Kata Rasulullah, kalau tangan kananmu berbuat baik, tangan kirimu jangan sampai tahu.
Perbuatan baik tidak boleh ditakaburkan. Tidak boleh dipamerkan. Tidak boleh menjadi peristiwa riya’ di dalam kalbu orang yang melakukannya.
Ada seorang lelaki setengah baya masuk mall. Membawa koper cukup besar. Ia naik eskalator. Tergugup-gugup, mungkin belum terbiasa menyesuaikan kaki dan badannya dengan mekanisme dan irama tangga berjalan itu.
Sedemikian rupa sehingga ia terjatuh, kopernya menggelinding ke bawah, terbuka, dan isinya terbaur keluar.
Isi koper itu ternyata beribu-ribu lembaran uang sepuluh ribuan.
Tanpa sadar orang-orang yang berkerumun dan lalu lalang di sekitar tempat itu langsung menyerbu dan meroyok lembaran-lembaran uang yang berhamburan itu.
Si lelaki setengah teriak-teriak.
Kemudian ia menangis dan menutupi mukanya. “Uang saya diroyok orang! Uang saya diroyok orang…..”, sambatnya.
Tak ada yang memperhatikannya, sampai akhirnya tak ada orang tahu juga tatkala ia menghilang.
Ternyata memang ia sengaja. Ia ingin beramal, tapi jangan sampai ketahuan kalau beramal. Ia pura-pura menangis dan eman uangnya hilang, agar tak seorang pun menyangka bahwa sebenarnya ia sengaja melakukan itu. Ia ingin menyempurnakan keikhlasannya.
Lelaki yang saya kisahkan ini sangat tinggi derajatnya di mata Allah.
Dan itulah bedanya dengan saya.
Derajat saya masih pada strata tugas “uswatun hasanah”. Memberi teladan yang baik. Celakanya, memberi teladan itu tidak mungkin dengan menyembunyikannya, melainkan justru harus menunjukkannya.
Saya berdoa kepada Allah: “Ya Kekasih, nilailah apa yang kulakukan ini sebagai riya’ dan takabur, sehingga Engkau membatalkan pahalaMu atasku. Karena dengan tiadanya tabungan pahala itu insyaAllah aku menjadi lebih bersemangat untuk tetap mencoba menabung pahala dan kemuliaan….”
Disalin dari tulisan Muhammad Ainun Najib
source : Liputan Islam