Indonesian
Sunday 19th of May 2024
0
نفر 0

Fitrah Manusia Ber-Tuhan

Fitrah Manusia Ber-Tuhan



Dalam sebuah forum dialog lintas umat beragama, sebelum

menyampaikan ceramah, saya mengajukan dua pertanyaan

untuk dijawab secara tertulis lalu dikumpulkan.

Pertama, perputaran bumi, matahari, dan planet di jagat

semesta ini dikendalikan oleh satu Tuhan atau banyak

Tuhan? Kedua, Tuhan yang kita sembah itu sama atau

beda? Ketika jawaban tertulis dikumpulkan, jawaban

pertama seragam. Bahwa semesta ini diciptakan dan

dikendalikan oleh satu Tuhan. Argumen paling sederhana,

ibarat pesawat terbang, jika banyak yang mengatur,

pasti akan bertabrakan. Jadi, peserta meyakini bahwa

yang paling logis dan mudah diterima nalar adalah hanya

satu Tuhan yang paling berkuasa yang menguasai dan

mengatur semesta ini. Yang menarik adalah jawaban nomor

dua. Peserta yang jumlahnya sekitar 80 itu terbelah

menjadi dua dan skor hampir seimbang. Bahwa mereka

menyembah Tuhan yang berbeda.

Dari jawaban di atas, lalu saya majukan pertanyaan

baru. Karena di ruang ini terdapat beragam pemeluk

agama dan meyakini Tuhan yang berbeda, bumi yang kita

huni dan matahari yang setia menyinari kita semua ini,

pemeluk agama apa yang paling berhak mengklaim sebagai

penghuni paling sah dalam pandangan Tuhan? Andaikan

Tuhan menagih rekening matahari, ibarat PLN menagih

uang listrik, kelompok agama apa yang paling berhak

mengumpulkan sebagai mandataris Tuhan? Saya hanya

sekadar melemparkan pertanyaan, tidak untuk dibahas

pada forum itu.

 

Perdebatan abadi

Keyakinan dan pencarian manusia terhadap Tuhan sudah

berlangsung berabad-abad. Banyak teori yang menjelaskan

mengapa dalam diri manusia terdapat dorongan dan

kebutuhan bertuhan. Banyak juga filsuf dan saintis yang

membangun teori bahwa keyakinan tentang Tuhan itu palsu

dan ilusi akibat dari kelemahan diri manusia menghadapi

teka-teki hidup yang tak terjawab. Namun, jika

dikumpulkan dan ditimbang, argumen dan keyakinan

tentang Tuhan jauh lebih kuat. Dalam hal ini faktor

pewahyuan dan kenabian amat sangat berperan.

Jika muncul perdebatan di kalangan saintis,

penyelesaiannya lebih mudah mengingat obyek yang

diperdebatkan masih dalam wilayah empiris.

Pembuktiannya bersifat induktif dan positif. Di sini

bukti (proof) empiris yang dijadikan rujukan. Namun,

keyakinan terhadap Tuhan yang digunakan adalah

argumentasi berdasarkan penalaran dan merujuk pada

wibawa kitab suci serta pengalaman beragama, mengingat

obyek yang diperselisihkan sifat abstrak, immateri.

Yang namanya pengalaman beragama pun sulit dibuktikan

jika menggunakan pendekatan sains.

Misalnya pengakuan Muhammad ketika bermeditasi di Gua

Hira ditemui Malaikat Jibril. Di situ kekuatan pribadi

Muhammad yang dikenal sebagai orang yang tak pernah

berbohong dan kandungan berita yang disampaikan menjadi

bahan para sahabat untuk membangun argumentasi, apakah

mau percaya atau menolak. Namun, jika orang minta bukti

empiris, lalu ramai-ramai mengajak Muhammad ke Gua Hira

untuk berjumpa Malaikat Jibril, tentu tidak bisa

diulangi lagi. Itu pengalaman beragama yang sangat

privat. Begitu juga pengalaman isra-mikraj. Namun, akan

berbeda dari peristiwa hijrah Nabi Muhammad dan para

sahabat dari Mekkah ke Madinah, pembuktiannya bersifat

historis dan disaksikan banyak orang.

Meskipun abstrak, tak terbantahkan bahwa keyakinan pada

Tuhan dan ajaran-Nya sangat besar pengaruhnya pada

kehidupan seseorang dan komunitasnya. Banyak peradaban

agung lahir dari keyakinan dan gerakan keagamaan.

Monumen-monumen besar dengan arsitektur yang indah,

juga dilahirkan dari keyakinan dan dorongan keagamaan.

Seperti Candi Borobudur, gereja-gereja tua di Eropa,

dan bangunan masjid di Timur Tengah, semua memiliki

nilai arsitektur sangat tinggi sebagai persembahan pada

Tuhan atau lebih tepat sarana menyembah Tuhan.

Namun, di sisi lain, tak terbilang lagi jumlahnya,

peperangan dan tindak kekerasan meletus juga karena

motivasi keagamaan. Ini bermula dari adanya keyakinan

setiap agama memiliki jalan keselamatan (salvation)

yang dijanjikan Tuhan, terutama keselamatan di akhirat.

Keyakinan dan konsep keselamatan ini lalu berkembang

pada penilaian bahwa di luar agamanya tidak ada jalan

keselamatan. Artinya, orang yang berbeda agama berarti

kafir, semuanya calon penghuni neraka. Sikap terhadap

orang kafir ini ada tiga pilihan. Satu, mereka diajak

dengan baik-baik agar ikut menjadi umat seiman dan

seagama. Kedua, dibiarkan dan dihargai pilihan

keyakinan agamanya dengan tetap menjaga persahabatan

sesama manusia. Ketiga, diperangi karena orang kafir

berarti melawan Tuhan yang mereka sembah yang berarti

juga posisinya sebagai lawan mereka.

Konflik dan perang dengan motif keagamaan selalu

mengandung logika paradoksal. Menawarkan kedamaian dan

keselamatan dengan cara ancaman dan kekerasan.

Meneriakkan misi Tuhan yang Maha Pengasih sambil

mengintimidasi dan membunuh. Melakukan kekejaman dan

pembunuhan, tetapi dianggap tindakan suci (holy war).

Jika tidak ada cara pandang dan pendekatan baru, maka

perbedaan pemahaman dan keyakinan agama akan selalu

memicu konflik dan kekerasan. Tidak mengagetkan jika

muncul sekelompok masyarakat ingin menemukan Tuhan di

luar doktrin dan komunitas agama. God and spirituality

without religion. Untuk apa beragama kalau agama

bukannya menjadi kekuatan perdamaian dan peradaban.

 

Produk kultural dan ideologi

Meyakini dan mengikatkan diri sebagai komunitas umat

beriman (the community of believers) sangat berbeda

sifat dan implikasinya dari ikatan seseorang sebagai

warga negara (citizen). Kewarganegaraan (citizenship)

ditandai dengan kartu tanda penduduk dan paspor

sehingga seseorang terikat wilayah dan hukum positif di

mana dia tinggal. Adapun komunitas umat beragama

menganggap hukum Tuhan di atas hukum positif dan tidak

mengenal batas wilayah. Mereka merasa sebagai anggota

Kerajaan Langit meskipun realitasnya lahir, tumbuh, dan

tinggal di bumi. Mereka ada yang terobsesi membangun

kejayaan langit, tetapi kadang dengan membuat kerusakan

di muka bumi.

Namun, ada juga yang berpandangan bahwa misi agama itu

untuk membangun kemakmuran dan kedamaian di muka bumi.

Keselamatan akhirat itu reproduksi dan akibat dari

prestasi membangun proyek kemanusiaan selama hidupnya.

Oleh karena itu, pilihan dan praktik keberagamaan

seseorang merupakan pilihan dan perjuangan moral.

Sebuah tindakan moral meniscayakan dua syarat. Pertama,

seseorang beragama berdasarkan pilihan bebas, bukan

produk ancaman dan intimidasi. Kedua, moral itu muncul

dalam konteks hubungan sesama manusia. Seseorang

dikatakan bermoral baik jika berhasil membangun

hubungan yang baik sesama manusia. Dalam konteks ini,

ajaran Islam sangat jelas dan tegas bahwa ukuran dan

ujian keimanan itu selalu dikaitkan dengan perbuatan

baik terhadap sesamanya. Oleh karena itu, menyebarkan

agama dengan ancaman justru merusak prinsip ajaran

Islam. Kesalehan dan ketulusan tak akan muncul dari

situasi terpaksa.

Jika nalar sepakat hanya ada satu Tuhan, tetapi mengapa

terdapat ragam agama? Terdapat pandangan, naluri, dan

kebutuhan beragama itu mirip naluri dan dorongan

manusia untuk berbicara guna mengekspresikan perasaan

dan pikirannya. Maka, bahasa yang akan digunakan adalah

bahasa yang dia kenal dan familiar sejak kecil.

Berbahasa tidak hanya mengucapkan kata-kata,

sesungguhnya bahasa juga berfungsi dalam ranah

pemikiran dan tindakan. Meminjam frasa Heidegger,

language is the house of being. Sementara itu, setiap

orang adalah anak kandung bahasa dan budaya yang

membesarkannya yang pada urutannya keterikatan pada

identitas budayanya berkembang menjadi sikap ideologis.

Oleh karena itu, pluralitas bahasa, sebagaimana agama,

tak terelakkan. Pada tataran metabahasa dikatakan,

There is only One Language, but everyone speaks with a

language. Ungkapan serupa juga bisa diberlakukan pada

ranah agama: There is only One True Religion but every

believer tends to only embrace a religion.
Saya sangat sadar, menyikapi perbedaan bahasa dan agama

tentu berbeda. Di sini saya hanya menganalogikan

keragaman keduanya karena dorongan intrinsik yang

muncul dari dalam, lalu seseorang terlahir disambut

oleh budaya yang berbeda. Dalam bahasa tak ada janji-

janji keselamatan hidup sebagaimana agama.

 

Peran institusi negara

Mengingat subyek yang bertuhan dan beragama itu manusia

yang sama-sama tinggal di bumi yang sama dengan

matahari yang juga sama, pilihan keyakinan dan tawaran

keselamatan hidup yang melampaui batas dunia hendaknya

jangan menghancurkan tata kehidupan di bumi. Yang mesti

diusahakan adalah terjadinya kesesuaian (taufik) antara

kehendak Langit dan kreasi manusia di bumi. Tuhan yang

diyakini sebagai sumber kasih mesti diwujudkan dalam

kehidupan sosial yang diikat dengan tali kasih

(silaturahim). Sikap keberagamaan hendaknya

mendatangkan rahmat bagi semesta.

Sesungguhnya fitrah manusia untuk bertuhan seiring

dengan fitrah manusia untuk hidup merdeka, damai, dan

teratur. Oleh karena itu, sejarah mencatat, proses

panjang bagaimana manusia membangun perserikatan dan

lembaga sosial sejak yang primitif sampai modern

bernama negara untuk menjaga kedamaian dan kemerdekaan.

Zaman dahulu ikatan suku dan agama sangat kuat,

terlebih lagi ketika bergabung sentimen suku dan agama,

maka kekuatannya kian solid sehingga mendorong jadi

kekuatan misionaris-ekspansionis untuk memperluas

pengaruh agama, militer, dan ekonomi.

Gejolak politik dan kekerasan yang terjadi di Timur

Tengah akhir-akhir ini sulit dipisahkan antara sentimen

keagamaan, perebutan sumber ekonomi, dan ekspansi

militer. Ketiganya berjalin berkelindan dengan

implikasi wajah agama jadi muram dan seram.

Di zaman modern, konstruksi negara cenderung lebih

rasional dan warganya semakin plural. Kehadiran negara

diperlukan untuk melindungi warganya, apa pun asal-usul

etnis dan agamanya. Jadi, jika agama menjanjikan pada

pemeluknya keselamatan di akhirat, negara memiliki

tugas menjanjikan keselamatan warganya di dunia. Cukup

menarik direnungkan, hubungan agama dan negara di

Indonesia memiliki cita-cita sangat ideal, yaitu

mempertemukan agenda agama dan negara sebagaimana

tertera dalam Pancasila. Negara memberi wadah dan

fasilitas bagi penyebaran agama, agama menjadi sumber

kekuatan moral dalam kehidupan bernegara.

Sejak dulu di bumi Indonesia yang satu tumbuh beragam

agama. Mereka mungkin sekali meyakini Tuhan Yang Esa,

sebagai pencipta dan pengatur semesta, tetapi mengambil

jalan yang berbeda-beda sehingga muncul pluralitas

agama dan aliran kepercayaan. Adalah tugas negara untuk

melindungi keselamatan warganya tanpa membedakan

keyakinan agamanya.

0
0% (نفر 0)
 
نظر شما در مورد این مطلب ؟
 
امتیاز شما به این مطلب ؟
اشتراک گذاری در شبکه های اجتماعی:

latest article

313 pasukan Imam Mahdi as
Pornografi dan Kerusakan Otak
3 Rahasia Kesuksesan Nabi Yusuf as
Kenikmatan yang Diberikan Allah Kepada Nabi Sulaiman as
40 hadis Ahlul Bait tentang uang halal dan haram(2)
Apakah jasad Nabi Yusuf rusak karena tidak menghormati ayahandahnya?
Fitrah Manusia Ber-Tuhan
Tolak ukur mengenal para nabi
imam mahdi as tidak memerlukan saksi dan alasan dalam mengadili
Do'a Ramadhan Hari Kelima Belas

 
user comment