap kaidah asasi ini. Ia menciptakan hubungan persaudaraan antara sesama Muslim dan menjalinkan masing-masing dua orang Muslim menjadi satu saudara.
Sekelompok besar sejarawan dan ahli hadits kawakan menulis:[38] “Kriteria Rasulullah Saw dalam menentukan saudara untuk masing-masing Muslim, kesesuaian derajat dan kualitas, dan kedekatan derajat iman.”
Rasulullah Saw mempersaudarakan orang-orang yang memiliki kesamaan dan keserupaan satu dengan yang lain; misalnya, ‘Umar dipersaudarakan dengan Abu Bakar. Thalha dan Zubair, ‘Utsman dan Abdurrahman ibn ‘Auf, Abu Dzar dan Miqdad, putrinya Fatimah az-Zahra dan istrinya Ummu Salamah, masing-masing mengikat tali persaudaraan.
Atas alasan ini, Rasulullah Saw tidak mempersaudarakan Amirul Mukminin dengan siapa pun dari golongan Muslim. Dan ia mempersiapkan dirinya untuk merajut tali persaudaraan dengan Amirul Mukminin As.[39]
Rasulullah sendiri tidak memilih seseorang untuk ia persaudarakan, hingga Amirul Mukminin As datang kepada Rasulullah Saw dan berkata: “Aku melihat engkau mempersaudarakan seluruh sahabat, akan tetapi tidak memilih seorang untuk menjadi saudaraku?” Rasanya ruh keluar dari ragaku dan seolah-olah pinggangku patah. Apabila engkau marah kepadaku, engkau memiliki hak untuk menghukumku.” Rasulullah Saw dalam menjawab kesah Amirul Mukminin bersabda: “Aku bersumpah demi yang telah mengutusku dengan haq, Aku sengaja menundanya supaya aku memilihmu sebagai saudaraku.”[40]
Pengaruh Persaudaraan Islam Kaidah yang dibangun oleh Islam sebagai persaudaraan dan brotherhood, bukan hanya sebuah perkara konvensional dan bersandar pada rencana lahiriyah; akan tetapi persaudaraan ini merupakan sebuah realitas yang memiliki pengaruh ril dan hakiki.
Satu umat Muhammad dan keluarga besar ahli iman yang mengikuti satu sistem khusus. Setiap anggota dari keluarga besar ini, dalam berhubungan dengan anggota lainnya, ia memiliki tugas untuk saling memenuhi hak-hak anggota lainnya.
Terdapat banyak hadits yang bersumber dari Amirul Mukminin As yang menetapkan tugas dan kewajiban saudara-saudara seiman. Aturan praktis yang paling umum dalam bidang ini adalah hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw, dan kita menukilnya dari kitab Makâsib Muharramah, karya Syaikh Ansari Ra.
Syaikh Anshari menukil dari kitab Wasâil asy-Syiah, dari Kanz al Fawâid karya Syaikh Karajiki yang menukil dari Amirul Mukminin As bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Setiap Muslim memiliki hak sebanyak tiga puluh terhadap saudaranya yang lain. Dan ia tidak dapat menghindar dari hak kecuali ia penuhi atau orang yang mesti ditunaikan haknya memberi maaf kepadanya.
1.Memaafkan kesalahannya
2.Mengasihi cucuran air matanya
3.Menutup aib-aibnya
4.Mengurangi kesalahannya
5.Menerima maafnya
6.Membelanya tatkala ia tidak ada
7.Senantiasa menginginkan kebaikan darinya
8.Memelihara persaudaraan dan kecintaannya
9.Memelihara orang yang berada dalam pengamanannya[41]
10.Menengoknya tatkala sakit
11.Mengurus jenazahnya
12.Memenuhi undangannya
13.Menerima hadiah darinya
14.Membalas kebaikan dan hadiah yang diterima darinya
15.Mensyukuri pemberian darinya
16.Menolongnya dengan baik
17.Menjaga kehormatannya
18.Memenuhi hajatnya
19.Memenuhi keinginannya
20.Berkata AlhamduliLlah manakala ia bersin
21.Membimbing orang-orang yang hilang darinya
22.Menjawab salamnya
23.Berbicara santun dengannya
24.Menerima pemberiannya
25.Meyakini sumpahnya
26.Mencintai orang yang mencintainya
27.Tidak memusuhinya
28.Menolongnya, baik ia berlaku aniaya atau dianiaya; artinya apabila ia berlaku aniaya, mencegahnya dari berbuat aniaya. Dan apabila ia teraniaya, membantunya untuk mendapatkan haknya.
29.Tidak meninggalkannya sendiri tanpa pertolongan
30.Mencintai baginya kebaikan apa yang dicintainya, dan membenci yang buruk apa yang buruk baginya.
Kemudian Baginda Amirul Mukminin ‘Ali As bersabda: “Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda:
“Terkadang di antara kalian tidak menunaikan hak-hak saudaranya dan ia akan menuntut hak-haknya yang telah dilalaikan pada hari kiamat dan ia (yang melalaikan) akan terhukum di hadapan mahkamah Ilahi.[42]
Akad Persaudaraan pada Hari Ghadir Almarhum Muhaddits Qummi dalam kitab Mafatihul Jinan, menganggap akad ukhuwah sebagai adab hari Ghadir, menulis:
“Sangat tepat kiranya pada hari ini membacakan akad ukhuwwah dengan saudaranya seiman. Dan cara-caranya seperti yang ditulis oleh syaikh kita dalam Mustadrak Wasâil[43] yang menukilnya dari kitab Zadul Firdaus seperti ini, tangan kanannya mengangkat tangan kanan saudara mukminnya dan membaca:
“Aku telah menjadi saudaramu karena Allah dan aku telah memilihmu karena Allah dan aku memberikan tanganku kepadamu karena Allah, dan aku mengikat janji kepada Allah, para malaikat, para rasul-Nya dan para imam maksum As bahwa sekiranya aku menjadi penduduk surga dan mendapatkan syafaat dan memiliki izin untuk memasuki surga, aku tidak akan memasukinya kecuali bersamamu memasukinya.
Kemudian yang diajak berikrar dan berjanji mengatakan: Aku menerimanya. Dan setelah itu berkata:
Kutinggalkan seluruh hak-hak persaudaraan darimu
Selain syafaat, doa dan ziarah.
Tugas-tugas setiap mukmin di hadapan saudara seagamanya terdapat dua jenis: sebagian memiliki hukum syar’i dan termasuk sebagai taklif; artinya setiap mukmin memiliki tugas untuk memenuhi hak-hak saudaranya seiman.
Sebagian yang lain adalah hak-hak yang masing-masing dimiliki oleh keduanya.
Dari sisi tidak terlepasnya hukum syariat, artinya tidak satupun yang dapat membatalkan hukum syariat. Oleh karena itu, apa yang batal dari akad ini, merupakan sisi sekunder, akan tetapi dari sisi bahwa masing-masing dari hak-hak ini yang merupakan bagian dari hukum-hukum syariat dan masing-masing bertugas untuk menunaikannya, maka hal ini tidak dapat menjadi batal.
Pengaruh Akad Persaudaran Tanpa ragu bahwa akad ini dari kaca mata sosial akan menjadi sebab terekatnya hati-hati dan menimbulkan cinta dan menghidupkan mental untuk bekerja sama. Dari sisi maknawi, juga memiliki hasil yang sangat bernilai dimana hasil itu adalah janji untuk memberikan syafaat. Syafaat merupakan kaidah yang kita terima berdasarkan al-Qur’an yang kita yakini bersama; dan kita ketahui bahwa Allah Swt apabila Ia menghendaki, Ia dapat memberikan izin kepada orang untuk memberikan syafaat.[44]
Salah satu kelompok yang memberikan syafaat di hari kiamat adalah orang-orang beriman sesuai dengan izin Allah Swt.
Oleh karena itu, manusia dengan membaca ikrar dan akad ini pada hakikatnya membawanya kepada rahmat dan ridha Allah Swt. Akan tetapi harus diperhatikan bahwa pengaruh-pengaruh yang muncul dari persaudaraan nasabi (satu keturunan) dan susuan seperti mahramiyat (saudara sesusuan yang kemudian menjadi mahramnya, AK), warisan dan silaturahmi, tidak berlaku dalam hal persaudaraan seiman ini.
Dengan demikian, dua orang yang membaca akan persaudaraan hendaknya menjauhkan diri dari percampuran dengan maharim satu sama lain, dan harus diketahui bahwa akad ini tidak akan menjadikan keduanya menjadi mahram dengan saudari-saudari, putri-putri dan para ibu dari mereka masing-masing.
Akad Persaudarian di antara Wanita Ukhuwwah dalam bahasa Arab tidak melulu semakna dengan mafhum persaudaraan; akan tetapi memiliki makna yang menjuntai dimana para wanita juga termasuk di dalamnya.
Ahli bahasa berkata: “Akh (saudara) artinya seseorang yang berasal dari sulbi dan rahim yang sama denganmu.” Oleh karena itu, akhwat, persaudarian juga termasuk di dalamnya.
Atas alasan ini sinonim akhwat dalam bahasa Arab adalah ukht, termasuk feminim akh. Dari sini, seluruh aturan-aturan yang mengulas tentang ukhuwwah mukminah dihitung sebagai sesuatu yang tunggal termasuk di dalamnya pria dan wanita.
Baginda Nabi Saw juga tatkala merajut tali persaudaraan di antara kaum Mukmin di Madinah, ia mempersaudarikan putrinya Fatimah az-Zahra dengan Ummu Salamah istrinya.[45]
Oleh karena itu, akad ukhuwwah pada hari Ghadir tidak hanya khusus untuk kaum pria saja, kaum hawa juga dapat membaca akad persaudarian. Semoga Allah menjadikan kita sebagai orang-orang yang berpegang teguh kepada wilayah Amirul Mukminin dan Imam Maksumin.[AK]
Semoga Hari Raya Idul Ghadir menjadi hari bahagia buat Anda.
Catatan Kaki: [1] . Sebagaimana dinukil oleh Ibn Maghazali dalam Manâqib, hal. 19 dan Farâidh Simthain, jilid 1, hal. 73, bab 12, hadits 39 dan 40 bahwa ayat ini turun pada hari Ghadir setelah penetapan Amirul Mukminin ‘Ali As.
[2] . Al-Ghadir, jilid 1, hal .247, yang menukil dari Syaraf al-Musthafa karya Abu Sa’id Khargusi Naisyaburi, wafat tahun 407 H.
[3] . Al-Ghadir, jilid 1, hal .283 dan Iqbâl al-‘Amal hal. 466.
[41] . Salah satu kewajiban dalam agama suci Islam yang memiliki dimensi social dan politik, memberikan perlindungan. Artinya bahwa apabila salah seorang muslim memberikan jaminan keamanan kepada seorang kafir dan berada dalam perlindungannya, sepanjang dalam masa ini tidak terdapat muslihat dan konspirasi, seluruh kaum musliminin memiliki tugas memberikan perlindungan kepada si kafir tersebut demi menghormati saudaranya yang memberikan perlindungan kepada si kafir. Dan hal ini adalah memelihara dzimmah (orang yang dilindungi) atau menghormati orang yang berada dalam pengamanan seorang muslim.