Mukjizat
Setelah terbukti bahwa manusia secara umumnya tidak
memiliki potensi untuk menerima wahyu, oleh karenanya
harus ada beberapa orang tertentu yang istimewa dan
menjadi perantara diturunkannya wahyu. Di sinilah kita
akan menemukan sebuah pertanyaan, “bagaimana kita tahu
bahwa seseorang telah diturunkan wahyu padanya?”
Kita tahu bahwa wahyu bukanlah sesuatu yang dapat
ditangkap dengan panca indera; oleh karenanya, mustahi
seseorang mendapatkan wahyu dan orang lain melihat
dengan mata kepala dan mempercayainya begitu saja lalu
mengikutinya. Jadi, seorang nabi sudah sepatutnya
memiliki tanda-tanda kenabian yang diberi oleh
Tuhannya, dan dengan demikian ia dapat membuktikan
kenabiannya kepada umat manusia. Tanda-tanda istimewa
yang diberikan oleh Allah SWT. kepada para nabi dan
orang lain tidak mungkin menunjukkan keistimewaan yang
sama, disebut dengan mukjizat.
Hakikat Mukjizat
Tidak diragukan, mukjizat adalah perbuatan yang
supranatural dan tak biasa. Mukjizat bersifat umum,
tidak hanya pekerjaan-pekerjaan yang aneh dan luar
biasa, bisa jada membawakan kabar ghaib juga termasuk
mukjizat. Oleh karena itu, penyampaian kabar ghaib
oleh para nabi yg dilakukan dengan cara luar
biasa/supranatural juga termasuk mukjizat.
Perlu digarisbawahi bahwa tidak semua hal supranatural
dapat dianggap sebagai mukjizat; contohnya para
penyihir dan para rahib yang sering disebut dengan
murtadh, mereka sering melakukan perbuatan-perbuatan
aneh dan tidak natural; namun itu semua bukanlah
mukjizat. Salah satu perbedaan pekerjaan mereka dengan
mukjizat para nabi adalah, perbuatan para nabi, selain
supranatural, namun juga merupakan anugerah Tuhan;
adapun para penyihir dan murtadh tidak begitu. Jika
demikian, lalu bagaimana caranya kita dapat membedakan
mana yang mukjizat dan mana yang bukan? Ada banyak
cara untuk memahaminya:
Pertama, mukjizat tidak dapat terkalahkan oleh faktor
yang lebih kuat darinya. Alam semesta ini adalah
rangkaian sebab akibat yang mana segala sesuatu dapat
mempengarhi sesuatu yang lain atau juga dipengaruhi
sesuatu yang lain. Suatu sebab dapat menjadi faktor
terwujudnya suatu akibat, namun ada pula kemungkinan
terhalangi oleh faktor lain yang lebih kuat dan
menghalangi sebab tersebut untuk memberikan dampaknya.
Misalnya, api dapat membakar kertas; namun kalau
kertas itu dibasahi terlebih dahulu, ia akan sulit
terbakar. Banyak contoh-contoh lain yang membuktikan
kenyataan ini. Di alam sebab akibat sudah lumrah jika
suatu sebab tidak bisa mewujudkan akibat karena
terkalahkan oleh sebab lain yang lebih kuat darinya;
namun, mukjizat bagaimanapun juga tidak akan
terpengaruhi sebab lain yang lebih kuat darinya, baik
sebab itu adalah sebab natural maupun supranatural.
Seorang murtadh dapat menghentikan kereta yang sedang
berjalan dengan isyarah telunjuk tangannya; namun
mungkin saja ada murtadh lain yang lebih sakti darinya
yang mencegah kereta untuk berhenti, dan akhirnya
kereta tetap berjalan. Akan tetapi mukjizat sampai
kapanpun tidak bisa seperti itu, tidak ada siapapun
yang dapat mengalahkan mukjizat. Karena segala
kekuatan milik siapapun selain para nabi tunduk di
hadapan kekuatan Tuhan; dan jika seandainya ada nabi
yang menggagalkan nabi lainnya, itu tidak akan
terjadi, karena itu bertentangan dengan hikmah Ilahi.
Kedua, mukjizat tidak dapat dipelajari atau diajarkan.
Mukjizat bukanlah keterampilan yang dapat dipelajari
atau diajarkan sehingga setiap orang yang mau dapat
mempelajarinya. Mukjizat juga tidak mungkin didapatkan
dengan melakukan amalan-amalan tertentu. Mukjizat
adalah karunia Ilahi yang Allah SWT. berikan kepada
siapa saja yang Ia kehendaki. Adapun kesaktian-
kesaktian dan perbuatan-perbuatan aneh lainnya, dapat
dipelajari dan digapai dengan amalan-amalan tertentu;
setiap orang bisa mendapatkan kesaktian kaum murtadh
jika mereka menjalani amalannya.
Ketiga, para nabi adalah orang-orang saleh, berakhlak
mulia, dan memiliki akidah yang benar; lain dengan
orang-orang punya kesaktian yang didapat melalui ilmu
hitam, mereka rata-rata tidak memiliki akhlak yang
baik dan jauh dari Tuhan, tak dikit mereka yang
memanfaatkannya di jalan kejahatan.
Perlu diingatkan bahwa mukjizat tidak bertentangan
dengan hukum sebab akibat; hanya saja sebab-sebab
mukjizat adalah hal supranatural yang diwujudkan oleh
Tuhan.
Pentingnya Mukjizat bagi Para Nabi
Sebagian orang berprasangka bahwa kalau memang benar
ajaran para nabi adalah ajaran yang dapat diterima
dengan akal dan fitrah, maka ketika mereka berdakwah
seharusnya umat mereka menerima ajaran mereka dengan
mudah dan para nabi tak perlu menunjukkan mukjizat.
Jawabannya begini, memang benar kandungan dari ajaran
para nabi dapat diterima dengan akal dan fitrah, tapi
tidak semua aspek dari ajaran-ajaran tersebut difahami
sepenuhnya oleh akal dan fitrah. Akal hanya memahami
sebagian dari ajaran-ajaran para nabi saja. Misalnya
Allah SWT. berfirman: Dan sempurnakanlah takaran
apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca
yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih
baik akibatnya. (QS. Al-Israa’ [17] : 35). Semua orang
dengan akal sehatnya tahu bahwa jual beli sesuai
timbangan adalah baik.
Tapi tidak semua ajaran para nabi terbatas pada
permasalahan-permasalahan yang jelas seperti di atas;
Allah SWT. mengutus para nabi guna menjelaskan kepada
manusia apa-apa yang tidak dapat mereka fahami akal
mereka dengan mudah. Apakah manusia dengan akalnya
dapat memahami mengapa shalat subuh harus dua rakaat?
Dan mengapa jika shalat 3 rakaat pada waktu subuh
dapat membatalkan shalatnya? Hukum seperti ini
bukanlah hukum yang dapat dicerna akal. Dengan
demikian sebagian lain dari ajaran para nabi tidak
dapat dipahami oleh akal; oleh karenanya kita tidak
ada jalan lain kecuali menerima ajaran tersebut begitu
saja dan apa adanya.
Jadi, menyempurnakan hujjah Ilahi dengan perantara
para nabi memerlukan tanda-tanda Ilahi (mukjizat);
karena tanpa tanda-tanda tersebut hujjah tidak akan
bisa sempurna. Untuk menyempurnakan hujjah Ilahi, umat
manusia harus mengenal dan meyakini bahwa yang berada
di hadapan mereka adalah nabi utusan Allah SWT., dan
untuk mengenal nabi mereka perlu tanda-tanda kebenaran
yang membuktikan bahwa ia bukan orang biasa, namun
seorang nabi yang harus ditaati. Jika mereka
menyaksikan tanda-tanda kebenaran dan mukjizat seorang
nabi, baru mereka yakin bahwa ia benar-benar utusan
Allah SWT.
Yang jelas akal kita tidak membatasi bahwa hanya
mukjizat saja yang dapat kita jadikan jalan untuk
mengenal nabi. Banyak lagi jalan lain yang dapat kita
lewati untuk mengenal nabi, misalnya, kedatangan
seorang nabi pasti telah diberitakan oleh nabi
sebelumnya (yang mana nabi sebelumnya juga telah
membuktikan kebenarannya dengan cara menunjukkan
mukjizat). Oleh karenanya seorang nabi tidak perlu
menunjukkan mukjizat kepada orang-orang yang telah
menerima dan mengimani nabi sebelumnya. Sebagaimana
tidak selamanya jika umat seorang nabi meminta
mukjizat nabi harus memenuhi permintaannya; karena
nabi hanya menunjukkan mukjizat yang diikuti dengan
pengimanan mereka. Al-Qur’an membenarkan hal ini. Di
sebagian ayat dijelaskan bahwa pada suatu saat,
meskipun orang-orang menuntut nabi untuk menunjukkan
mukjizat, nabi tidak menunjukkannya; karena ia tahu
dengan pasti jika ia menunjukkan mukjizat mereka tetap
tidak akan beriman.
Sebagai contoh, setelah nabi Muhammad SAW. menujukkan
Al-Qur’an sebagai mukjizatnya dan membuktikan
kebenaran kenabiannya, beberapa orang berkeras kepala
untuk ditunjukkan mukjizat yang lain lagi, namun Allah
SWT. menurunkan wahyu kepada beliau dan berkata bahwa
permintaan-permintaan seperti itu tidak perlu
dihiraukan.
Dan mereka (orang-orang musyrik Mekah) berkata:
“Mengapa tidak diturunkan kepadanya (Muhammad) suatu
mukjizat dari Tuhannya?” (QS. Al-An’aam [6] : 37)
Seolah-olah Rasulullah SAW. belum menunjukkan mukjizat
untuk membuktikan kenabiannya. Jelas setelah
ditunjukkannya mukjizat yang nyata dan dali-dalil yang
kuat, permintaan-permintaan semacam itu hanyalah
permainan dan penghinaan. Oleh karena itu Allah SWT.
menjawab mereka:
Katakanlah: “Sesungguhnya Allah kuasa menurunkan suatu
mukjizat, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.”
(QS. Al-An’aam [6] : 37)
Lebih Jauh tentang Mukjizat
Salah satu permasalahan yang sering ditanyakan seputar
mukjizat adalah, apakah kejadian-kejadian supranatural
yang menakjubkan lainnya dan Al-Qur’an menyebutnya
sebagai mukjizat terbatas hanya pada mukjizat para
nabi yang ditunjukkan guna membuktikan kenabian
mereka? Dengan mengkaji ayat-ayat Al-Qur’an terbukti
bahwa mukjizat tidak terbatas pada itu. Karena para
nabi juga pernah menunjukkan mukjizat meski bukan
dengan tujuan membuktikan kenabian mereka, juga selain
para nabi pernah atau mengalami kejadian menakjubkan
yang tidak alami yang mana Allah SWT. yang berada di
balik semua itu, dan bahkan ada bayak kejadian-
kejadian alam yang menakjubkan yang secara natural itu
tidak bisa terjadi meski tidak ada kaitannya dengan
perbuatan manusia secara langsung. Misalnya adalah
penciptaan manusia itu sendiri; sebagaimana yang
dijelaskann Al-Qur’an, terciptanya manusia bukanlah
fenomena alami. Yakni tidak mungkin sebongkah materi
dalam keadaan tertentu dengan sendirinya berubah wujud
menjadi manusia. Terciptanya nabi Adam AS. disebutkan
dalam Al-Qur’an sebagai kejadian supranatural, begitu
pula dengan lahirnya nabi Isa As, dan fenomena-
fenomena lain yang akan kita sebutkan nanti. Semua itu
terjadi tidak atas tujuan pembukitan kenabian. Oleh
karena itu kita dapat katakan bahwa penciptaan manusia
di muka bumi bukan hal biasa dan alami. Begitu dengan
nabi Isa AS., yang mana secara alamiahnya untut
terlahirnya beliau diperlukan seorang ayah dan
pembuahan di dalam rahim, namun yang terjadi tidak
begitu; ia lahir secara luar biasa dan memiliki
sebab-sebab non materi.
Kenabian pun (yakni seorang manusia mendapatkan wahyu
dan ilmu ghaib) juga bukan fenomena natural. Yakni
secara alamiah manusia tidak mungkin mempunyai kontak
hubungan dengan alam non materi seperti ini.
Berdasarkan hal itu kenabian adalah kejadian luar
biasa dan tidak alami. Begitu pula dengan adzab-adzab
yang diturunkan kepada suatu kaum yang mana itu bukan
untuk menetapkan kenabian seorang nabi; misalnya
setelah nabi Nuh AS. berdakwah di tengah-tengah
kaumnya selama seribu tahun beliau memohon kepada
Allah SWT. untuk menurunkan adzab kepada umatnya yang
enggan mengimaninya, lalu diturunkanlah adzab dan
mereka binasa. Kejadian luar biasa ini sama sekali
bukan untuk menetapkan kenabian, namun, sebagaimana
yang dapat kita fahami dari Al-Qur’an, itu adalah
adzab yang diturunkan kepada mereka secara tidak
alami. Adzab-adzab yang diturunkan kepada kaum ‘Aad,
Tsamud, kaum nabi Luth AS., dan lain sebagainya juga
bukan fenomena alami: malaikat turun dan menurunkan
adzab siksaan, dan suatu kaum dibinasakan karenanya.
Kejadian tersebut bukan untuk membuktikan kenabian,
namun untuk mengakhiri nasib para pelaku kezaliman.
Itu adalah adzab-adzab istishal, dan pada dasarnya
adzab-adzab yang dijelaskan dalam Al-Qur’an adalah
adzab istishal, kejadian-kejadian luar biasa yang
bukan bertujuan untuk pembuktian kenabian.
Contoh yang lainnya seperti peringatan-peringatan yang
diberikan kepada suatu kaum. Adzab-adzab itu tidak
mencakup semua orang. Mungkin saja itu semua terjadi
secara tidak alami, misalnya terkutuknya sebagian dari
Bani Israil lalu berubah menjadi monyet-monyet dan
babi. Itu juga kejadian supranatural yang tidak
bertujuan untuk menetapkan kenabian.
Lebih dari itu semua, yang mana kita dapat sering
temui juga dalam Al-Qur’an, seperti yang terjadi untuk
penguatan iman sebagian dari hamba-hamba Allah SWT.
yang beriman, juga untuk kemaslahatan-kemaslahatan
tertentu; misalnya nabi Zakariya AS. dan nabi Ibrahim
AS. mendapatkan anak setelah sekian lamanya mereka
tidak punya anak.
Lingkup mukjizat bahkan bisa mencakup selain para
nabi. Kejadian-kejadian luar biasa lainnya juga
dijelaskan dalam Al-Qur’an; seperti pengetahuan-
pengetahuan yang diilhamkan kepada sebagian orang,
seperti apa yang terjadi pada ibu nabi Isa AS. dan ibu
nabi Musa AS. Dengan demikian, mukjizat tidak terbatas
pada kejadian-kejadian supranatural yang bertujuan
untuk membuktikan kenabian.